 
                            Erina (29th) dipaksa Ayahnya bercerai dari suaminya. Erina dipaksa menikah lagi untuk menebus kesalahan Ayahnya yang terbukti telah menggelapkan uang perusahaan. 
Agar terbebas dari hukuman penjara, Erina  dipaksa menikah dengan Berry, seorang CEO dari perusahaan ternama tempat Ayahnya bekerja. 
"Tolong Nak. Ayah tidak ada pilihan lain. Bercerai lah dengan Arsyad. Ini jalan satu-satunya agar ayahmu ini tidak masuk penjara," Wangsa sangat berharap, Erina menerima keputusannya,
 
"Tinggalkan  suamimu dan menikahlah denganku! Aku akan memberimu keturunan dan kebahagiaan yang tidak kau peroleh dari suamimu." pinta Berry tanpa peduli dengan perasaan Erina saat itu.
Bagaimana Erina menghadapi polemik ini? Bagaimana pula reaksi suami Erina ketika dipaksa bercerai oleh mertuanya sebagai syarat agar Erina bisa menikah lagi?
Yuk baca kisah selengkapnya, seru dan menegangkan! Happy reading!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 Tilang Membawa Berkah
Berry menatap Bu Emi dengan tajam. Dia sangat tidak suka dengan ucapan Bu Emi yang seolah memandang Razan sebelah mata.
"Pak Umar, tolong kasih tahu Ibu ini siapa Razan sebenarnya! Saya akan mencari Razan sampai ketemu," titahnya sambil memakai kaca mata hitamnya.
Berry pergi dengan langkah cepat meninggalkan sekolah tersebut. Dia sangat mengkhawatirkan anaknya.
"Pak Umar, ada apa sih?" tanya Bu Emi ingin tahu setelah melihat rona wajah Berry yang berubah jadi marah padanya.
Pak Umar menghela nafas panjangnya. Menatap geram Bu Emi yang sudah bertindak ceroboh dengan mengatakan sesuatu tanpa penyaringan.
"Ucapan saya benar kan Pak? Kenapa Tuan Berry terlihat sewot begitu? Memangnya si Razan itu anak siapa? Sampai - sampai Tuan Berry sangat khawatir begitu. Heran saya, anak nakal kok dilindungi gitu..." cerocos Bu Emi sambil menatap kepergian Berry.
"Cukup Bu!" titah nya dengan nada tinggi, matanya melotot merasa gemas sendiri dengan ucapan Bu Emi yang ceplas-ceplos
"Lho memang benar kan? Si Razan itu anak nakal yang dilindungi oleh kepala sekolah dan ketua yayasan..."
"Bu Emi dengarkan dulu Bapak bicara! Jangan kayak petir, nyamber mulu dari tadi," titah pak Damar sambil menggelengkan kepalanya. Seraya masih duduk di samping Bu Emi.
Pak Umar menatap Bu Emi dengan tatapan mengerikan.
"Bu Emi tahu siapa Razan sebenarnya?" tanyanya dengan nada tinggi.
"Ya saya tidak tahu Pak. Makanya saya ingin tahu,"
"Dengar baik-baik Bu! Razan itu anak ketua yayasan, pemilik sekolah ini, paham!"
"Hah! Mak...maksud Bapak, Razan anak Tuan Berry?"
Bu Emi tercengang menatap kepala sekolah tidak percaya. Dia menggelengkan kepalanya. Sungguh kenyataan ini bisa mempersulitnya dirinya yang akan mengajukan sertifikasi pendidik.
Tidak hanya Bu Emi yang kaget dengan kenyataan ini. Pak Damar pun demikian. Beruntung Pak Damar tidak membenci anak didiknya walaupun dianggap nakal. Dia masih terus berusaha agar anak didiknya berubah menjadi lebih baik lagi.
"Ke..kenapa Bapak tidak ngomong sejak awal? Kalau kita para guru tahu Razan itu anak Tuan Berry tentunya kita akan siaga terus melindunginya," ucapnya menyesali ucapan kepala sekolah yang baru saja menguak identitas Razan.
Pak Umar tertawa sinis. Seraya menggelengkan kepalanya setelah mendengar penuturan dari Bu Emi.
"Bu Emi...Bu Emi, mendidik anak itu tidak harus mengetahui dia anak siapa. Mendidik dengan tulus itu sangat didambakan oleh semua anak. Karena mereka punya hak yang sama ingin diperhatikan, dilindungi, disayang dan dicintai. Mereka butuh itu."
"Iya Pak, maafkan saya. Tapi tolong Pak jangan pecat saya. Saya sebentar lagi akan mengajukan sertifikasi guru,"
"Dipecat atau tidak itu bergantung pada iBu sendiri. Kalau Ibu masih tidak punya empati terhadap anak-anak, saya tidak menjamin ibu akan awet kerja di sini," jawab pak Umar cukup menohok.
Pak Umar langsung keluar menuju ruang cctv untuk mengambil barang bukti jika di sekolahnya pernah didatangi dua orang polisi gadungan. Hal ini diminta oleh aparat kepolisian setempat agar bisa menangkap pelaku dengan cepat.
*********
Sementara itu, aksi kejar-kejaran mobil dan motor terjadi di jalan raya.
Erina yang sangat mengkhawatirkan kondisi Razan saat ini terlihat cemas.
"Ayo Pak Roy ikuti terus mobilnya! Sepertinya salah satu dari mereka tahu kalau mobil yang mereka tumpangi kita ikuti, makanya lajunya dipercepat!" teriak Erina memberi semangat rekan kerjanya untuk mengikuti mobil yang menjadi target utama yang membawa lari Razan.
"Kita tetap harus atur jarak Bu, agar mereka bisa kita kelabui. Ibu langsung cepat hubungi polisi kalau kita sudah mengetahui tempat Razan dibawa!" teriak pak Roy mengingatkan Erina untuk tanggap agar polisi pun bisa membantu aksi penyelamatan Razan dari tangan penjahat tersebut.
Erina mengambil ponsel dari kantong bajunya. Pertama yang Erina lakukan adalah merekam mobil patroli yang digunakan penjahat dalam melakukan aksinya.
Tiba-tiba seorang polisi mencegat motor yang mereka tumpangi, sehingga mau tidak mau Pak Roy harus menghentikan motornya.
"Selamat siang!" sapa seorang polisi menempelkan tangannya memberi tanda hormat pada keduanya.
Erina tidak menggubris, matanya masih menatap mobil yang lambat Laun berjalan cepat sampai tak terlihat lagi.
"Ck... aaaah Bapaaaaak kenapa pake menghentikan motor kami segala sih? Itu mobil penjahatnya sudah tidak terlihat lagi. Lagian Bapak tuh kenapa yang dicegat malah kami, bukan mobil patroli yang lewat tadi? Bapak pilih kasih tahu enggak!" Erina marah-marah tanpa kendali. Dirinya merasa cemas memikirkan Razan yang dibawa dua penjahat yang entah akan dibawa kemana.
"Maafkan rekan kerja kami Pak. Dia sangat khawatir karena anaknya sedang diculik oleh penjahat yang memakai mobil patroli yang tadi lewat sini!" jelas Pak Roy merasa tidak enak hati manakala Erina marah-marah di depan polisi, tidak ada takut-takutnya.
"Maksud Bapak? Itu mobil dari kepolisian makanya saya loloskan, karena memang itu urgen membawa tersangka," jelas polisi memberi alasan.
"Apapun alasan bapak itu sangat tidak adil! Kalau terjadi pada anak saya gimana? Apa Bapak mau bertanggung jawab? Apa letak kesalahan kami sehingga motor kami harus dihentikan? Benar-benar pilih kasih tahu engga!" sungut Erina tidak terima.
Erina tidak mau tahu tindakan polisi yang mengganggu perjalanannya membuatnya marah. Betapa tidak, ia harus membiarkan penjahat itu lolos. Entah bagaimana caranya ia dan Pak Roy bisa menemukan Razan kembali.
"Ibu tenang dulu," ujar polisi tersebut menenangkan.
"Bagaimana saya bisa tenang, Pak. Sementara anak saya ada di dalam sana. Ketakutan dan tentunya akan mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari mereka. Aaaaarrrghh rese amat sih jadi orang!" Erina mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menatap polisi yang masih muda itu dengan penuh emosi.
"Maaf Ibu. Ibu tetap melanggar peraturan lalu lintas dengan tidak mengenakan helm,"
"Enak saja. Saya menggunakan helm ta..." Erina tetiba terdiam setelah tangannya meraba kepalanya yang terasa ringan.
Tidak ada benda berat di atas kepalanya. Erina menoleh pada Pak Roy, namun rekannya itu memalingkan wajahnya menunduk karena malu.
Erina mulai luluh hatinya, menyadari kesalahannya. Seraya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Yaaaa tapi saya mohon ya pak, biarkan kami pergi. Saya benar-benar lupa kalau sampai tidak memakai helm. Saya minta maaf ya Pak," ujar Erina menangkupkan kedua tangannya.
"Baiklah tidak apa-apa. Sekarang silakan Ibu beli helmnya di toko yang ada di seberang sana!" titah polisi tersebut memberi solusi agar tidak kena tilang lagi.
"Siap pak. Saya ambil satu ya!" jawab Erina memberi hormat.
"Silakan!" polisi itu tersenyum.
Erina langsung meninggalkan keduanya menuju toko helm yang ada di seberang jalan.
"Pak kata polisi di sana saya suruh ambil helm. Pak polisi ini satu ya!" seru Erina sambil mengangkat salah satu helm yang ada di toko tersebut ke arah polisi yang sudah menghentikan perjalanannya.
Polisi tersebut mengangguk.
Erina tersenyum penuh kemenangan. Tidak menyangka ia bisa mengerjai polisi tersebut. Kalau tidak kepepet tidak akan ia lakukan.
"Nanti Bapak tagih ke polisi tadi ya Pak, terima kasih!"
"Iya Bu sama-sama,"
Erina langsung memakai helm tersebut dengan ceria. Alhamdulillah mendapatkan helm gratis di situasi yang sulit.
"Lain kali jangan lupa lagi ya Bu!" ujar polisi mengingatkan.
"Siap Pak. Maaf ya! Terima kasih ini," ujar Erina tersenyum.
"Iya sama-sama."
Polisi tersebut tersenyum mempersilakan motor yang mereka tumpangi berjalan melanjutkan perjalanan.
Tiba-tiba seorang Bapak bertubuh gempal menegur polisi tersebut dengan membawa nota pembelian.
"Maaf Pak. Ini ada tagihan pembelian helm,"
"Maaf Bapak tagihan apa? Saya tidak pernah beli helm di tempat bapak?" tanyanya bingung.
"Bapak memang tidak membelinya, tapi ibu tadi atas persetujuan Bapak mengambil helm dari toko saya, katanya Bapak yang bayar. Dan tadi Bapak mengangguk sambil memberi dua jempol,"
"Apa!" polisi itu tercengang merasa sudah diperdaya oleh seorang wanita. Ia menepuk jidatnya.
nahh lohh Bu Emmi ... bersiap lahh
Tenang Bu gurumu ngk kan biarkan mu pergii
gimana dia bisa di atur kalau papanya aja ngk ngertii
Byk yg gk suka ma razan apalg guru” pdhl mereka bs aja dipecat dan dikluarkan sm papa razan