NovelToon NovelToon
TERJERAT BERONDONG LIAR

TERJERAT BERONDONG LIAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Berondong / Konflik etika / Cinta Terlarang / Beda Usia / Identitas Tersembunyi
Popularitas:94.6k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.

Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.

Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.

Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.

Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.

Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

35. Tanda Tanya

Leon memandangi kaca depan, di mana bayangan lampu jalan berlalu cepat. Kemudian, sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya—bukan senyum ramah, tapi penuh arti.

“Biarkan saja.”

Suaranya tenang, nyaris berbisik. “Dia penasaran padaku karena takut aku menyakiti Ghea.”

“Aku hargai persahabatannya. Tapi—”

Tatapannya mengeras.

“Hentikan dia… kalau dia melangkah terlalu jauh. Atau dia akan terbakar… bersama rasa penasarannya.”

Suasana di dalam mobil mengeruh. Pria di sampingnya mengangguk pelan, penuh pengertian.

“Lalu… bagaimana dengan Tessa?”

Detik itu juga, mata Leon berubah tajam. Senyumnya lenyap seketika.

“Wanita murahan. Penggoda. Serakah.”

“Terus awasi dia.”

Ia menekan pedal gas pelan, mesin menderu, tapi mobil belum bergerak.

“Aku akan menangani Tessa... saat waktunya tiba.”

***

DI DALAM MOBIL VIKA, SEUSAI BERTEMU LEON

Suasana dalam mobil begitu sunyi, padahal jalanan Jakarta masih ramai oleh lampu-lampu malam.

Vika mematung di balik kemudi. Jemarinya gemetar saat memegang ponsel. Percakapan barusan masih bergema di telinganya:

"Setiap kali ada klien penting dalam proyek-proyek bernilai tinggi—terutama klien perempuan—pihak perusahaan akan menunjuk Leon sebagai perwakilan. Tak peduli siapa yang menjabat, tak peduli protokol. Dia yang muncul, bicara, negosiasi, menyelesaikan."

"Tapi semua terjadi di luar sistem. Di balik layar. Seolah—dia bukan siapa-siapa, tapi semua orang tunduk padanya."

"Sudah banyak yang menyelidiki orang bernama Leon ini. Dan hasilnya sama. Bahkan ada beberapa orang yang mendapatkan ancaman karena terus menggali informasi tentang pria itu."

Detak jantung Vika makin cepat. Udara di dalam mobil mendadak tipis. Dadanya sesak.

"Bukan siapa-siapa, tapi semua orang tunduk padanya?" gumamnya nyaris seperti bisikan.

Pria muda itu datang begitu dekat dengan Ghea—tanpa sejarah, tanpa jejak... tanpa izin.

Matanya masih bisa melihat sorot mata tajam Leon tadi di restoran. Cara pria itu duduk, cara ia menatap seolah semua jawaban dunia ada di tangannya. Dingin, mendominasi... dan entah kenapa, membuatnya nyaris lupa bagaimana caranya bernapas.

Dan Ghea tak tahu apa-apa.

Vika mengerjap. Napasnya tercekat oleh kesadaran baru:

"Aku yakin Ghea tidak menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi... Leon menyembunyikan sesuatu. Dan itu lebih berbahaya."

***

DI KAMAR VIKA, BEBERAPA JAM KEMUDIAN

Vika berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang tampak letih. Biasanya, ia mudah marah. Emosional. Tapi malam ini? Ia justru merasa... sunyi.

"Dia lebih muda dari kami. Kalau benar berasal dari masa lalu Ghea, aku pasti tahu. Dua puluh tiga tahun... tak mungkin aku melewatkannya."

"Siapa sebenarnya Leon? Dan kenapa semua informasi tentang dia seperti asap?"

Ia meraih ponsel. Mengetik cepat pesan pada detektifnya:

“Jangan berhenti. Tapi hati-hati. Hanya kirim laporan lewat surat, bukan telepon atau email.”

Lalu Vika duduk di tepi ranjang. Kepalanya tertunduk, pandangannya kosong.

“Aku nggak akan tinggal diam, Ghea,” gumamnya.

"Kalau kau tak bisa melihat betapa berbahayanya dia... biar aku yang jadi cerminmu. Meski itu berarti...aku harus melangkah di tepi jurang.”

***

SIANG TERIK, PROYEK MAHARDIKA GROUP

Debu beterbangan, suara mesin menggema dari sudut-sudut proyek. Leon melangkah keluar dari kontainer kantor lapangan, kemeja putihnya rapi sempurna. Rafael berjalan setengah langkah di belakang, mencatat sesuatu di tabletnya.

Tiba-tiba—

BRUKK!

Seorang pekerja muda tersandung tali beton, kehilangan keseimbangan, dan—

BLETAK!

Sebuah ember berisi semen basah menghantam dada Leon. Cairan abu-abu kental tumpah, mengotori kemeja mahalnya.

“Sial!” desis Leon, menatap noda yang menyebar cepat di pakaiannya. Tatapannya tajam, dingin seperti ujung pisau.

Pekerja itu langsung jatuh berlutut. “M-Maaf, Tuan… ampun, Tuan…saya nggak sengaja...”

Rafael menoleh cepat, suaranya meledak. “Apa kau tidak bisa kerja pakai otak, hah?! Kalau bawa ember pakai mata, jangan lutut!”

Keributan kecil itu mengundang perhatian. Mandor proyek buru-buru datang.

“Ada apa ini? Astaga… mohon maaf, Tuan Leon, Tuan Rafael… anak ini ceroboh. Saya akan urus—dia akan saya pecat, dan potong gajinya!”

“Gajinya sebulan pun tak cukup buat beli kancing kemeja Tuan Leon,” ujar Rafael sengit.

“Tuan, tolong kasihani saya.”

Pekerja itu terisak, matanya memerah. Ia menarik secarik kertas dari kantong belakang celana, kertasnya sedikit lecek dan basah oleh keringat. Jemarinya gemetar.

“Jangan pecat saya, Tuan… saya… saya butuh uang untuk membeli obat Ibu saya. Tolong…”

Ia menyodorkan resep itu dengan tangan yang nyaris tak stabil, suaranya tercekat. Seluruh tubuhnya seperti kehilangan kekuatan.

Leon hanya diam. Tatapannya datar. Hening menggantung—seperti waktu menunggu perintahnya. Matanya bergerak lambat, dari resep yang bergetar di tangan si pemuda… ke wajah pekerja… lalu ke pakaiannya yang kotor.

"Kali ini aku maafkan," ucapnya datar. “Tapi jika kau ceroboh lagi… kau keluar.”

Pekerja itu mengangguk cepat, masih berlutut, suaranya tercekat. “T-Terima kasih, Tuan… terima kasih banyak…”

Tanpa sepatah kata, Leon berbalik. Langkahnya tenang, tapi menyisakan tekanan yang menggantung di udara.

Rafael segera menyusul, membungkam seluruh proyek dalam senyap tegang.

Di dekat mobil hitam Leon yang terparkir di pinggir area proyek, Rafael bertanya hati-hati, “Tuan… apa Anda bawa pakaian ganti di mobil? Biar saya ambilkan.”

Leon tidak menjawab. Ia menatap ke depan, lalu membuka kancing teratas kemejanya yang kini bernoda semen basah.

"Belikan saja pakaian baru," katanya dingin.

Rafael mengerutkan dahi. “Tapi… di sekitar sini mungkin nggak ada toko branded…”

Leon langsung memotong. “Tak perlu branded. Yang penting bisa kupakai.”

Rafael membeku sesaat. Ia baru saja melihat sisi manusia dari pria yang selama ini selalu dingin dan penuh rahasia.

Lalu perintah itu datang, pelan tapi jelas.

“Dan Rafael…”

Rafael menoleh cepat. “Ya, Tuan?”

“Berikan uang pada anak itu. Suruh dia tebus obat untuk ibunya.”

Hening. Sejenak Rafael tak mampu merespons. Matanya menatap Leon, bingung… kagum… dan sedikit terguncang.

Ada sesuatu yang berbeda. Ini bukan Leon yang ia kenal selama ini.

Tapi ia menyingkirkan rasa itu cepat-cepat—terlalu lama terjebak bisa membuatnya berhadapan dengan tatapan tajam Leon yang tak pernah memberi ruang untuk ragu.

Tanpa berkata apa-apa, Rafael berbalik dan melangkah cepat meninggalkan lokasi proyek. Bukan karena terburu-buru, tapi karena pikirannya masih sibuk memutar ulang kalimat terakhir Leon... dan mencoba memahami artinya.

Leon.

Sosok yang ia kenal sebagai pribadi dingin, nyaris tanpa belas kasih, dan tak pernah melibatkan emosi dalam keputusan apapun. Tapi hari ini, dalam waktu kurang dari sepuluh menit, Leon memaafkan kesalahan ceroboh seorang pekerja rendahan, dan… memintanya memberikan uang untuk menebus obat.

Bukan cuma aneh. Itu tak masuk akal.

Rafael berjalan melintasi deretan kios di sekitar proyek, matanya menyapu etalase murahan. Ia mendesah—Leon jelas tak akan suka. Tapi pria itu tak peduli soal merek kali ini. Hanya ingin pakaian ganti.

Kakinya melangkah ke dalam sebuah toko kecil. Sambil memilih kemeja dan celana panjang yang paling ‘layak’ menurut standar Leon—Rafael bergumam pelan.

“Apa dia berubah… atau aku yang nggak pernah benar-benar mengenalnya?”

Tangannya berhenti di atas selembar kemeja biru tua. Tatapannya kosong. Ia kembali teringat tatapan Leon saat memerintahkannya. Datar, seperti biasa, tapi... ada sesuatu di matanya. Bayangan luka.

"Seolah ia pernah berada di posisi si pekerja tadi. Putus asa. Tak punya uang. Kehilangan sesuatu yang sangat berharga…"

Rafael merinding.

Ia mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya pria yang selama ini ia layani itu? Karena dari semua petinggi perusahaan yang pernah ia dampingi, hanya Leon yang terasa seperti teka-teki hidup.

 ***

GALERI SENI -- SIANG HARI

Jessi baru saja mengantar seorang pelanggan paruh baya keluar dari ruang pamer. Begitu pintu mobil mewah itu tertutup, pikirannya langsung melayang ke satu nama.

Varendra.

Sudah saatnya, batinnya. Ia menekan satu kontak. Tak lama, suara berat dari ujung sana terdengar.

“Siang, Kek. Aku Jessi… putri Nathan Fernandez. Kakek masih ingat aku, kan?”

Terdengar tawa kecil. “Tentu saja. Mana mungkin aku lupa.”

“Syukurlah.” Jessi tersenyum kecil. “Em, Kek… aku ingin lebih dekat dengan Varendra. Tapi, rasanya aneh kalau aku tiba-tiba mengajaknya makan malam. Kakek nggak keberatan, 'kan… kalau aku pakai nama Kakek sebagai alasan?”

Sebelah sana terdiam sesaat, lalu suara Mahardika terdengar tenang, tapi berat maknanya. “Tentu saja tidak. Aku justru senang kamu punya inisiatif.”

“Terima kasih, Kek.”

“Gunakan namaku dengan bijak, Jessi.”

Panggilan berakhir. Jessi menatap ponselnya sesaat, lalu senyum pelan terbit di bibirnya.

“Varendra Mahardika... ini bukan sekadar makan malam. Ini langkah pertama untuk menguasai panggungmu.”

“Kau belum mengenalku, Varen. Tapi tenang saja… kau akan. Dan saat itu tiba, kau takkan bisa lepas dariku.”

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
love_me🧡
tunggu akibatnya jes.
apa amal di daerah terluar nyampe ke pelosok tempat tinggal indah thor ? hehehe
Hallo Waadie
/Good//Good//Good/
Anonim
Ghea empunya Sang Legenda - sosok misterius - Ghea mengenali gerak langkah serta postur tubuh suaminya - Leon . Varendra Mahardika.
Bisik-bisik kali ini mengenai Varendra Makardika.
Rafael ini seperti sedang menonton drama kali ya....😄.
Ghea....suamimu sedang memainkan perannya 😁.
Jessi dah seperti cacing kesiram air sabun nih 😄.
Nathan putrimu sedang mabuk tuh...menyulut api di atas jembatan yang ada tumpahan bensin ibaratnya.
nuraeinieni
ini jessi bukan saja menghancurkan dirinya tapi perusahaan orang tuanya pun ikut hancur
Anonim
Dasar berondong mahir dalam merayu istri cantiknya wkwkwk.
Siapa tahu Ghea tergerak - tergoda rayuan maut Leon - tapi nyatanya Ghea tetep kekeh menghadiri gala yang bagi Ghea penting.
Pasangan suami istri yang saling mencinta - saling mengingatkan - jangan tebar pesona 😁.
Sampailah mereka di depan pintu utama hotel tempat berlangsungnya gala bisnis - Ghea sendiri tanpa Leon masuk ke aula gala.
Terdengar bisik-bisik para wanita sosialita yang hadir - kagum.
Wuuaaahhh Leon - malam ini hadir sebagai Varendra Mahardika - keren - dingin tak tersentuh - bikin penasaran kaum hawa pastinya - mobil mengalami transformasi - keren abis.
Anitha Ramto
Si Jessi itu benar² ngeyel dan terlalu Percaya diri, di fikir dia akan menang setelah menjatuhkan nana Mahardika Group,,duh Jessi kamu itu benar² bodoh,,Varendra itu tidak akan bisa kamu lawan,Varendra tentu saja lebih cerdik dari kamu... sekarang kamulah yang telah membakar dirimu sendiri akibat ulahmu, INGAT!!!, Varendra bukan lawanmu
Momz Haikal Sandhika
aduh jessi... menggali kuburan sendiri
Siti Jumiati
lanjut kak
phity
aduuu jessi untuk keberapa kalinya ini kmu ttp kalah kan dari varendra lagian kmu sdh tau siapa itu varendra kmu msh aja sok hebat mo melawan...hancurlah kmu dan ayahmu
Puji Hastuti
Jesi Jesi kamu berani juga ya ternyata
Dek Sri
lanjut
Ais
🤣🤣🤣🤣kayak gn jessi msh mau melawan dan membalas dendam sm leon alias varendra duh jessi pakai otak buat mikir yg benar cr aman aja dr pd kamu dan perusahaan ayah kamu smakin gulung tikar
Sri Hendrayani
siap2 km hancur nathan
Fadillah Ahmad
"Semua Tamu Menatap Jessi, Termasuk Rayyan Nugroho dan Juga Zayn Nugroho... Hahaha. 😁

Lanjutkan Kak Nana... 🙏🙏🙏
Septyana Kartika
nikmati hari mu Jes
Fadillah Ahmad
Semua Pembisnis Hadir Disana, Termasuk Rayyan Nugroho,Zayn Nugroho,Z8el Mahendra,Ellin,Zion Mahendra Ada di Acara Gala Dinner itu.
Anitha Ramto
Dasar Leon bucin akut,jatahnya kelewat gara² lembur..

Ghea pasti mengenalnya dari postur tubuhnya Leon yang sangat Familyar..
phity
gea blum pernah melihat varendra mahardika secara langsung kan???
Yuni Setyawan
kekuatan uang mmg tak main²,Ghea walaupun sudah berumur tetep cantik brangkasnya penuh,
Yuni Setyawan
jessi itu perempuan kq coba² sama verendra,rasakanlah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!