Pernikahan Tanpa Hati

"Kalau bukan karena Nana Liu, dia tidak akan datang ke sini. Selama tiga tahun pernikahan, dia bahkan tak pernah sekalipun datang menemuiku," batin Lolly, pandangannya kosong menatap wajah suaminya.

“Jangan khawatir, Nona Liu sudah melewati masa kritis. Besok dia akan sadar. Pastikan ia banyak beristirahat,” ucap Lolly datar, suaranya dingin dan profesional. Ia hendak melangkah keluar, namun tiba-tiba sebuah tangan menahan lengannya.

“Lukamu berdarah,” suara itu dalam dan berat — milik Chris Zhao.

Lolly tertegun sejenak, Ia menatap tangan yang mencengkeramnya, lalu perlahan menarik diri. “Tuan Zhao, lepaskan tangan Anda. Jika tidak, akan ada gosip di rumah sakit ini,” katanya dengan nada datar namun tegas.

Chris menatapnya lama, matanya gelap dan sulit terbaca. “Aku akan menunggumu di parkiran. Malam ini, kita pulang bersama,” ujarnya dengan nada yang tak memberi ruang untuk penolakan.

Lolly menatap balik ... dingin, tenang, namun menyimpan lelah yang dalam. “Tidak bisa. Masih ada satu operasi yang harus aku tangani. Kau pulang saja dulu. Aku akan menyusul,” ujarnya tenang, lalu berbalik meninggalkan koridor itu.

Chris memandangi punggung istrinya yang perlahan menjauh di antara cahaya lampu lorong rumah sakit.

Beberapa saat kemudian.

Di ruang istirahat yang sempit, Lolly duduk di depan cermin, membersihkan luka di dahinya dengan tangan gemetar. Cahaya lampu yang redup menyoroti wajahnya yang pucat, sementara tetesan darah masih terlihat di ujung perbannya.

Dari balik pintu yang tak sepenuhnya tertutup, Chris berdiri diam. Tatapannya menelusuri setiap sudut ruangan itu — meja kecil penuh dokumen, setumpuk berkas medis, dan ranjang sempit yang tampak sering digunakan untuk begadang.

“Apakah selama ini dia tinggal di tempat sesempit ini?” batin Chris.

Untuk pertama kalinya, pria itu merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.

“Kenapa tidak menyewa apartemen yang berdekatan di sini? Dan apakah selama ini kau tinggal di tempat ini?” tanya Chris sambil melangkah masuk.

“Lebih baik jangan masuk ke sini, aku tidak ingin jadi bahan gosip,” ucap Lolly datar.

“Kau belum menjawab pertanyaanku,” ujar Chris lagi.

“Tinggal di sini lebih mudah. Kalau terjadi sesuatu, aku bisa langsung tangani. Kalau tinggal di luar, aku butuh waktu untuk datang ke sini. Lagi pula, kalau di sini masih ada tempat, kenapa harus repot mencari di luar?” jawab Lolly, tangannya sibuk menempelkan perban di dahi yang masih terluka.

“Siapa yang melukaimu?” tanya Chris, pura-pura tak tahu.

“Sudah biasa. Aku hanya terbentur,” jawab Lolly singkat.

Chris menatapnya dalam diam. "Dia sama sekali tak ingin aku tahu apa yang terjadi padanya," batinnya.

“Kalau tidak ada urusan lain, sebaiknya kau pulang dulu. Mama dan kakakmu pasti menunggumu,” kata Lolly sambil berdiri. “Aku masih harus menyelesaikan pekerjaan.”

Chris menyerahkan sebuah kotak kecil yang diikat pita berwarna pink.

Lolly menerimanya tanpa ekspresi, lalu meletakkannya di meja. “Tidak perlu setiap kali kau keluar negeri harus membawakanku hadiah. Aku pergi dulu.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan Chris yang hanya bisa memandang punggungnya menghilang di balik pintu.

Pukul satu dini hari.

Chris duduk di kamar, bersandar di kursi dekat jendela sambil merokok. Asap rokok menari di udara, sementara mata pria itu menatap kosong ke luar, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Jubah tidurnya yang berwarna maroon membuat sosoknya terlihat dingin dan lelah.

Sementara itu, di luar, Lolly baru saja tiba. Ia membuka pintu dengan perlahan, melangkah masuk ke dalam rumah yang terasa begitu sunyi.

“Akhirnya pulang juga. Sudah larut malam,” suara seorang wanita muda terdengar dari ruang tamu. Jenny, kakak Chris, menatapnya tajam.

“Rumah sakit sedang banyak pekerjaan,” jawab Lolly datar, tanpa menatapnya.

“Adikku baru pulang dan harus menunggumu. Lagi pula, sampai kapan kau akan tinggal di sini? Nana Liu adalah wanita yang paling dicintainya. Seharusnya kau tahu diri,” bisik Jenny sinis.

“Sampaikan saja langsung pada adikmu,” jawab Lolly tenang.

Jenny mendengus. “Lolly, kami hanya terpaksa menerimamu di rumah ini. Kalau saja kau tahu, Chris jarang pulang bukan karena sibuk, tapi karena tak ingin melihatmu. Dia menikah denganmu hanya demi urusan bisnis keluarga.”

Lolly menatap Jenny dengan tatapan yang tenang namun menusuk. “Mama dan Kakak tidak lelah berpura-pura baik setiap kali Chris ada di rumah? Kalau begitu, bagaimana kalau besok kau ulangi kata-katamu tadi di depan adikmu itu?” ujarnya dengan senyum tipis.

Ia kemudian melangkah pergi menuju kamarnya tanpa menoleh lagi.

Jenny mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan amarah yang mendidih di dada.

Beberapa saat kemudian, Lolly memasuki kamarnya. Pandangannya langsung tertuju pada Chris yang duduk di sofa, memegang rokok yang masih mengepulkan asap.

Chris segera mematikan rokok itu begitu menyadari kehadiran istrinya.

“Sudah kukatakan, aku tidak bisa mencium asap rokok. Kenapa masih merokok di sini? Jendelanya pun tidak dibuka,” ucap Lolly datar, meletakkan tas di atas meja lalu melepaskan jam tangannya.

“Maaf,” jawab Chris tenang. “Aku hanya merokok saat kau tidak ada di sini. Pergilah mandi dulu, aku ingin bicara denganmu.”