Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Kepura-puraan yang Sempurna
Setelah insiden bunga mawar putih, kehidupan di rumah itu seolah kembali normal. Bahkan, ada lapisan kepura-puraan yang lebih tebal dan sempurna. Raka kini menjadi suami yang lebih perhatian, setidaknya di depan Naira.
Dia sering mengajak Naira makan malam di luar, meninggalkan aku sendirian di rumah. Hal ini seharusnya membuatku lega karena menciptakan jarak, tetapi justru membuatku merasa sakit hati. Raka membangun hubungan palsu yang sempurna dengan Naira, padahal ia sedang memegang rahasia terbesar bersamaku.
Sementara itu, komunikasi kami semakin terselubung. Kami hampir tidak pernah bicara berdua langsung. Semua komunikasi dialihkan ke aplikasi chat rahasia, di mana ia bisa menjadi dirinya yang egois dan jujur.
Pagi itu, saat Naira sedang sibuk mencari sepatu di kamar, ponselku bergetar.
Raka (Chat Rahasia): Jaket hoodie hitammu tertinggal di mobilku semalam. Sudah kucuci dan kurapikan. Aku akan mengembalikannya saat Naira tidak melihat.
Aluna: Mas, buang saja. Aku tidak mau mengambil risiko.
Raka: Kenapa harus dibuang? Jaket itu milik kita berdua sekarang. Jaket itu menciumku lebih lama darimu semalam.
Aku merasakan panas menjalar di pipiku. Kalimatnya sangat sugestif dan genit. Dia tidak hanya menggodaku; dia mengklaim objek fisik yang terkait dengan rahasia kami.
Aluna: Mas Raka, tolong jangan berkata aneh-aneh.
Raka: Aneh? Ini adalah kejujuran yang kamu dan aku butuhkan, Lun. Aku capek bicara soal deadline dan kunci mobil. Aku ingin bicara soal kita.
Raka: Nanti malam di ruang kerja, aku akan meninggalkan jaket itu di kursi. Jeda kita selanjutnya tidak bisa menunggu.
Aku mengunci ponselku. Ruang kerja. Tempat awal semua ini dimulai. Dia membawa kami kembali ke awal, tapi kini dengan membawa beban ciuman di basement.
Aku menghabiskan hari itu dalam kepanikan yang terpendam.
Saat makan siang, aku duduk sendirian di meja. Tanpa sadar, aku mulai membayangkan.
Bagaimana jika aku yang ada di posisi Kak Naira?
Aku membayangkan Raka duduk di seberangku, matanya yang tajam hanya tertuju padaku, bukan pada koran. Aku membayangkan dia memujiku di depan orang lain, tanpa ada rasa bersalah. Aku membayangkan tangannya menggenggamku di bawah meja, tanpa perlu takut ketahuan.
Delusi itu terasa begitu nyata, begitu hangat, hingga aku menyadari betapa jauhnya aku telah jatuh. Aku tidak lagi menginginkan jeda dari pernikahannya; aku menginginkan dirinya untuk diriku sendiri.
Sore hari, Kak Naira pulang. Dia terlihat sangat bahagia.
"Lun, aku mau kasih tau! Mas Raka sudah lebih baik. Tadi dia telepon aku tiga kali, cuma buat bilang dia kangen," kata Naira, senyumnya tulus. "Sejak kamu datang, rumah ini jadi pembawa keberuntungan, ya."
Aku menelan ludah. "Iya, Kak."
Aku tahu, telepon itu hanyalah bagian dari skenario Raka untuk meredakan kecurigaan Naira sepenuhnya. Semakin Naira bahagia dan percaya, semakin mudah bagi kami untuk menyelinap.
Raka pulang malam itu pukul delapan. Sama seperti hari-hari biasa.
Makan malam berjalan tenang. Raka dan Naira terlibat dalam obrolan santai tentang rencana liburan.
"Kita harus ke Bali, Sayang. Sudah lama kita tidak ke sana," kata Naira, memegang lengan Raka.
"Tentu. Aku akan atur jadwal kerjaku," jawab Raka, tersenyum lebar pada Naira.
Aku melihat adegan itu dan merasakan patah hati yang aneh. Itu adalah kebahagiaan yang seharusnya menjadi milikku dalam fantasiku, tapi Raka memberikannya kepada istrinya, sambil tahu bahwa jiwanya adalah milikku.
Saat Naira bangkit untuk mengambil makanan penutup, Raka melirik ke arahku.
Dia tidak berbisik. Dia hanya membuat gerakan mata ke arah ruang kerja. Itu adalah perintah. Itu adalah janji.
Pukul 23:45. Aku menunggu Naira terlelap.
Aku mengirim pesan: "Sudah"
Balasan Raka: "Ruang kerja. Lima menit."
Aku berjalan ke ruang kerja. Ruangan itu gelap, hanya diterangi lampu jalan yang samar-samar.
Di kursi kerja Raka, jaket hoodie hitamku terlipat rapi. Di atasnya, ada selembar catatan kecil.
Raka tidak ada di sana.
Aku mengambil jaket itu, merasakan lembutnya kain yang baru dicuci. Lalu, aku membuka catatan kecil itu.
Tulisannya singkat, menggunakan tinta hitam yang elegan:
Lun,
Aku tidak bisa datang. Naira tiba-tiba sakit perut dan aku harus menemaninya.
Aku tidak merusak janjimu. Aku hanya menunda. Ruang kerjamu yang sebenarnya ada di chat kita. Di situ aku bisa mengatakan semua yang tidak bisa kukatakan di depan Naira, bahkan saat dia di sebelahku.
Tidur nyenyak. Aku sudah mencium jaketmu.
Raka.
Aku membeku. Dia tidak datang. Dia memilih Naira, tapi dia meninggalkanku dengan pengakuan yang lebih intim daripada pertemuan fisik mana pun.
Aku sudah mencium jaketmu. Kalimat itu membuatku lemah.
Aku memeluk jaket itu, dan aroma Raka menyeruak. Bukan cologne yang kaku, tapi aroma sabun yang lembut dan pribadi.
Aku kembali ke kamarku, berbaring sambil memeluk jaket itu. Aku tahu, Raka telah memenangkan babak ini. Dia mengajarkanku satu hal: kontrolnya atas diriku tidak lagi bergantung pada kehadiran fisik. Itu tergantung pada kerinduanku pada kata-katanya.
Aku menutup mata, membayangkan Raka di sebelah Naira, sementara aku memeluk jaketnya, merasakan kehadirannya yang terlarang.