Kania nama gadis malang itu. Kehidupan sempurnanya kemudian berantakan setelah sang ibu meninggal dunia. Ayahnya kemudian menikahi janda beranak satu di desanya. Kehidupan bahagia yang sempat dirasakannya di masa lalu terasa seperti barang mewah baginya. Kania nama gadis malang itu. Demi menutupi utang keluarganya, sang ayah bahkan tega menjualnya ke seorang rentenir. Pernikahannya bersama rentenir tua itu akan dilaksanakan, namun tiba-tiba seorang pria asing menghentikannya. " Tuan Kamal, bayar utangmu dulu agar kau bebas menikahi gadis mana pun", pria itu berucap dingin. Hari itu, entah keberuntungan atau kesialan yang datang. Bebas dari tuan Kamal, tapi pria dingin itu menginginkan dirinya sebagai pelunas utang. Kania nama gadis itu. Kisahnya bahkan baru saja dimulai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourfee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Sepanjang perjalanan tersisa, Kania dan pria itu diam sibuk dengan isi kepalanya masing-masing. Jika Edward Lamos terlihat biasa saja, beda dengan Kania. Gadis itu terlihat gugup. Aneh sekali. Padahal tadi ia sangat penasaran dengan pria itu, tapi sekarang ketakutan yang tadi hilang, kini pelan-pelan kembali hadir. Gadis itu bahkan beberapa kali membuang napasnya kasar, berusaha mengabaikan rasa takutnya. Hal-hal buruk memenuhi isi kepalanya. Ada apa dengan kehidupan barunya nanti?
Mobil kemudian berhenti di sebuah bangunan megah, sebuah rumah bergaya eropa klasik yang berdiri kokoh jauh dari hingar-bingar ibukota. Kania sedikit kaget. Ia melihat pemandangan di sekitarnya. Di sana sini yang terlihat hanya pohon-pohon tinggi, didominasi pohon pinus tua, Kania tebak umurnya sudah ratusan tahun. Bulu kuduknya sedikit merinding. Kenapa ada orang yang betah tinggal di hutan. "Jangan suka bengong jika kau tidak mau dirasuki oleh arwah jin penunggu hutan. Apalagi, ia suka sekali dengan gadis bodoh sepertimu". Ingin sekali Kania mencabik-cabik mulut pria tak bermoral itu. Kata-katanya selalu menyakitkan.
Perlahan, Kania mengikuti langkah kaki pria itu, memasuki rumah asing yang akan menjadi saksi bisu kehidupannya ke depan.
Sepi. Di mana orang-orang? Apakah pria ini tinggal sendiri? Di rumah sebesar ini? Yang benar saja. Pria itu kemudian mengajak Kania naik ke lantai dua, entah untuk apa.
"Bocah, ini kamarmu. Jika kau perlu apa-apa katakan saja padaku. Kamarku ada di sebelah. Sekarang kau istirahat dulu. Aku tau bocah sepertimu gampang lelah".
Kania memberanikan diri menatap pria itu, suaminya.
"Tuan, terima kasih sudah membantuku terlepas dari Tuan Kamal. Aku sangat berutang budi padamu. Mungkin, aku akan mulai bekerja untuk membayar utangku. Apakah kau akan mengizinkanku bekerja, Tuan?"
Edward Lamos memberikan tatapan datar ke arah gadis itu.
"Jangan naif bocah, kau pikir aku suka rela menebusmu dari Tuan Kamal? Belum lagi jumlah uang yang harus kuberikan untuk ayahmu yang gila harta itu. Gaji hasil bekerjamu seumur hidup bahkan tidak akan cukup untuk melunasinya. Nah, kau tau apa tugasmu sekarang? Kau akan kujadikan pembantu di rumah ini. Jangan berani-beraninya kabur. Ingat, kita hanya tinggal berdua. Menghabisi nyawamu di sini bukanlah hal yang sulit bagiku. Apalagi kau sangat kurus, maksudmu gizi buruk. Kalau sekarang aku melemparmu dari sini, mungkin kau langsung mati. Apa kau bisa pahami itu, bocah?" Edward Lamos berusaha keras menahan tawanya melihat ekspresi ketakutan gadis ingusan itu. Lihat saja, lututnya bergetar saking takutnya. Dalam hati, Kania mengumpati suaminya habis-habisan.
"Berhenti mengataiku. Sudah kuperingatkan, bukan?" Selain pemarah, dia juga cenayang.
"Apa ada pertanyaan? Kuberi kau satu kesempatan bertanya. Awas saja jika pertanyaanmu tidak berbobot". Belum bertanya saja sudah diancam, keluh Kania.
"Maaf Tuan, aku penasaran kenapa kau mau menikahiku?"
"Kenapa kau mau menikah denganku?"
"Ya aku tidak punya pilihan jadi kusetujui saja".
"Cih bilang saja kau suka denganku. Kau pasti kagum dengan ketampananku. Jika dibandingkan dengan rentenir tua itu, tentu saja aku lebih segalanya. Orang gila pun akan memilihku daripada si tua itu". Kania memilih bungkam, menutup mulutnya rapat-rapat. Menyesal sekali ia telah bertanya.
"Kau mau tau alasan sebenarnya? Baiklah, ketika aku melihatmu, aku tau kau adalah gadis yang bodoh. Aku pikir, kau akan mudah sekali diakali". Pria itu kemudian pergi tanpa beban meninggalkan Kania dengan segala penyesalannya. Yah menyesal telah bertanya.