Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Tiga bulan berlalu. Aroma kain dan benang memenuhi ruangan kerja Anya yang nyaman. Di meja besar, terhampar sketsa-sketsa gaun pengantin yang anggun dan detail. Anya, dengan kacamata bertengger di hidung, tampak sangat fokus. Jari-jarinya lincah menari di atas kain satin putih, menyematkan manik-manik dan renda dengan presisi tinggi.
Dua bulan lalu, Anya resmi menyandang status janda setelah perceraiannya dengan Revan disahkan. Revan, yang berhasil kabur ke luar negeri bersama keluarganya, memudahkan proses perceraian mereka. Tanpa hambatan atau drama, Anya akhirnya bisa melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu yang kelam.
Kini, senyum sering menghiasi wajah Anya. Butik impiannya telah berdiri tegak, berkat bantuan dan dukungan tanpa henti dari Damian. "Anya Bridal," begitu nama butik itu terpampang indah di atas pintu. Butik yang tidak hanya menjadi tempatnya berkarya, tetapi juga simbol kebangkitan dan harapan baru.
Gaun pengantin di hadapannya adalah pesanan pertama Anya. Sebuah kehormatan dan tantangan besar yang ia terima dengan senang hati. Ia ingin memberikan yang terbaik bagi calon pengantin yang mempercayakan hari bahagianya padanya.
"Anya?" Suara lembut Damian memecah konsentrasi Anya. Pria itu berdiri di ambang pintu, senyum hangat menghiasi wajahnya.
"Damian? Ada apa?" Anya mendongak, melepas kacamatanya dan menyambut Damian dengan senyum cerah.
"Sudah waktunya makan siang. Kau belum makan apa pun sejak pagi," ujar Damian khawatir.
Anya terkekeh. "Aku terlalu asyik mendesain, sampai lupa waktu. Maaf ya," ujarnya.
Damian mendekat dan mengusap rambut Anya lembut. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kesehatanmu juga penting," nasihatnya.
Anya mengangguk dan berdiri dari kursinya. Ia meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. "Baiklah, aku menyerah. Makan siang terdengar sangat menggoda," ujarnya.
Mereka berjalan bersama menuju ruang makan yang terletak di bagian belakang butik. Ruangan itu didesain dengan gaya minimalis namun tetap terasa hangat dan nyaman. Di atas meja, sudah tertata rapi hidangan makan siang yang lezat, hasil masakan Damian sendiri.
"Wah, baunya enak sekali! Kau memasak apa hari ini?" tanya Anya, matanya berbinar melihat hidangan di depannya.
"Pasta carbonara kesukaanmu. Semoga kau suka," jawab Damian dengan senyum bangga.
Anya duduk di kursi dan mulai menyantap makan siangnya dengan lahap. "Ini enak sekali, Damian! Kau memang koki terbaik," pujinya.
Damian tertawa kecil. "Aku senang kau menyukainya," ujarnya sambil memperhatikan Anya makan.
Suasana makan siang itu terasa begitu tenang dan nyaman. Mereka berdua menikmati makanan mereka sambil bertukar cerita tentang hari itu. Anya menceritakan tentang gaun pengantin yang sedang ia kerjakan, sementara Damian bercerita tentang perkembangan bisnis butik yang semakin pesat.
"Anya, aku sangat bangga padamu," ujar Damian tiba-tiba.
Anya tersenyum. "Terima kasih, Damian. Semua ini berkat dukunganmu," balasnya tulus.
Damian menggenggam tangan Anya di atas meja. "Kau pantas mendapatkan semua ini, Anya. Kau berbakat, pekerja keras, dan memiliki semangat yang luar biasa," ujarnya.
Anya terdiam sejenak, menatap mata Damian dengan penuh rasa terima kasih. Ia merasakan kehangatan dan cinta yang terpancar dari mata pria itu.
"Damian," panggil Anya lirih.
"Ya?"
"Aku ingin berterima kasih padamu. Kau telah membantuku bangkit dari keterpurukan ini. Kau telah mewujudkan impianku. Aku tidak tahu apa jadinya aku tanpa dirimu," ujarnya tulus dengan suara bergetar.
Damian tersenyum lembut dan mengusap air mata yang menetes di pipi Anya. "Jangan berkata seperti itu. Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Anya. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku," ujarnya Damian juga tulus.
Anya menatap Damian dengan tatapan penuh cinta. Ia merasa beruntung memiliki pria seperti Damian di sisinya. Pria yang selalu ada untuknya, yang selalu mendukungnya, dan yang selalu membuatnya merasa aman dan dicintai. Dan Damian juga mampu membuktikan jika dirinya pantas untuk dicintai.
"Damian, aku ..." Anya menggantungkan kalimatnya, merasa gugup untuk mengungkapkan perasaannya.
Damian menatapnya dengan sabar, menunggu Anya melanjutkan kata-katanya. "Kau ...?" tanyanya lembut.
Anya menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya. "Aku juga menyayangimu, Damian. Lebih dari yang kau tahu," ujarnya akhirnya, dengan pipi merona merah.
Mata Damian berbinar mendengar pengakuan Anya. Ia tersenyum lebar, merasa begitu bahagia hingga rasanya ingin melompat-lompat.
"Anya ..." Damian menggenggam kedua tangan Anya dengan erat. "Kau tahu betapa bahagianya aku mendengar itu? Aku sudah lama memendam perasaan ini, tapi aku takut untuk mengungkapkannya. Aku takut kau belum siap," ujar Damian dengan sumbrigah.
Anya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aku sudah siap, Damian. Aku sudah siap untuk membuka hatiku untukmu," ujarnya.
Damian tidak bisa menahan kebahagiaannya lagi. Ia berdiri dari kursinya dan menarik Anya ke dalam pelukannya. "Aku mencintaimu, Anya. Aku akan selalu mencintaimu," bisiknya di telinga Anya dengan suara lembut dan penuh kasih.
Anya membalas pelukan Damian dengan erat. Ia merasakan kehangatan dan cinta yang mengalir dari tubuh pria itu. "Aku juga mencintaimu, Damian," bisiknya kembali.
Mereka berpelukan erat untuk beberapa saat, menikmati momen indah itu. Akhirnya, setelah sekian lama, mereka berdua menemukan kebahagiaan sejati dalam cinta satu sama lain.
"Anya," panggil Damian setelah melepaskan pelukannya. "Ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan padamu."
Anya menatap Damian dengan tatapan penuh tanya. "Apa itu?" tanyanya.
Damian berlutut di depan Anya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya, dan membukanya. Di dalamnya, terdapat sebuah cincin berlian yang berkilauan indah.
Jantung Anya berdegup kencang melihat cincin berlian di hadapannya. Air mata kebahagiaan kembali mengalir di pipinya. Ia tahu apa yang akan Damian tanyakan, dan ia sudah menyiapkan jawabannya.
"Anya, maukah kau menikah denganku?" tanya Damian dengan suara lembut dan penuh harapan.
Anya mengangguk dengan cepat, air matanya semakin deras membasahi pipinya. "Ya, Damian! Aku mau!" jawabnya dengan suara bergetar.
Damian tersenyum lebar dan memasangkan cincin itu di jari manis Anya. Cincin itu pas sempurna, seolah-olah memang diciptakan untuknya.
Damian berdiri dan kembali memeluk Anya dengan erat. Mereka berdua tertawa bahagia, merasa begitu bersyukur atas semua yang telah mereka lalui bersama.
"Aku janji, aku akan selalu menjagamu, Anya. Aku akan selalu mencintaimu, dalam suka maupun duka," bisik Damian di telinga Anya.
"Aku juga janji, Damian. Aku akan selalu berada di sisimu, apapun yang terjadi," balas Anya.
Bersambung ....
di tunggu karya karya selanjutnya ya