Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lepas
Malaikat kecilku, Mia. Akhirnya keluarga kita utuh.
Kalimat itu bukan sekadar deretan piksel di layar ponsel. Ia adalah asam sulfat yang disiramkan langsung ke dalam luka menganga di jiwa Angkasa. Utuh. Sebuah kata yang sederhana, tetapi memiliki daya ledak setara bom atom.
Keluarga mereka utuh tanpa dirinya. Keluarga mereka utuh karena ketiadaannya. Ia bukan kepingan yang hilang, melainkan kepingan yang memang sengaja dibuang agar gambar barunya terlihat sempurna.
Ponsel itu meluncur dari genggamannya yang gemetar, jatuh ke atas selimut dengan bunyi teredam. Udara di dalam ruang semu di balik tirai itu seakan tersedot habis. Angkasa terkesiap, mencoba menarik napas, tetapi yang masuk ke paru-parunya hanyalah kehampaan yang dingin dan tajam. Ia menatap dinding putih di hadapannya, tetapi yang ia lihat adalah adegan-adegan dari neraka pribadinya yang kini tersusun rapi dengan penjelasan yang paling keji.
Tawa Mia di kafe. Perhatian tulusnya. Senyumnya yang secerah matahari. Semua itu bukan lagi penawar, melainkan racun berlapis madu. Setiap kenangan manis yang mulai ia kumpulkan bersama gadis itu kini membusuk di dalam benaknya, berubah menjadi bukti pengkhianatan yang paling paripurna.
Takdir tidak hanya menamparnya, takdir sedang menertawakannya. Menertawakan kebodohannya karena berani berharap, berani merasakan kehangatan dari api yang sama yang telah membakar hangus seluruh masa kecilnya.
Lalu matanya terpaku pada satu detail yang menghunjamnya lebih dalam dari apa pun. Boneka beruang itu. Boneka cokelat dengan pita merah di lehernya, tergeletak santai di pangkuan Mia kecil.
Bukan hadiah perpisahan. Itu adalah barang bekas. Sebuah simbol dari cinta yang dialihkan.
Ingatannya terlempar kembali, ditarik paksa melintasi delapan belas tahun yang beku.
Flashback on
Ruang kunjungan panti terasa lebih dingin dari biasanya. Angkasa kecil, tujuh tahun, duduk dengan gelisah di kursi plastik yang keras. Di seberangnya, Laras tersenyum, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. Ada sesuatu yang berbeda dari ibunya hari itu. Sesuatu yang ganjil. Perutnya tampak sedikit lebih buncit di balik blus longgarnya, sesuatu yang tak dipahami oleh bocah sekecil itu.
“Ibu bawa sesuatu buat Angkasa,” kata Laras, suaranya lembut tetapi berjarak. Ia menyodorkan sebuah kotak kado berukuran sedang.
Tangan-tangan kecil Angkasa merobek kertas pembungkusnya dengan antusias. Di dalamnya, seekor boneka beruang berwarna cokelat dengan pita merah menatapnya dengan mata kancing hitamnya. Angkasa memeluk boneka itu erat-erat.
“Suka?” tanya Laras.
Angkasa mengangguk kuat, wajahnya terbenam di bulu sintetis boneka itu.
“Suka banget, Bu. Nanti kalau Ibu jemput Angkasa, bonekanya boleh ikut pulang, kan?”
Laras terdiam sejenak. Tangannya tanpa sadar mengelus perutnya sendiri.
“Tentu, Sayang. Tentu saja.”
“Ibu janji, ya?”
“Ibu janji.”
Itu adalah janji terakhirnya. Setelah hari itu, Laras tidak pernah datang lagi. Dan boneka itu, yang tadinya adalah simbol janji, perlahan berubah menjadi monumen penantian yang sia-sia.
Kini, Angkasa dewasa mengerti. Laras tidak membeli boneka itu untuknya. Ia membelinya untuk Mia. Mungkin, dalam sebuah momen kelemahan atau rasa bersalah yang sekilas, ia memutuskan untuk memberikan boneka ‘cadangan’ itu kepada putra yang akan ia tinggalkan selamanya. Sebuah gestur kosong untuk menenangkan hati nuraninya sendiri sebelum ia membangun istananya di atas puing-puing kehidupan Angkasa.
Flashback off
Di balik tirai kamar 702, Angkasa membungkuk, kepalanya terkulai di antara kedua lututnya. Rasa mual yang hebat naik dari perutnya, membawa serta empedu pahit dari kebenaran. Sakit.
Ternyata ada rasa sakit yang jauh lebih menusuk daripada jarum infus, lebih menyiksa daripada sel-sel darah yang sekarat. Ini adalah pengkhianatan di level seluler, pengkhianatan darah. Ia dan Mia berbagi darah yang sama dari ibu yang sama, tetapi takdir membaginya dengan begitu kejam: satu menjadi malaikat, yang lain menjadi hantu.
“Terkutuk,” desisnya pada dirinya sendiri, suaranya serak dan pecah.
“Aku ini terkutuk.”
Ia meraih kembali ponselnya. Tangannya tidak lagi gemetar. Kini tangannya dingin membekukan, digerakkan oleh resolusi yang kelam. Ia membuka daftar kontaknya, menemukan nama ‘Mia Kopi Manis’ yang pernah ia tulis dengan senyum konyol di wajahnya. Senyum yang kini terasa seperti sebuah kebodohan.
Jarinya menari di atas papan ketik virtual, mengetikkan pesan dengan kecepatan brutal. Tanpa sapaan. Tanpa penjelasan.
Jangan hubungi aku lagi.
Hanya itu. Lima kata yang terasa seperti lima bilah es yang ia tancapkan ke jantungnya sendiri. Ia menatap pesan itu sejenak, lalu tanpa ragu menekan tombol kirim.
Seketika itu juga, ia membuka profil kontak Mia dan menekan opsi ‘Blokir’. Selesai. Pintu itu telah ia banting hingga hancur berkeping-keping. Tidak akan ada lagi tawa, tidak ada lagi cerita, tidak ada lagi kehangatan palsu.
Ia melemparkan ponsel itu ke ujung ranjang dan merebahkan diri, menatap langit-langit putih yang steril. Ia tidak merasakan kelegaan. Hanya kehampaan. Sebuah lubang hitam yang lebih besar kini menganga di dadanya, menelan habis percikan harapan yang baru saja dinyalakan oleh kabar donor dan kelembutan Lila.
“Woi, Kecoak.”
Suara Gilang menembus tirai, terdengar ragu-ragu.
“Lo masih idup, kan, di sana? Diem-diem bae.”
Angkasa tidak menjawab.
Tirai pemisah itu disibak sedikit. Kepala Gilang melongok ke dalam, ekspresinya berubah dari jahil menjadi cemas saat melihat wajah Angkasa yang pucat dan tatapannya yang kosong.
“Kak?” panggil Gilang lebih pelan.
“Lo kenapa? Muka lo… kayak abis liat setan.”
Angkasa menarik napas panjang yang bergetar. Ia memalingkan wajahnya dari Gilang, menatap ke arah jendela di mana senja mulai mewarnai langit dengan semburat oranye dan ungu, warna-warna indah yang terasa seperti ejekan.
“Bukan setan, Lang,” jawab Angkasa lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
“Lebih parah.”
Gilang berjalan terpincang-pincang mendekati ranjang Angkasa. Ia tidak bertanya lebih jauh, seolah tahu ini bukanlah luka yang bisa diobati dengan candaan. Ia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menunggu.
Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa menit, hanya dipecah oleh bunyi bip ritmis dari monitor Gilang.
“Masalah cewek tadi, ya?” tebak Gilang akhirnya, suaranya hati-hati.
“Yang namanya Mia itu? Dia yang suka kirim paket buat Kakak kan?”
Angkasa menggeleng pelan.
“Bukan.”
“Terus?”
Angkasa menelan ludah, kerongkongannya terasa sekering gurun pasir. Ia tidak bisa menceritakan semuanya. Beban ini terlalu berat, terlalu busuk untuk dibagikan. Namun, ia harus mengeluarkan serpihannya, atau ia akan meledak.
“Kadang,” Angkasa memulai, matanya masih terpaku pada langit senja.
“Ada orang yang harus kita lepasin. Bukan karena kita nggak sayang. Justru sebaliknya.”
Ia berhenti sejenak, mencari kata yang tepat di tengah reruntuhan hatinya.
“Kita lepasin karena kalau terus dipegang, yang hancur bukan cuma kita, tapi semua yang ada di sekitar kita,” lanjutnya.
“Aku… aku harus melepaskan seseorang yang paling aku cintai, Lang. Demi kebaikan semua orang.”
Gilang menatap punggung Angkasa, bingung tetapi bisa merasakan kepedihan yang luar biasa dari kalimat itu. Sebelum ia sempat merespons, Angkasa tiba-tiba merasakan sensasi hangat yang familier mengalir dari hidungnya. Ia menyentuhnya dengan ujung jari.
Darah. Merah pekat. Menetes deras ke atas selimut putihnya.
“Kak, hidung lo!” seru Gilang panik.
Angkasa hanya menatap tetesan darah di jarinya dengan tatapan aneh, seolah itu bukan miliknya. Pada saat yang bersamaan, pintu kamar terbuka. Lila masuk membawa nampan makan malam, senyum lelah namun tulus terpasang di wajahnya.
“Waktunya makan, para pejuang…”
Senyumnya membeku saat melihat darah di tangan Angkasa dan wajah panik Gilang. Nampan itu jatuh dari tangannya, piring dan gelas pecah berantakan di lantai, menciptakan suara yang memekakkan telinga.
“Mas Angkasa!” jeritnya.
Angkasa mencoba menoleh ke arah Lila, mencoba mengatakan bahwa ia baik-baik saja, bahwa ini hanya mimisan biasa.
Tetapi dunia di sekelilingnya tiba-tiba berputar hebat. Kepalanya terasa ringan, lalu berat luar biasa. Dengung keras memenuhi telinganya, menenggelamkan suara panik Lila dan Gilang. Kegelapan mulai merayap dari tepi penglihatannya, melahap segalanya dengan cepat.
Hal terakhir yang ia lihat adalah siluet Lila yang berlari ke arahnya, wajah gadis itu dipenuhi kekhawatiran. Ia mencoba memanggil namanya, tetapi yang keluar dari bibirnya hanyalah embusan napas.
“Lila…”
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras