Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM YANG MASIH PANJANG
Langkah Maya pelan menyusuri lorong sempit kos-kosan. Cahaya lampu kuning remang menerpa dinding yang mengelupas, dan bau khas lembap bercampur masakan dari dapur umum masih menyisa di udara. Jemuran tetangga menggantung lesu di atas kepalanya, dan suara televisi samar terdengar dari beberapa kamar.
Di antara semua kekacauan itu, satu hal yang membuat dadanya menghangat: Nayla.
Dia bahkan tidak mengganti baju yang ia pakai sejak tadi siang — tubuhnya masih menyimpan sisa aroma ruangan Adrian, aroma keputusan berat yang baru saja ia ambil. Tapi sekarang bukan waktunya memikirkan itu.
Tangannya terangkat pelan mengetuk pintu kamar Bu Ina, tetangga baik hati yang selama ini sering membantu menjaga Nayla saat Maya harus bekerja atau ke luar rumah.
“Assalamualaikum, Bu… Ini saya, Maya.”
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan wajah lembut Bu Ina menyambutnya.
“Waalaikumsalam. Eh, Maya! Tumben baru pulang malam-malam begini. Masuk, masuk…”
Maya melangkah masuk dan langsung disambut oleh pelukan hangat kecil yang sangat ia rindukan.
“Mamaaa!”
Nayla langsung memeluknya erat, seolah tak ingin dilepas. Maya merunduk dan membalas pelukan itu, menarik napas panjang menahan air mata.
“Maaf ya, sayang... Mama telat pulang...”
“Aku gambar rumah tadi. Ada Mama, ada aku, ada pohon mangga,” ucap Nayla sambil memperlihatkan kertas bekas yang penuh coretan warna-warni.
Maya tersenyum. “Bagus banget gambarnya. Mama simpan ya.”
“Saya udah suapin tadi, May. Tadi sore dia sempat nanya kamu terus, tapi saya bilang kamu lagi kerja jauh,” kata Bu Ina sambil duduk di sisi tikar.
Maya mengangguk, menatap wanita itu dengan rasa terima kasih yang tak bisa diucap dengan kata-kata.
“Bu… saya bener-bener nggak tahu harus bagaimana kalau nggak ada Ibu. Makasih ya, udah jaga Nayla…”
Bu Ina tertawa kecil, “Ah, Nayla itu anak baik. Pintar, nurut, suka bantuin saya nyapu malah. Kayak bukan anak kecil zaman sekarang. Kamu juga hebat, May.”
Maya menunduk pelan, menggenggam tangan Nayla yang duduk di pangkuannya.
“Kadang saya ngerasa... saya nggak cukup. Dunia kayak terus ganggu saya, ganggu Nayla. Tapi tiap lihat dia... saya tahu saya harus tetap jalan.”
“Dengar ya, May... Kadang yang lahirin anak itu bukan selalu yang jadi ibu. Tapi yang merawat, yang ngasih cinta, yang begadang waktu dia sakit. Itu yang bikin kamu ibu sebenarnya. Kamu udah lebih dari cukup.”
Kalimat itu menghantam keras di dada Maya. Lebih dari cukup... Kalimat yang selama ini bahkan tidak pernah ia ucapkan untuk dirinya sendiri.
Ia mengangguk pelan, menggigit bibir menahan emosi yang hampir tumpah.
“Saya bakal siapin teh, kamu kayaknya butuh yang manis-manis malam ini,” kata Bu Ina sambil berdiri dan pergi ke dapur kecilnya.
Maya mengangguk, lalu memeluk Nayla lebih erat. Anak itu sudah mulai mengantuk, tubuhnya bersandar di dada Maya.
Apa Bu Ina tahu? Apa semua orang bisa melihat bahwa hatinya compang-camping?
Malam masih panjang. Tapi malam ini... Maya memutuskan untuk membiarkan dirinya tenang sebentar. Menikmati detik-detik kecil bersama Nayla. Tanpa pengacara, tanpa sidang, tanpa kompromi.
Hanya Maya. Dan cinta yang ia peluk erat.
Hai hai guys, jangan lupa like vote follow cerita ini terus ya! Ikutin terus cerita Maya dan putrinya! 💖
kamu harus jujur maya sama adrian.