Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Tujuh
Malam turun pelan-pelan, tapi di rumah orang tua Azka tak ada satu pun yang tenang.
Sejak kepulangannya sore tadi, suasana rumah itu seperti kehilangan nyawa.
Azka masuk tanpa banyak bicara. Pakaiannya kusut, rambut acak-acakan, matanya sembab seperti baru saja habis menangis di jalan. Tanpa menatap siapa pun, ia langsung menuju kamarnya di lantai atas.
“Azka, makan dulu, Nak,” panggil Mama dari ruang makan. Tidak ada jawaban.
Pintu kamar tertutup. Dan beberapa menit kemudian, suara isak kecil terdengar samar dari balik pintu kayu itu.
Mama menatap Papa, wajahnya khawatir. “Aku nggak pernah lihat dia segitu hancurnya, Pa .…”
Papa menarik napas panjang, menatap ke arah tangga. “Biarin dulu. Kadang orang harus jatuh dulu baru sadar di mana salahnya.”
Di dalam kamar, Azka duduk di lantai bersandar ke sisi ranjang. Matanya menatap kosong ke arah tirai yang bergerak pelan diterpa angin malam. Air matanya menetes tanpa suara.
“Amanda .…" Suara itu pelan, nyaris seperti desah. “Aku mohon … pulanglah.”
Ia menunduk, bahunya berguncang. Tangannya menutupi wajah, tapi tangisnya tak bisa lagi disembunyikan.
Segala hal yang selama ini ia tahan akhirnya pecah.
Penyesalan menumpuk seperti ombak yang menelan dirinya perlahan-lahan. Kenapa ia begitu pengecut? Kenapa ia tak berani memilih saat masih bisa? San sekarang… semua sudah terlambat.
“Aku nyesel, Manda …,” bisik Azka di antara isak. “Aku bodoh banget.”
Malam itu ia tak tidur sama sekali. Hanya duduk dan menatap kosong ke arah langit-langit. Kadang menangis, kadang hanya diam menahan sakit yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Menjelang subuh barulah matanya tertutup, karena terlalu lelah untuk terus menyesali.
Pagi datang dengan cahaya lembut yang menembus tirai kamar. Mama sudah bangun lebih dulu, menyiapkan teh dan sarapan sederhana. Tapi suasana rumah masih terasa berat. Papa menonton berita di ruang keluarga, walau jelas dari cara beliau sering menatap kosong bahwa pikirannya juga tidak tenang.
Belum lama kemudian, suara bel rumah berbunyi. Mama melangkah cepat ke pintu. Begitu dibuka, ia tertegun. “Yuni?”
Yuni berdiri di depan rumah, rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya cemas. Di tangannya, tas kecil tergantung. "Maaf, Ma. Pagi-pagi udah datang. Tapi Nathan semalam nangis terus. Dia maksa aku jemput.”
Mama menatapnya, sedikit bingung. “Nathan? Bukannya dia betah di sini?”
“Biasanya iya, Ma,” jawab Yuni sambil menarik napas. “Tapi dia bilang Ayahnya marah sama dia kemarin.”
Raut wajah Mama langsung berubah. Ia melirik ke dalam rumah, lalu menatap Yuni lagi. “Masuk dulu, Nak.”
Yuni mengangguk dan melangkah masuk. Tak lama, dari arah ruang tengah terdengar langkah kecil. Nathan muncul, masih memakai piyama, membawa boneka dinosaurusnya.
“Bunda!” serunya langsung, berlari ke arah ibunya.
Yuni jongkok dan memeluk putranya erat. “Kenapa, Nak? Kenapa semalam telepon Bunda sambil nangis?”
Nathan menengadah, matanya masih sembab. “Ayah marah sama Nathan.”
“Marah? Kenapa?” tanya Yuni lembut.
Anak itu menggeleng. “Nggak tahu. Ayah teriak waktu Nathan ajak jalan.”
Mama yang berdiri di belakang hanya bisa menatap keduanya dengan tatapan sedih.
“Maaf ya, Yuni … Mama juga nggak tahu kenapa Azka marah begitu. Dia pulang semalam, kelihatannya lagi kacau banget.”
Papa yang duduk di kursi menimpali, suaranya berat, “Mungkin dia lagi banyak pikiran. Jangan diambil hati dulu.”
Yuni menatap mertuanya bergantian. “Banyak pikiran tentang apa, Pa?”
Keduanya diam. Mama menunduk, tangannya meremas ujung rok. Papa berpura-pura fokus ke koran yang sudah terlipat di tangannya.
Sebelum Yuni sempat menanyakan lebih jauh, suara langkah berat terdengar dari tangga.
Azka muncul dengan wajah pucat dan mata sembab. Rambutnya berantakan, kemejanya masih yang semalam, dan langkahnya goyah seolah tubuhnya menolak berdiri tegak.
Mama spontan menatap ke arahnya, tapi tidak bicara. Papa pun hanya menurunkan koran dan memperhatikan.
Azka tidak menyadari kehadiran Yuni. Matanya langsung tertuju pada kedua orang tuanya.
“Ma .…” Suaranya serak. “Manda udah pulang?” Semua langsung terdiam.
Mama refleks menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya berubah tegang. Papa menegakkan badan di kursi.
Sementara Yuni, yang masih berlutut di depan Nathan, menoleh perlahan ke arah sumber suara itu.
“Mas Azka?” suaranya pelan tapi penuh tanya.
Azka masih menatap ibunya. “Manda udah pulang, Ma? Aku udah keliling ke kantornya, tapi dia nggak ada. Katanya pindah keluar kota. Tapi aku tahu dia nggak mungkin pindah tiba-tiba gitu .…”
“Azka .…” Mama mencoba menenangkan, tapi suaranya justru terdengar bergetar. “Sudah, Nak .…”
Namun Azka terus bicara, tak menyadari pandangan tajam dari Yuni yang kini berdiri di belakangnya. “Aku harus ketemu dia, Ma. Aku harus minta maaf.”
Yuni menggenggam tangan Nathan lebih erat.
Kata “dia” dan “Manda” yang diucapkan berulang kali oleh suaminya membuat jantungnya berdebar keras.
“Ma .…” Suara Yuni bergetar. “Siapa yang Mas Azka maksud?”
Mama menatapnya dengan wajah canggung, tak tahu harus menjawab apa. Azka baru sadar ada suara di belakangnya. Ia menoleh, dan tubuhnya langsung kaku begitu melihat sosok Yuni berdiri di sana. Wajahnya makin pucat.
“Yuni .…” Suaranya lirih.
Yuni menatap langsung ke matanya. “Tadi kamu bilang siapa?” Azka terdiam.
“Mas .…” Yuni melangkah maju, suaranya pelan tapi jelas menusuk. “Kamu nyebut nama siapa barusan? Manda?”
Papa berdiri dari kursinya, mencoba menengahi. “Yuni, nanti kami jelaskan.”
“Tolong, Pa.” Yuni memotong cepat, matanya masih menatap Azka. “Aku cuma mau dengar dari suamiku sendiri.”
Azka membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Nafasnya berat. Semua kata yang ingin ia ucapkan seolah berhenti di tenggorokan. Matanya mulai basah lagi.
Nathan yang melihat ayah dan bundanya sama-sama tegang mulai gelisah. “Bunda, kenapa Ayah kelihatan sedih?” Tidak ada yang menjawab.
Mama memalingkan wajah, menahan air mata. Papa hanya bisa berdiri kaku, tak tahu harus berpihak pada siapa. Suasana rumah yang tadinya hening kini berubah menegangkan.
Yuni melangkah satu langkah lebih dekat. “Mas, jawab aku. Siapa Manda itu?”
Azka menunduk. Tangannya mengepal, tubuhnya gemetar. Ia ingin jujur. Ingin mengakhiri semua dusta. Tapi di hadapan Yuni, di depan anaknya sendiri, kata-kata itu seperti duri.
Yuni kembali bicara, suaranya mulai bergetar tapi tetap tajam. "Selama ini aku tahu kamu berubah. Aku pura-pura nggak curiga karena aku percaya. Tapi sekarang aku cuma mau tahu satu hal aja .…” Ia menatapnya tajam, mata berkaca-kaca. "Siapa Manda itu?”
Azka memejamkan mata. Hening sesaat.
Suara detik jam terdengar begitu jelas di ruangan itu.
“Manda .…” Akhirnya ia berbisik, suaranya nyaris pecah. “Dia .…”
Suara itu menggantung. Tak ada kelanjutan.
Mama menutup wajah dengan kedua tangan. Papa menghela napas berat. Nathan menatap semua orang bingung, tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Sementara Yuni berdiri di sana, menunggu dengan napas tertahan, antara ingin mendengar kebenaran atau takut mengetahui segalanya.
supaya adil tdk ada yg tersakiti..
amanda dan yuni berpisah saja..
klo terus bersm yuni hanya amanda yg diikiran azka ..hanya u status nathan..
klo terus dengan amanda..azka melepas yuni merampas nathan..bagai mana perasaan yuni apalagi amanda sahabat nya..
kita mah pembaca nurut aja gimana kak authornya..walau baper gemesh😂😂😂