NovelToon NovelToon
Kumpulan Cerita HOROR

Kumpulan Cerita HOROR

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Dunia Lain / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror / Tumbal
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ayam Kampoeng

Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca

•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI

Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29 SEKTE SESAT Part 4

Jeritan Sariwati tertelan oleh gemuruh nyanyian sekte yang semakin membabi buta, bergema di dinding gua lembab seperti raungan binatang buas yang haus darah. Cengkeraman Bu Aisyah di bahunya seperti belenggu besi. Sariwati meronta dengan putus asa, tapi kekuatan wanita paruh baya itu tak wajar, seakan kekuatan setan telah merasuki lengannya, menahan Sariwati seperti korban yang terperangkap dalam jaring laba-laba raksasa.

Mata Bu Aisyah yang merah menyala menembus jiwa Sariwati dengan tatapan yang haus akan jiwa, seringai di bibirnya melebar seperti luka terbuka yang menganga, memperlihatkan gigi-gigi kuning yang tajam seperti taring serigala.

"Diamlah!" desis Bu Aisyah, suaranya bukan lagi milik manusia. "Kau sudah melihat Ratu Bayang. Wajahnya yang gelap telah menyentuh matamu. Sekarang, kau milik kami selamanya. Jiwa mu akan larut dalam kegelapan abadi, dan kau akan bernyanyi bersamanya di kegelapan gua ini."

Di atas altar batu yang kasar yang dihiasi ukiran-ukiran kuno yang tampak seperti wajah-wajah menyeringai, Andi masih kejang-kejang. Tubuhnya yang kurus dipegang erat oleh segerombolan pengikut sekte.

Pak Rahman, dengan jubah hitamnya yang compang-camping dan bau amis yang menempel seperti mayat busuk, mengangkat pisau kuningan tinggi-tinggi ke udara, cahaya obor yang menari-nari memantul dari bilahnya yang berkarat dan tajam, menciptakan pantulan merah seperti darah segar yang menetes.

Sariwati melihat noda darah di pisau itu. Darah siapa? Apakah itu darah Andi? Atau korban sebelumnya yang kini menjadi abu di altar itu?

Udara di gua terasa semakin berat, dipenuhi asap kemenyan yang menyengat seperti racun membuat napas Sariwati tersengal. Bayangan-bayangan di dinding gua bergerak-gerak, seolah Ratu Bayang sedang mengintip dari kegelapan, matanya yang tak terlihat menunggu momen untuk menerkam.

DOR!!!

Suara tembakan yang menggelegar terdengar memecah langit malam. Sekali. Lalu sekali lagi... DOR!! Diikuti gema yang bergaung panjang. Suara tembakan memecah konsentrasi para pengikut Pak Rahman, nyanyian mereka berhenti seketika, meninggalkan keheningan yang mengerikan.

Bayangan Ratu Bayang di dinding gua bergerak liar, terkejut, lalu mundur ke kegelapan gua. Pak Rahman menurunkan pisaunya perlahan, tangannya gemetar, matanya melebar dan menatap ke arah pintu gua dengan ekspresi ketakutan.

"Apa itu!? Siapa yang berani mengganggu ritual kami?" gumam Pak Rahman, tapi tak ada yang menjawab.

Para pengikut saling pandang dengan wajah pucat, tangan mereka masih mencengkeram Andi lebih erat, seolah takut korban mereka lolos.

Cengkeraman Bu Aisyah mengendur sesaat, jari-jarinya yang seperti cakar mulai longgar, kekuatan setan itu terganggu oleh suara tembakan. Sariwati mengambil kesempatan itu dengan kabur secepatnya. Dia menyikut perut Bu Aisyah, lantas berlari keluar gua. Kakinya tersandung batu-batu licin, nafasnya tersengal seperti hewan buruan.

Sariwati tak tahu siapa yang menembak. Polisi? Pemburu? Atau... Pengintai?

Di luar gua, dari kejauhan, di antara pepohonan tinggi yang menjulang, Sariwati melihat beberapa senter bergerak cepat. Cahaya mereka menyapu hutan seperti mata-mata yang mengintai.

"Polisi?" pikirnya dalam hati, setengah berharap, setengah ketakutan. Bagaimana jika itu bukan penyelamat, tapi pemburu lain yang datang untuk ritual yang sama?

Sariwati berlari tanpa tujuan, ranting-ranting mencambuk wajahnya, meninggalkan goresan berdarah yang terasa panas. Jantungnya berdegup kencang di dada, setiap detaknya menggema di telinga, paru-parunya serasa terbakar oleh udara malam yang dingin, setiap hembusan napas terasa seperti tarikan terakhir sebelum tenggelam.

Bau amis darah dan kemenyan masih menempel di hidungnya, membuat Sariwati mual dan pusing. Air matanya bercampur keringat, mengaburkan pandangannya, membuat pepohonan tampak seperti siluet monster yang bergerak perlahan untuk mengejarnya.

Ketika Sariwati merasa cukup jauh dari gua, dia berhenti, terengah-engah, tubuhnya lunglai menempel di batang pohon. Dia mencoba menenangkan diri, tangannya gemetar saat menyeka wajah. Senter kecilnya dinyalakan, cahaya tipis itu menerangi jalan setapak yang berliku-liku. Tiba-tiba, senternya menangkap sesuatu yang tergeletak di semak-semak tak jauh dari sana.

"Boneka?" gumam Sariwati.

Sebuah boneka kain yang lusuh, compang-camping, dengan kancing hitam sebagai mata dan benang wol kusut sebagai rambut. Sariwati mengenalinya. Ini boneka kesayangan putra Ibu Siti. si Jaka, anak kecil yang ceria dengan tawa renyahnya, selalu membawa boneka itu ke mana-mana seperti sahabat, bahkan saat bermain di halaman sekolah. Kini, boneka itu tergeletak sendirian, di tengah semak.

Firasat buruk mulai dia rasakan. Tadi Ibu Siti menyebut Jaka dengan suara gemetar, dan Pak Rahman bicara tentang "persembahan jiwa" dengan nada yang menjijikkan.

"Mustahil..." desis Sariwati tak percaya.

Sariwati mendekati boneka itu. Saat senternya menerangi lebih dekat, ia melihatnya, noda merah pekat yang sudah mengering di lengan boneka kain itu. Dan di samping boneka itu, ada jejak kaki kecil yang tercetak di tanah lembab, mengarah ke dalam hutan yang gelap gulita, lalu menghilang di antara dedaunan yang berserakan. Jejak kaki itu tak beraturan, seolah pemiliknya berlari ketakutan.

Jantung Sariwati serasa berhenti berdetak. Dia berbalik, menatap ke arah gua yang kini kembali sunyi. Ia teringat tatapan mata Ibu Siti semalam, penuh harapan palsu sekaligus ketakutan yang tersembunyi, seperti ibu yang menyerahkan anaknya ke monster demi janji surga bohong. Ibu Siti mungkin tak menyadari, atau mungkin tak mau menyadari, apa arti sebenarnya dari "persembahan jiwa" itu.

"Tidak... ini tidak mungkin," gumam Sariwati pada dirinya sendiri.

Sariwati kembali ke rumah dinas dengan langkah gontai, pikirannya kalut dipenuhi bayangan Jaka yang menangis dalam kegelapan. Dia mengunci pintu dengan tangan gemetar, mengunci jendela rapat-rapat. Dia mencoba menghubungi polisi, jari-jarinya menekan tombol ponsel dengan panik, tapi sinyal mati total. Dia mencoba menghubungi rekan guru di Makassar, tapi nihil, hanya keheningan yang menjawab, seakan desa ini benar-benar terisolasi oleh kutukan.

Malam itu, Sariwati tak bisa tidur. Dia hanya diam meringkuk di sudut kamar...

Keesokan paginya, Sariwati tak bisa menahan diri lagi. Rasa ingin tahu bercampur teror mendorongnya keluar. Ia harus tahu kebenarannya, meski itu berarti menghadapi MEREKA lagi. Dia berjalan menuju rumah Ibu Siti, yang lokasinya tak jauh dari rumah dinasnya.

Pintu rumah Ibu Siti terbuka sedikit, menampakkan kegelapan di dalamnya.

"Ibu Siti?" panggil Sariwati.

Tak ada jawaban. Hanya angin yang berhembus pelan, membawa bau kemenyan.

Sariwati melangkah masuk dengan hati-hati. Aroma kemenyan dan darah kering masih tercium samar, merayap ke hidungnya. Rumah itu sepi, sunyi, bahkan terlalu sunyi. Semuanya tampak normal, kecuali satu hal. Jaka tidak ada. Mainan-mainannya berserakan, tapi tak ada tawa anak kecil yang biasa mengisi rumah ini.

"Ibu Siti! Jaka! Di mana kalian!?"

Sariwati mulai panik. Dia mencari ke setiap sudut rumah, ke dapur yang gelap, ke kamar tidur, ke belakang rumah di mana ayam-ayam berlarian ketakutan. Tidak ada siapa pun, hanya debu dan kesunyian...

Di atas bantal di kamar tidur Ibu Siti, ada secarik kertas lusuh yang terlipat, seolah sengaja ditinggalkan sebagai pesan. Sariwati mengambilnya. Tulisan tangan Ibu Siti dengan tinta merah yang terlihat seperti darah segar, huruf-hurufnya tak beraturan seperti tulisan orang gila.

"Jaka telah pergi ke pelukan Ratu Bayang. Persembahan jiwa untuk keabadian. Tiket ke surga untuk kami. Jangan cari Jaka, atau kau akan menyusulnya dalam kegelapan."

Sariwati menjatuhkan kertas itu, tubuhnya lemas jatuh ke lantai dengan nafas tersengal. Dunia seakan berputar, kata-kata itu bergema di kepalanya seperti mantra kutukan. Dia melangkah keluar rumah. Dan di tanah liat di depan pintu, dia melihatnya lagi. Jejak kaki kecil, sama seperti yang dia lihat di hutan tadi malam. Jejak kaki Jaka. Jejak itu mengarah ke arah gua, lenyap di antara rumput liar...

Dengan tekad yang lahir dari teror, Sariwati menelusuri jejak itu, mengikuti setiap langkah kecil yang tertinggal di tanah, setiap jejak membuat hatinya semakin hancur. Jejak itu membawanya kembali ke hutan, ke arah yang sama saat dia menemukan boneka kain tadi malam. Ia melihat beberapa dedaunan yang berserakan, dan di bawahnya, tanah terlihat sedikit digali.

Sariwati mengambil ranting kayu yang tergeletak, mengorek-ngorek tanah itu dengan tangan gemetar. Aroma amis yang pekat mulai naik, seperti bau daging yang membusuk di bawah tanah, menyengat hidungnya hingga dia muntah.

Dan di sana, terbungkus kain kafan lusuh yang kotor dan bernoda, ia menemukan gundukan kecil. Bentuk manusia mungil yang tak bergerak, rambut hitam kusut yang dia kenali. Sariwati tak perlu melihat lebih jauh. Dia tahu apa yang ada di dalamnya.

Jaka, anak yang ceria dengan senyum lebar dan boneka kainnya, sudah menjadi persembahan untuk Ratu Bayang. Tubuh kecilnya dikorbankan dalam ritual gila yang menjanjikan surga palsu.

"Jaka... maafkan aku," isak Sariwati, suaranya pecah di tengah hutan.

Tak ada seorang pun yang mencari Jaka. Tak ada jeritan ibu yang kehilangan anaknya. Semua sudah terlalu takut untuk peduli, terlalu yakin bahwa darah Jaka adalah harga untuk keabadian.

Air mata Sariwati mengalir deras. Kemarahan dan kesedihan bercampur jadi satu. Dia teringat kembali pada bisikan Andi. Dia teringat senyum Bu Aisyah yang kosong, dan tatapan mata Pak Rahman yang penuh manipulasi, seperti ular yang siap menyerang.

"Aku akan hentikan semua ini,"bisik Sariwati pada angin, "Demi Jaka. Demi Andi. Dan demi semua jiwa yang hilang di gua itu."

Desa Bawakaraeng mencekam, malam-malamnya dipenuhi bisikan penuh kesesatan. Gunung Bawakaraeng tidak lagi damai, perutnya menyimpan rahasia gelap. Ada sesuatu yang jahat bersembunyi, dan Sariwati baru saja melihat bukti yang paling mengerikan.

Teror ini baru permulaan. Bayangan Ratu Bayang masih mengawasi, menunggu persembahan berikutnya. Sariwati harus bertindak, meski pun berarti menghadapi kegelapan itu sendirian, sebelum desa ini ditelan sepenuhnya oleh kegelapan abadi...

*

1
Emje Val
Nice
Ayam Kampoeng: thanks🙏
total 1 replies
Ayam Kampoeng
terima kasih buat yg sudah kasi koin ya 🙏😊
Ayam Kampoeng
siap kak🙏
WONG NDESO
lanjutkan
Ayam Kampoeng: siap kak 🙏
total 1 replies
WONG NDESO
mantab
WONG NDESO
lanjut
WONG NDESO
baguss
WONG NDESO
bagus
Ayam Kampoeng: makasi kak... 😊
total 1 replies
Aoi Farasha
ceritanya okay bgt. ngeri2 merinding bacanya. anti typo juga. aku suka banget, Thor... lanjuuuuut

buat othor ganteng ni kukasi kue dah xixixi 🥧🍰🧁🍮🍧🥮🥠
Aoi Farasha
yaaah udh tamat. kakak orang Bali ya? kok ceritanya detail banget kak? hehehe
Ayam Kampoeng: bukan... 🙏 saya orang Indonesia yg nomaden dan suka menulis pengalaman menjadi sebuah karya 😊
total 1 replies
Mini_jelly
Rasain lu ndra!!!
Ayam Kampoeng: Ndra...
ato Ndro? 🤣🤣
total 1 replies
Mini_jelly
seruuu, 🥰🤗
Mini_jelly: sama2 kak 🥰
total 2 replies
Mini_jelly
Bully itu emg bukan cuma fisik. Ejekan kecil yang diulang-ulang, pandangan sinis, atau diasingkan perlahan-lahan juga membunuh rasa percaya diri. Sadar, yuk."
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰
Ayam Kampoeng: 😊😊😊........
total 3 replies
Mini_jelly
😥😭😭
Ayam Kampoeng: nangis .. 🥲
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: hadeh ..
total 1 replies
Mini_jelly
me too 🥰❤️
Ayam Kampoeng: ekhem 🙄🤭
total 1 replies
Mini_jelly
udh lama gk mampir, ngopi dlu 🥰
Ayam Kampoeng: kopi isi vanila. kesukaan kamu 🤤🤸🤸
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: malah ketawa... 😚😚😚💋
total 1 replies
Mini_jelly
semangat nulisnya pasti seru nih 🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!