Di dunia di mana kekuatan spiritual menentukan segalanya, Yu Chen, seorang pelayan muda dengan akar spiritual abu-abu, berjuang di dasar hierarki Sekte Awan Hening. Di balik kelemahannya tersembunyi rahasia kuno yang akan mengubah takdirnya. Dari langkah kecil menuju jalan kultivasi, ia memulai perjalanan yang perlahan menantang langit itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Morning Sunn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 34: Perang Dingin Waktu dan Pelepasan Ikatan Klan
Kabut putih Dataran Beku masih terurai seperti jaring hampa ketika Yu Chen menembus langit dengan tubuh jiwanya. Kapal Ning Rou berguncang di bawah badai spiritual. Di kejauhan, Mu Feng berdiri di atas lingkaran cahaya ungu — Artefak Cermin Langit Waktu berputar di belakangnya, memancarkan serpihan masa lalu yang terdistorsi.
Yu Chen melesat turun, tidak membawa pedang, hanya hembusan niat yang menebas udara. Hukum Waktu mengalir dari jantung jiwanya; setiap langkahnya memperlambat turunnya salju. Saat kakinya menjejak dek, formasi perlindungan kapal yang nyaris runtuh mendadak menyala kembali, seolah ratusan jam berputar maju dalam sekejap.
Ning Rou menatap dengan napas tertahan.
“Formasi… dipercepat?”
“Tidak,” sahut Yu Chen tenang, “waktu mereka kupercepat.”
Energi ungu-biru menelusuri dinding kapal, menutup retakan, menebalkan perisai. Serangan Mu Feng menembus angin, tapi setiap serpihan cahaya beku berhenti satu helai di depan Yu Chen — seolah dunia menunggu perintahnya.
Mu Feng menatap, bibirnya terangkat.
“Jadi ini hasil pengajaran He Feng. Kau pikir bisa menyaingi artefak suci dengan pencerahan kasar?”
Ia menancapkan Cermin Langit Waktu ke udara. Lingkaran perak muncul, menelan mereka berdua. Suara detik berdenting dari segala arah.
Salju tak lagi jatuh, uap napas membeku di udara. Dalam ruang yang dibekukan itu, hanya dua jiwa bergerak — dua bayangan berdiri di atas dataran beku yang tak lagi memiliki masa kini.
Yu Chen merasakan tekanan aneh di dalam tulangnya. Dalam gelembung waktu itu, Qi tak mengalir; hanya Jiwa yang dapat berperang. Ia mengangkat tangan, membentuk segel keheningan yang diajarkan He Feng. Tubuh jiwanya bergetar, memantulkan cahaya emas samar.
Mu Feng menyerang lebih dulu. Pedang qi-nya menembus ruang, meninggalkan bayangan masa lalu di setiap ayunan. Setiap tebasan adalah kemungkinan yang telah terjadi — waktu dipecah menjadi ribuan garis serangan.
Yu Chen memutar pergelangan tangannya, memanggil pedang jiwa tanpa bentuk. Satu garis cahaya hening mengiris bayangan-bayangan itu.
Serangan pertama menembus dada masa lalunya sendiri; ia merasakan luka samar, lalu memutar waktu dalam dirinya satu detik ke belakang. Luka lenyap.
Mu Feng terkejut.
“Jadi kau benar-benar bisa membalik waktu tanpa artefak?”
Yu Chen tidak menjawab. Setiap detik terasa seperti abad. Ia membiarkan pikirannya tenang, mengingat suara He Feng: ‘Jangan lawan arus waktu, jadilah arus itu sendiri.’
Ketika pedang Mu Feng mengarah lagi, Yu Chen menatap ke depan, tidak menghindar. Dunia di sekelilingnya perlahan surut; warna, suara, suhu — semuanya memudar. Ia memasuki keheningan yang mutlak.
Serangan lawan menembus dirinya — namun ia tak terluka. Tubuhnya telah berpindah satu napas ke masa depan.
Dalam ruang hampa itu, Yu Chen melangkah perlahan, setiap langkah menunda aliran waktu musuhnya. Ia mengayunkan pedang hening: garis emas menembus pusaran ungu. Cermin Langit Waktu bergetar, retak halus muncul di pinggirannya.
Mu Feng memekik, mengucap mantra balik-waktu. Cermin bersinar, dan luka di tubuhnya hilang. Tapi detik berikutnya, Yu Chen memutar waktu satu detik lebih jauh — menghapus efek penyembuhan itu.
Dua arus waktu saling menelan; langit Dataran Beku retak seperti kaca. Dalam pertemuan dua hukum, ruang berlipat-lipat, menciptakan bayangan dari ribuan kemungkinan masa depan.
Yu Chen merasa Jiwanya nyaris terurai. Dalam gelembung waktu itu, setiap denyut kesadaran menua sekaligus muda. Ia tahu batasnya mendekat; Mu Feng menyiapkan serangan terakhir — panah waktu yang menghapus keberadaan, bukan tubuh.
Roh Naga di dalam dirinya berbisik.
“Gunakan kekacauan. Hancurkan garis waktu itu, jangan ikuti hukum manusia.”
“Jika aku lakukan itu,” gumam Yu Chen lirih, “aku akan menjadi sama seperti mereka.”
Saat panah waktu menembus, Yu Chen menelan Jiwu Emas yang disimpan di dantiannya. Batu jiwa itu meledak; cahaya emas murni menyelimuti dirinya. Keheningan berubah menjadi dentuman.
Energi murni melesat ke setiap serat jiwa. Dalam sekejap, Bayangan Jiwa-nya yang semula tembus pandang berubah menjadi padat seperti kristal naga. Urat-urat cahaya emas menyatu dengan benang hitam sisa Chaos — menciptakan pola naga bermahkota cahaya.
Panah Mu Feng menabrak tubuh itu, hancur menjadi butiran waktu.
Suara retakan terdengar di seluruh dimensi kecil itu — bukan dari ruang, melainkan dari garis takdir.
Yu Chen mengangkat kepala. Pandangan matanya kini memantulkan spiral masa depan dan masa lalu. Ia menatap Mu Feng dan berkata perlahan,
“Waktumu telah habis.”
Ia mengayunkan pedang hening sekali lagi. Bukan serangan cepat, tapi satu gerak yang melintasi waktu. Serangan itu menebas Mu Feng pada detik yang bahkan belum terjadi. Saat ruang kembali menyatu, lawannya sudah terlempar keluar dari gelembung waktu, darah spiritual menetes di udara beku.
Mu Feng terhuyung, lututnya jatuh ke salju.
“Jadi… kau sudah mencapai Transformasi Jiwa.”
Yu Chen menatap tanpa kebanggaan. “Aku hanya menapaki satu detik lebih lambat dari penyesalanmu.”
Ia mendekat, mengambil Cermin Langit Waktu yang retak. Artefak itu bergetar di telapak tangannya, lalu tenang, seolah mengakui tuan baru.
Mu Feng menunduk.
“Bunuh aku, maka paviliun akan mengirim sepuluh yang lain.”
Yu Chen menggeleng. “Tidak. Aku bukan lagi pedang untuk kebencian.”
Ia membiarkan lawan itu pergi, meninggalkan jejak qi beku di salju. Mu Feng terseret ke dalam kabut, menatap punggung Yu Chen dengan mata dipenuhi dendam dan kekaguman.
Saat dunia kembali berjalan normal, gelembung waktu runtuh. Dataran Beku memuntahkan angin. Yu Chen menatap tangannya: kulitnya memantulkan kilau kristal halus, tubuh jiwanya telah mencapai Tahap 15 – Transformasi Jiwa. Ia kini dapat memisahkan kesadarannya sepenuhnya dari tubuh fisik, menjelajahi dunia sebagai entitas jiwa murni.
Kapal spiritual melayang lesu di bawah aurora dingin. Ning Rou bersandar di sisi dek, wajahnya pucat oleh tekanan formasi yang nyaris runtuh. Saat Yu Chen muncul di hadapannya, waktu di sekelilingnya terasa melambat lagi — instingtif, perlindungan dari Jiwa Baru.
Namun sebelum ia sempat berbicara, suara bergema dari kristal komunikasi di meja kendali. Suara tua dan tegas menembus udara:
“Rou’er, kembali. Dewan Alkimia menuntut kehadiranmu. Jika kau tidak pulang hari ini, semua laboratorium dan hak produksi klan akan dicabut.”
Nada itu tak mengandung kasih, hanya perintah.
Ning Rou mematung. Jemarinya gemetar di atas kristal. Gambar samar ayahnya, Ning Qi, muncul di udara — sosok berjubah perak, mata penuh tuntutan.
“Engkau mewarisi darahku, bukan kebodohan pengelana itu. Pilihanmu hari ini menentukan apakah nama Ning akan hidup atau tenggelam.”
Suara itu menghilang.
Keheningan menelan kapal. Yu Chen tidak berkata apa-apa; hanya memandang cahaya redup di matanya. Dalam benaknya, gema kata He Feng masih bergulir: ‘Semua yang hidup di dunia ini terikat oleh waktu, tapi hanya hati yang bebas menentukan arah putarannya.’
Ning Rou menutup mata. Dalam keheningan itu, kenangan menyeruak — bau pil terbakar, teriakan para murid yang tubuhnya meledak karena Pil Terlarang hasil eksperimen klan. Ia ingat malam ketika memohon agar penelitian itu dihentikan, dan ditampar oleh ayahnya.
“Kita bukan tabib, kita penguasa kehidupan,” kata ayahnya saat itu.
Air mata jatuh satu tetes, membeku di udara sebelum menyentuh lantai. Ia membuka mata, menatap Yu Chen.
“Guru He Feng pernah berkata, setiap formasi memiliki titik balik. Begitu pula manusia.”
Yu Chen menunduk. “Kau sudah menemukan punyamu?”
“Ya.” Ia menekan kristal komunikasi. Cahaya biru padam. “Aku, Ning Rou, melepaskan nama Ning. Mulai hari ini, aku hanya seorang Alkimiawan yang berjalan di bawah langit yang sama denganmu.”
Angin menggema pelan, membawa suara keheningan yang hangat. Yu Chen menatapnya lama, lalu mengangguk. “Waktu tidak akan memutar kembali keputusanmu. Tapi aku berjanji, langkahmu takkan sia-sia.”
Gua es tempat He Feng bermeditasi kini dilingkupi kabut ungu. Ia menatap kedatangan mereka dengan senyum samar, mata tua berkilat seperti kristal yang menyimpan ribuan musim.
“Jadi kau telah menaklukkan waktu sendiri,” katanya pelan. “Aku pernah berpikir tak ada lagi murid yang bisa melangkah melewati kegagalanku.”
Yu Chen menunduk. “Guru, aku hanya mengikuti jejak yang kau tinggalkan.”
“Tidak, Yu Chen. Kau telah menulis garis waktumu sendiri.”
He Feng mengangkat tangannya. Cermin Langit Waktu yang baru diperoleh Yu Chen bergetar, lalu melayang ke tengah udara. Gambar-gambar masa lalu menari di permukaannya — bayangan pertempuran, sosok Mu Feng, dan garis cahaya yang mengarah ke selatan.
“Lihatlah,” ujar He Feng, “itulah gema Kunci Abadi Keempat. Di sanalah para Iblis Naga Hitam membangun kota mereka di balik kabut. Jika kau ingin melampaui Kehampaan, di sanalah ujian berikut menantimu.”
Yu Chen menatap citra itu — lautan kabut, menara batu, dan naga hitam berantai.
“Ras Iblis lagi…” bisiknya.
“Benar,” jawab He Feng. “Hukum Waktu tidak dapat dipelajari tanpa memahami kebinasaan. Mereka adalah cerminnya.”
He Feng menatap lebih dalam pada Yu Chen, lalu tersenyum lelah.
“Kau tahu mengapa aku gagal? Karena aku mencoba membalik waktu untuk menyelamatkan seseorang. Tapi waktu bukan jalan belas kasih, hanya cermin bagi keputusan kita. Jangan ulangi kesalahanku.”
Ia menyerahkan sepotong batu giok berbentuk segel.
“Gunakan ini untuk menstabilkan lipatan ruang saat kau menggunakan Cermin Langit Waktu. Ini adalah pelajaran terakhirku.”
Yu Chen menerima, menunduk hormat. Saat ia berbalik pergi, He Feng berkata lirih, hampir tak terdengar di atas desir angin es,
“Semoga suatu hari kau belajar bahwa keheningan bukan berarti tiada suara — melainkan saat waktu sendiri berhenti menilai.”
Kapal spiritual Ning Rou berangkat ke langit utara. Cermin Langit Waktu terpasang di haluan, memantulkan langit yang berlapis-lapis seperti tirai. Ning Rou duduk di samping formasi kemudi, jari-jarinya lembut menata batu roh baru.
Yu Chen berdiri di geladak, menatap lautan es di bawah. Dalam diam ia dapat mendengar denyut waktu di sekelilingnya — detak kehidupan yang lambat, napas bumi yang tua.
Ia menatap ke horizon, di mana cahaya aurora membentuk naga emas yang melingkar di langit. Dalam hatinya, suara Roh Naga bergema, kali ini lembut:
“Kau menolak Chaos, tapi tak menolakku. Mungkin, kita akhirnya sejalan.”
Yu Chen tersenyum tipis. “Aku tak menolak kekuatan. Aku hanya memilih kapan waktu untuk menggunakannya.”
Ning Rou mendekat, membawa dua cangkir teh es.
“Ke mana setelah ini?”
“Ke selatan,” jawabnya. “Menuju kota Ras Iblis. Kunci keempat menunggu di sana.”
“Dan setelah itu?”
“Setelah itu…” ia memandangi aurora yang bergoyang perlahan, “aku ingin tahu apakah waktu juga bisa disembuhkan, bukan hanya diputar.”
Angin membawa jawaban yang tak terucap. Kapal spiritual menembus kabut, meninggalkan Dataran Beku.
Di bawah mereka, He Feng berdiri di depan gua es yang perlahan tertutup, sosoknya menyatu dengan lapisan kristal. Waktu di sekitarnya berhenti; senyumnya membeku abadi, seolah ia memilih tinggal di antara detik-detik yang tak lagi bergerak.
Langit berubah warna — emas bertemu hitam, naga bertemu kehampaan.
Perjalanan menuju Ranah Kehampaan pun dimulai.