NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26. Di Balik Gemerlap Malam

Pintu ballroom yang tinggi dan megah itu terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan luas yang penuh cahaya keemasan dari lampu kristal raksasa di langit-langitnya. Hiburan musik dari panggung mengalun indah di antara riuh suara tamu-tamu yang berbincang dan tertawa. Aroma bunga segar bercampur dengan wangi makanan mewah juga memenuhi udara.

Damian melangkah masuk dengan tenang, langkahnya mantap dan berwibawa. Sementara Elena berjalan di sampingnya dengan pakaian sekretarisnya sejak pagi tadi. Tatapan tamu-tamu beralih sejenak pada mereka. Begitupun bisik-bisik ringan yang samar terdengar untuk mengagumi karisma dan pesona mereka.

Beberapa pria yang mengenal Damian segera menghampiri, menyalaminya sambil menepuk bahu dan bertukar tawa hangat, seolah reuni para pengusaha lama. Elena memilih sedikit mundur selangkah di belakang punggung Damian, menjaga sopan santun sambil mengamati sekeliling.

Wajah-wajah di sana tampak asing bagi Elena. Dan ia mengamati satu per satu wajah itu, mencari wajah seseorang yang merubahnya hingga menjadi Elena yang sekarang.

“Apa dia belum datang?” batinnya.

Sementara itu, pandangan Damian tiba-tiba tertuju pada satu titik. Yaitu pada Alan yang tampak tengah berbicara dengan John di antara para tamu. Tatapan itu membuat sudut bibirnya menegang, lalu ia dengan tenang pamit dari kelompoknya.

Tanpa berpikir panjang, ia meraih tangan Elena dan menggenggamnya ringan, mengajaknya melangkah lebih dalam ke tengah ruangan. Elena sempat terkejut oleh sentuhan itu, tapi tidak menolak.

“Paman,” panggil Damian.

Alan dan John sontak menoleh bersamaan. Wajah Alan langsung merekah cerah pada Damian, sementara John menyunggingkan senyum mesum ke arah wanita di samping Damian. Menelusuri sosok Elena dari kepala hingga ujung kaki tanpa rasa malu.

Elena cepat memalingkan wajah. Ia sama sekali tidak sudi menatap pria itu.

“Kenapa juga dia ada di sini? Menyebalkan!” Batinnya kesal.

“Akhirnya kau datang,” ujar Alan dengan nada hangat.

“Apa aku terlambat?” tanya Damian datar.

Alan menggeleng, “Tentu tidak.” Namun matanya melirik sinis ke arah Elena.

Namun, wanita itu menatap balik tanpa gentar, seolah menantang singa tua di hadapannya.

John maju selangkah dan membungkuk hormat, “Selamat malam, Tuan Damian.”

Damian hanya mengangguk singkat.

“Malam juga untuk Nona Elena,” lanjut John dengan senyum yang lebar.

Elena tidak menjawab, hanya menatap tajam dan menggenggam tangan Damian lebih erat.

Damian sempat menoleh sekilas, menangkap ketegangan di wajah Elena. Ia mulai berpikir, apakah terjadi sesuatu di antara mereka saat Elena mengantarkan berkas ke ruangan John siang tadi?

“Mana Bibi?” tanya Damian akhirnya. Ia hanya ingin pergi dari pertemuan yang tidak nyaman ini.

“Di sana.” Alan menunjuk ke arah wanita bergaun hitam elegan yang sedang bercakap dengan beberapa tamu, “Aku akan mengantarmu.”

“Tidak perlu,” tolak Damian tegas, “Aku bisa sendiri.”

Ia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. Elena mengikutinya dengan langkah ringan, sementara tatapan John tidak juga lepas dari punggung mereka, atau tepatnya pada sosok Elena.

“Mereka bahkan berani berpegangan tangan di depan semua orang,” gumam Alan dengan sindiran.

John menyeringai, “Kita lihat saja sampai kapan itu bertahan.”

Alan tertawa rendah penuh arti, lalu menepuk bahu John, “Ayo, kita sambut tamu lain,” ucapnya yang membuat John mengangguk.

Sementara itu, Damian dan Elena berjalan mendekati istri Alan yang berdiri di antara tamu-tamu undangan. Begitu mendekat, ekspresi datar di wajah Damian perlahan mencair menjadi ramah.

“Bibi. Selamat ulang tahun,” ucap Damian ketika sudah berdiri di samping wanita itu.

Kelly menoleh. Senyumnya merekah, penuh kehangatan. Ia berpamitan pada tamunya sebelum berhadapan langsung dengan Damian.

“Damian, terima kasih sudah datang,” ucapnya tulus, lalu pandangannya beralih pada Elena. Wajah penuh tanya pun tidak bisa ia sembunyikan.

“Selamat ulang tahun, Nyonya,” ucap Elena sopan sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya, “Ini hadiah kecil dari kami.”

Ia melirik Damian yang membalasnya dengan senyum hangat.

Kelly membuka kotak itu perlahan. Sebuah gelang mewah berkilau di dalamnya. Wajahnya berubah bahagia.

“Ini indah sekali.” Ia memandangi Damian dan Elena bergantian, “Terima kasih banyak.”

Namun kemudian, pandangan Kelly terhenti pada Elena.

“Kau…?” tanyanya ragu.

“Aku Elena, sekretaris—”

“Dia pasanganku,” potong Damian tanpa jeda.

Elena dan Kelly sontak membelalakkan mata. Ruangan seakan berhenti sejenak. Jam pun juga serasa berhenti berdenting.

Elena menatap Damian tidak percaya. Jantungnya berdebar keras. Meskipun semua ini bagian dari rencananya, tapi cara Damian mengatakannya dengan tegas dan tanpa keraguan tetap saja berhasil membuat dadanya bergetar. Ia bahkan masih mengingat perkataan Damian soal menjalaninya secara pelan-pelan karena perbedaan usia di antara mereka. Lalu ada apa sekarang? Kenapa pria itu berubah secepat ini?

Sedangkan Kelly langsung menutup mulutnya karena terharu.

“Oh Tuhan…” Ia mendekati Elena dan menggenggam tangannya lembut, “Aku bersyukur karena Damian akhirnya melabuhkan hatinya pada seseorang. Aku sungguh bahagia mendengarnya.”

Ia tersenyum sambil mengusap ujung matanya yang mulai menggenang, “Kudoakan kalian selalu bersama dan bahagia.”

Elena membalasnya dengan senyum samar, masih berusaha menenangkan dirinya.

Kelly menatap Elena penuh kasih, “Setelah ini, kau harus memanggilku Bibi Kelly, seperti Damian memanggilku.”

Elena sempat terdiam sepersekian detik, sebelum akhirnya mengangguk pelan.

“Bibi,” ucapnya lembut.

Senyum Kelly melebar. Ia menyentuh pipi Elena dengan lembut, gerakannya penuh kehangatan seperti seorang keluarga yang baru menerima anggota baru. Sentuhan itu membuat Elena sedikit gugup, tapi juga anehnya terasa nyaman.

Damian yang menyaksikan interaksi keduanya tidak kuasa menahan senyum kecil di sudut bibirnya. Untuk sesaat, suasana di antara mereka tampak tenang, seolah pesta yang ramai di sekeliling hanyalah latar samar dari momen sederhana itu.

Kelly menurunkan tangannya perlahan, “Kalian nikmati hidangan yang disediakan, ya? Aku harus menyapa tamu lain,” ucapnya dengan ramah.

Damian mengangguk sopan.

“Terima kasih, Bibi,” ucapnya.

Kelly masih sempat melirik ke arah mereka sambil tersenyum hangat sebelum melangkah menuju kerumunan tamu berikutnya, meninggalkan Damian dan Elena di tengah gemerlap ballroom yang dipenuhi tawa, denting gelas, dan musik panggung yang terus mengalun.

Sepeninggal Kelly, Elena menatap Damian dengan mata sedikit menyipit, menahan kekesalan sekaligus rasa ingin tahu, “Apa tadi, Om? Pasangan? Om yakin mengatakan itu di depan orang lain? ”

Damian tidak langsung menjawab. Genggamannya justru semakin erat di tangan Elena, seolah memberi penegasan diam-diam, “Kenapa? Bukannya kau selalu mengharapkan ini?” tanyanya balik dengan tenang, tapi ada sedikit godaan di ujung suaranya.

Elena mengerucutkan bibir, berusaha tidak kehilangan kendali di tengah ballroom yang masih ramai, “Aku tahu. Tapi bukannya waktu itu Om sendiri bilang mau menjalani semuanya pelan-pelan, karena usia kita berdua?”

Damian menatapnya lurus, tatapannya dalam dan sulit ditebak, “Kutarik ucapanku itu. Aku tidak ingin menjalaninya pelan-pelan.”

Kening Elena berkerut, “Om menyembunyikan sesuatu dariku, ya?”

Damian terkekeh pelan, nada tawanya mengalir ringan namun terasa menyimpan sesuatu, “Tentu tidak. Kau yang berpikir terlalu jauh." Ia menepuk tangan Elena lembut, “Sudah, ayo kita ambil makanan.”

Elena mengangguk perlahan, masih dengan rasa penasaran yang berputar di kepalanya. Ia mengikuti langkah Damian menuju meja hidangan, sementara pikirannya justru semakin sibuk menebak alasan di balik sikap pria itu malam ini.

Mereka akhirnya berhenti di depan meja jamuan yang penuh sesak oleh hidangan mewah. Aroma manis dan gurih bercampur menjadi satu, berpadu dengan cahaya hangat lilin dan bunga-bunga segar dalam pot. Beragam makanan tersaji rapi, mulai dari makanan berat seperti potongan daging panggang, salad, dan sebagainya. Ada pula makanan manis yang berderet dengan lapisan gula yang tampak menggoda.

Damian mengambilkan dua piring, menyerahkan salah satunya kepada Elena.

“Terima kasih,” ucap Elena pelan, lalu mulai menjepit beberapa makanan manis ke atas piringnya. Gerakannya lembut, tapi matanya tidak tenang. Ia sesekali melirik ke sekeliling ruangan, seperti sedang menunggu seseorang.

Sementara itu, Damian memilih makanan berat dengan santai, piringnya mulai penuh dengan potongan daging dan saus kental. Saat ia menoleh, ia mendapati Elena tengah memperhatikan sekeliling dengan pandangan yang terlalu gelisah untuk ukuran pesta semeriah itu.

“Kau mencari seseorang?” tanya Damian.

Elena hampir menjatuhkan capit di tangannya karena terkejut.

“Kenapa kau terkejut?” Damian menatapnya heran.

Elena buru-buru menggeleng, “Aku hanya sedang mempersiapkan diri. Kalau saja tiba-tiba anak Om datang.”

Damian tersenyum kecil, senyum yang menenangkan, “Jangan khawatir. Anak itu tidak akan macam-macam.”

Elena mengangguk, meski jauh di dalam hatinya, ia tidak yakin akan bisa setenang itu saat berhadapan dengan Sean nanti.

“Sudah selesai?” tanya Damian.

Elena meletakkan capitnya dan mengangguk, “Sudah.”

“Ayo, kita duduk di sana,” Damian menunjuk salah satu meja kosong di sana.

Mereka pun berjalan berdampingan melewati tamu-tamu lain. Dan sesampainya di meja, keduanya duduk berhadapan.

Elena mulai mencicipi kuenya, manisnya cokelat dan lembutnya krim seolah memberi ketenangan sesaat. Damian pun menyendokkan makanan ke dalam mulutnya, menikmati hidangan dalam diam.

Elena meletakkan sendoknya pelan, lalu menatap Damian yang tengah menikmati makanannya. Ada sesuatu yang harus ia katakan. Ia tahu karena pria itu memiliki kuasa mutlak, maka dari itu ia harus memberitahu tentang hal ini.

“Om,” panggilnya pelan.

Damian mendongak, “Ada apa?”

Elena menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Soal Tuan John.”

Gerakan tangan Damian terhenti di udara, ekspresinya berubah serius, “Ada apa dengannya?”

Elena menatap meja sejenak, lalu berkata pelan namun tegas, “Pria itu benar-benar kurang ajar. Di ruangannya siang tadi dia menggodaku, dengan cara yang jelas-jelas tidak sopan. Aku sangat marah.”

Suasana di antara mereka langsung berubah. Rahang Damian mengeras, sorot matanya tajam, dan napasnya terdengar berat. Sekarang ia mengerti kenapa Elena tadi begitu tidak nyaman saat bertemu John di pesta ini.

“Bajingan itu…” gumamnya geram dengan tangan mengepal. Ia segera bangkit dari kursinya, siap beranjak. Tapi sebelum sempat melangkah, tangan lembut Elena menahan pergelangannya.

“Tidak di sini, Om,” ucapnya cepat, “Apa Om ingin merusak pesta ulang tahun bibi Kelly?”

Damian menatapnya lama. Mata tajamnya beradu dengan keteduhan milik Elena. Lalu ia menarik napas panjang dan duduk kembali, menahan amarah yang masih bergolak.

“Baiklah,” ucapnya dengan nada rendah, “Tapi besok, di kantor, aku berjanji akan memberinya pelajaran. Tidak ada yang boleh memperlakukanmu seperti itu. Terima kasih karena sudah memberitahuku.”

Elena tersenyum tipis, mengangguk pelan, “Sebagai pasangan, memang seharusnya kita terbuka satu sama lain,” ujarnya tenang, meski di balik kalimat itu, ada rahasia yang masih ia sembunyikan rapat dari Damian.

Damian pun mengangguk, matanya melembut. Ia tersenyum kecil, bukan karena amarahnya hilang, tapi karena ia baru saja menyadari satu hal. Entah sejak kapan, rasa ingin melindungi Elena menjadi begitu kuat hingga menutupi akal sehatnya. Di sisi lain, ia juga menyimpan rahasia sendiri, alasan mengapa ia ingin terus melangkah bersama wanita itu.

“Aku akan mengambilkan minum,” ucap Damian sambil meletakkan alat makannya.

“Biar aku saja,” ucap Elena dan berdiri lebih dulu. Damian pun mengangguk, tidak menolak, lalu kembali menikmati makanannya.

Langkah Elena perlahan membawanya ke meja jamuan. Deretan botol anggur dan minuman berwarna berkilau tertata rapi di bawah cahaya lampu. Ia baru saja mengulurkan tangan untuk mengambil segelas jus tapi kedatangan seseorang berhasil menghentikan gerakannya.

Seorang pegawai hotel pria datang mendekat, membawa nampan perak berisi dua gelas margarita yang tampak dingin dengan lapisan garam di tepinya.

“Nona,” sapa pegawai itu sopan, “Ini minuman spesial yang dipesan oleh Nyonya Kelly untuk Nona dan Tuan Damian.”

Elena menatapnya sejenak, alisnya bertaut, “Untuk kami berdua?” tanyanya pelan untuk memastikan.

Pegawai itu mengangguk mantap.

Tatapan Elena beralih sekilas ke arah Kelly. Wanita itu tampak sibuk bercakap dengan para tamu, tertawa lepas seolah tidak ada yang perlu dicurigai. Namun perasaan aneh menyusupi dada Elena, menimbulkan gelombang kecil yang tidak bisa ia abaikan.

“Lebih baik kau berikan langsung di depan Bibi Kelly,” ujarnya akhirnya, dengan nada tenang tapi tajam.

Pegawai itu tersenyum ramah, “Nyonya Kelly sedang sibuk menyambut tamu, Nona. Kami hanya menjalankan perintahnya.”

Elena menatap lekat, mencoba membaca sesuatu di balik mata pria itu. Tapi tidak ada yang bisa ia tangkap selain kesopanan dan keramahan. Setelah beberapa detik, ia mengembuskan napas perlahan. Mungkin ia yang terlalu curiga.

“Baiklah,” ucapnya sambil mengambil dua gelas margarita itu dari atas nampan, “Terima kasih.”

Pegawai itu membungkuk sedikit sebelum berlalu. Elena memandangi minuman di tangannya sesaat. Buih halus di permukaan tampak begitu tenang, namun entah mengapa perasaannya justru terasa sebaliknya. Ia berusaha menepis rasa itu. Jangan sampai Damian malah menjauhi dirinya karena terlalu curiga pada bibinya sendiri. Ia pun berbalik dan melangkah kembali menuju mejanya.

Saat sampai di meja, kening Elena berkerut. Kursi di seberang kosong. Alat makan Damian diletakkan asal, garpu menumpuk di atas piring dengan noda saus yang belum sempat dibersihkan. Terlihat tergesa, seolah pria itu meninggalkan tempatnya tanpa sempat berpikir.

Ia meletakkan dua gelas margarita yang ia bawa ke atas meja, dan pandangannya kemudian menyapu ke seluruh penjuru ballroom. Cahaya lampu gantung berkilau di atas kepala, para tamu masih bercakap dan tertawa, namun sosok Damian tidak terlihat di mana pun.

Langkah seorang pegawai hotel mendekat, lalu membungkuk sopan.

“Nona,” ucapnya lembut, “Tuan Damian berpesan bahwa beliau pergi ke toilet. Beliau meminta saya menyampaikan pesan itu kepada Anda.”

Elena memiringkan kepala sedikit, menatap pria itu curiga, “Hanya pergi ke toilet, tapi sampai harus menitip pesan?” tanyanya datar, penuh ketidakpercayaan.

“Saya hanya menjalankan perintah, Nona. Saya permisi,” jawab pegawai itu, sebelum kembali menunduk dan berlalu tanpa menoleh lagi.

Elena menatap punggung pegawai itu hingga menghilang di antara kerumunan, lalu menarik napas pelan. Ia duduk kembali, menyenderkan punggungnya pada kursi, dan membuka tasnya. Ponsel di tangannya ia hidupkan. Namun tidak ada pesan, tidak ada panggilan, semua sepi tanpa notifikasi.

Mungkin memang benar, pria itu hanya pergi sebentar. Mungkin hanya pikirannya sendiri yang terlalu liar malam ini.

Ia mengembuskan napas pendek, lalu tersenyum kecil untuk menenangkan diri. Ia pun memilih melanjutkan menikmati kuenya. Setelah itu, tangannya terulur mengambil gelas margarita di depannya. Cairan dingin itu menelusuri tenggorokannya, memberikan sensasi segar yang sejenak membuat pikirannya tenang.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!