Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Mobil Karan berhenti mendadak di halaman rumah besarnya. Ban berdecit keras, mengejutkan para pelayan yang sedang sibuk menyapu halaman pagi itu.
Pintu mobil terbuka dengan cepat. Karan turun, lalu bergegas ke kursi belakang.
Ia membuka pintu, menunduk, dan dengan penuh hati-hati membopong tubuh Imelda yang wajahnya setengah tertutup sapu tangan, matanya masih terbelalak penuh perlawanan.
Langkah Karan cepat, penuh tekad, memasuki pintu utama rumah.
“Bi Fia!” panggilnya lantang.
Dari arah ruang tamu, sosok Bi Fia yang sudah berusia senja muncul.
Senyum lelahnya segera lenyap begitu matanya menangkap wajah Imelda di gendongan Karan.
Matanya membesar. Wajahnya pucat.
“H-h-hhh… hantu…”
BRAK!
Baki yang dibawanya terlepas ke lantai. Tubuh renta itu langsung limbung dan jatuh pingsan di karpet.
“Bi Fia!” teriak salah satu pelayan wanita yang berlari menghampiri.
Namun langkahnya ikut terhenti begitu melihat wajah Imelda yang jelas-jelas adalah Helena—l istri majikan mereka yang seharusnya sudah dimakamkan.
“Ya Tuhan…” bisik pelayan itu dengan suara gemetar.
Suasana rumah mendadak ricuh. Beberapa pelayan lain berdatangan, dan semuanya langsung terdiam, wajah-wajah mereka pucat pasi.
“Itu… itu… bukankah itu…?” salah satu berbisik sambil gemetar.
“Tidak mungkin Nyonya…?”
“Dia sudah meninggal, kita semua melihatnya…”
Karan tidak berhenti. Ia hanya menoleh sekilas dengan tatapan tajam.
“Semua diam!” suaranya membelah keheningan.
Para pelayan sontak mundur, tak berani bicara lagi.
Dengan langkah tegas, Karan naik ke lantai dua sambil terus membopong tubuh Imelda.
Pelukan lengannya begitu kuat, seolah ia takut jika sedikit saja longgar, wanita itu akan menghilang lagi dari kehidupannya.
Pintu kamar utama didorong keras hingga terbuka.
Karan melangkah masuk, menutup pintu dengan hentakan.
Ia menurunkan Imelda ke atas ranjang dan dengan hati-hati, menata bantal agar kepalanya tidak sakit saat terbaring.
Namun tatapan Karan tetap intens, penuh obsesi, penuh luka yang bercampur harapan.
Ia melepas sapu tangan dari mulut Imelda perlahan.
“Sekarang kamu tidak bisa lari lagi dariku, Helena.”
Imelda terengah, wajahnya merah karena menahan tangis dan amarah.
“Aku, sudah bilang nama aku Imelda!”
Karan terdiam, kedua tangannya mengepal di sisi ranjang.
Matanya bergetar, seolah otaknya menolak kata-kata itu.
Ia menunduk, bibirnya bergetar.
“Tidak. Kau istriku. Kamu Helena.”
Imelda berusaha bangkit dari ranjang, tangannya meraih bantal untuk melempar ke arah Karan.
“Berhenti memanggil aku Helena! Aku bukan istrimu! Aku Imelda!” teriaknya, suaranya pecah, hampir menangis.
Karan menahan pergelangan tangannya, tatapannya keras.
“Berhenti menyangkal! Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tidak mengenali tanda lahir, senyummu, tatapan matamu?”
“Aku bukan dia!” Imelda berontak, menendang kaki ranjang, suaranya melengking.
“Helena sudah mati! Aku Imelda! Dengarkan aku!”
“Diam!” bentak Karan, napasnya memburu.
“Kalau kau bukan Helena, jelaskan kenapa DNA-mu cocok 99,99% dengan milik Helena?! Jelaskan kenapa kau punya tanda lahir yang sama persis?!”
Imelda membeku sejenak, matanya membesar.
“D- DNA…?”
Karan mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Imelda.
“Ya. Aku sudah lakukan tes. Hasilnya jelas. Kamu istriku. Kamu Helena. Dan aku tidak akan membiarkanmu menghilang lagi.”
Imelda menggeleng keras, air matanya menetes.
“Tidak, kamu salah orang! Aku bukan Helena! Aku bukan dia!”
Tangisan itu membuat dada Karan sesak.
Tangannya mengepal, menahan amarah dan keputusasaan yang bercampur menjadi satu.
“Kalau begitu…” Karan bangkit, melangkah ke pintu. Dengan sekali putaran, kunci pintu berbunyi keras. Klik!
“Apa yang kau lakukan?! Jangan kunci aku di sini!” Ia berdiri dan menghantam pintu dari dalam, tapi percuma.
Karan menatapnya sekali lagi dari balik pintu, sorot matanya dingin tapi penuh luka.
“Kamu boleh menyangkal sesukamu. Tapi aku akan buktikan semuanya.”
Ia berjalan cepat menuruni tangga, mengeluarkan ponselnya, dan menekan nomor dengan tangan gemetar.
“Hallo? Polisi?” suaranya serak, tapi tegas.
“Ya, ada yang bisa kami bantu?”
“SSaya ingin mengajukan permintaan resmi untuk membongkar makam istri saya.”
Di ujung telepon terdengar keheningan sesaat, lalu suara petugas terdengar ragu.
“Pak, maksud Anda membongkar makam? Itu prosedurnya tidak mudah, harus ada alasan kuat…”
Karan menutup matanya, rahangnya mengeras.
“Aku punya alasan yang sangat kuat. Dan aku tidak peduli seberapa sulit prosedurnya. Malam ini juga, makam itu harus dibuka.”
Tangannya mengepal erat di sisi ponsel, sementara dari lantai atas terdengar suara Imelda yang terus menghantam pintu dan berteriak putus asa.
“Kamu gila, Karan! Aku bukan Helena! Lepaskan aku!”
Namun Karan hanya menatap lurus ke depan, wajahnya tegang, suaranya penuh determinasi.
“Kalau memang aku gila, maka biarlah kebenaran yang membuktikan siapa yang sebenarnya sedang aku peluk di atas sana.”
Di pemakaman kecil di pinggiran Paris, suasana hening berubah mencekam.
Lampu sorot polisi dan lampu kendaraan menyinari area makam yang tertutup kabut tipis pagi hari.
Beberapa petugas kepolisian berdiri dengan ekspresi tegang
Seorang inspektur senior mengangguk pada tim forensik.
“Mulai gali. Hati-hati, perlakukan ini dengan penuh kehormatan.”
Cangkul dan sekop mulai menembus tanah basah.
Suara logam yang menghantam tanah bercampur dengan desau angin dingin.
Sementara itu, di Jakarta, di kamar besar lantai dua, Imelda duduk meringkuk di tepi ranjang. Wajahnya basah oleh air mata.
“Aku bukan Helena, aku Imelda…” bisiknya berulang kali, seperti mantra untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Namun setiap kali ia mengucapkannya, matanya justru jatuh pada dinding kamar.
Di sana, berjejer pigura-pigura foto kebahagiaan masa lalu.
Tangannya gemetar saat meraih satu pigura besar. Foto pernikahan Helena dan Karan.
Helena tersenyum anggun dalam balutan gaun putih, sementara Karan menatapnya penuh cinta.
Imelda menatap foto itu lama sekali.
Matanya bergetar, bibirnya bergetar.
“Kenapa wajah itu, sama persis denganku?” bisiknya parau.
Tangannya mengusap permukaan kaca foto, seolah ingin merasakan kebenaran yang tersembunyi di balik bingkai itu.
Di Paris, tanah mulai terbuka. Petugas mengangkat peti jenazah dengan hati-hati, menaruhnya di atas permukaan.
Kunci besi diputar, suara berderit terdengar ketika tutup peti dibuka. Semua orang menahan napas.
Namun seketika wajah-wajah mereka berubah pucat.
Beberapa melangkah mundur, bahkan ada yang menutup mulut karena syok melihat peti yang kosong.
Di kamar Jakarta, Imelda terisak lebih keras, memeluk foto pernikahan itu.
“Kalau aku benar Helena, kenapa aku tidak bisa mengingat apapun. Kenapa hidupku seperti dipisahkan jadi dua?”
Air matanya jatuh mengenai kaca pigura, memburamkan senyum bahagia pasangan dalam foto itu.
Dan di sisi lain dunia, laporan singkat meluncur lewat telepon internasional langsung ke tangan Karan.
“Pak, makam yang Anda minta dibongkar tidak ada jenazah di dalamnya.”
Karan menutup matanya, dadanya naik turun keras, seolah beban berat di bahunya akhirnya menemukan jawaban.
“Jadi benar…” gumamnya lirih.
Ia menatap ke arah lantai dua, tempat Imelda masih menangis tanpa henti.
“Helena, apa yang sebenarnya terjadi padamu?”