Selama lima tahun pernikahan, Asha dan Fajar memiliki hubungan yang harmonis, saling mencintai dan saling mengerti satu sama lain.
Pernikahan mereka mulai retak, anaknya yang berumur satu tahun meninggal tanpa sebab.
Ujian dan cobaan rumah tangga Asha dan Fajar tidak hanya dari keluarga tapi juga gangguan gangguan makhluk halus. Di tambah saat Asha keguguran anak ke dua yang lagi lagi tanpa sebab.
Apakah mereka bisa menemukan jalan kembali ke titik surga untuk mempertahankan rumah tangga dan cinta mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ema Virda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#5
Di sisi lain. Asha yang tak bisa memejamkan netranya juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh Fajar. Dia berpindah pindah posisi tidur dan berusaha untuk memeluk gulingnya, namun yang dia dapatkan, pikiran yang susah sekali diajak untuk diam walaupun untuk satu jam saja, agar netra ini merasa mengantuk.
Sekitar pukul setengah delapan malam, Abi yang duduk menonton televisi mendengar suara telpon rumah berbunyi. Namun, dia sangat malas untuk beranjak pergi. Akhirnya Umi yang berada di ruang depan segera mempercepat langkahnya untuk mendekat ke arah alat komunikasi itu.
"Assalamualaikum, hallo."
"Waalaikumsalam, maaf buk. Apa Asha ada ?" Jawab suara di seberang sana.
"Ada. Ini siapa ya ?"
"Saya. Fajar dari sekolah Tunas Bangsa."
"Oh iya, sebentar ya. Saya panggilkan Asha." Umi meletakkan gagang alat komunikasi itu di atas meja.
Lalu, mengetuk kamar Asha. "Asha ! Ada telpon nak. Dari sekolah, takutnya penting."
Asha yang dari tadi belum bisa memejamkan netranya. Mendengar ketukkan dan suara Umi di balik daun pintu.
"Iya Umi. Sebentar."
Lalu, Asha keluar kamar dan melihat telpon yang tergeletak di atas meja.
"Iya hallo. Assalamualaikum." Dia masih menunggu suara di seberang sana untuk membalas perkataannya.
"Waalaikumsalam." Berhenti sejenak, "aku fajar yang tadi di sekolah," dengan suara gugup.
"Oh. Iya. Ada apa ya ?" pura pura bertanya. "Maaf, tahu nomer telpon rumahku dari mana ?"
Hati Fajar ingin rasanya melompat jatuh ke bawah dan terpental jauh ke atas langit saat telinganya mendengar suara Asha.
"Satrio ! Nurul ! Eeee ... Dapat dari Satrio dan Nurul ... Em, tadi kami ngobrol tentang panitia pengajian Akbar kampus. Jadi ... Aku mau ajak kamu untuk ke Surabaya hari Sabtu ?"
"Emmm, gimana ya ... " Asha terlihat ragu ragu untuk menjawabnya. Dia melirik Abi dan Uminya yang dari tadi melihat ke arahnya dengan menyipitkan netranya penuh rasa curiga.
Dengan suara kecil namun tak mendekat ke telinga, Umi mengutarakan kecurigaannya kepada Abi. "Siapa itu fajar ? Sejak kapan Asha kenal pria, ha !"
Walau dengan posisi masih menghadap ke arah Asha, namun tangan umi, merasakan kalau dia sedang mencubit cubit kecil paha Abi. Namun tak ada suara atau jawaban.
Tiba tiba Abi berjalan ke arah Asha berpura pura Ingin ke kamar tidur sambil menguap dan telinga terpasang untuk mendengar percakapan mereka di telpon.
Umi yang tersentak melihat Abi yang berada di depan netranya. Padahal tadi dia merasa sedang mencubit kecil paha suaminya ternyata yang dia cubit bantal kursi yang sering digunakan suaminya untuk bersandar. Umi berlari kecil menghampiri Abi yang sedang membuka pintu kamar.
Namun, netra mereka sedang mengawasi Asha yang tersenyum dengan raut bahagia.
"Iya. Bisa. Kalau Nurul juga ikut ?"
"Pasti. Kan bareng bereng nanti kita berangkatnya."
"Iya. Kalau gitu. Sudah dulu ya Mas. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," balas Fajar di seberang sana.
Lalu Asha meletakkan gagang telpon di tempat yang seharusnya dan langsung menoleh ke arah kedua orang tuanya dengan tatapan yang tajam. Menandakan bahwa dia bukan anak kecil lagi yang harus diawasi dan tak seharusnya menguping pembicaraan orang.
Dengan tatapan itu, Abi dan Umi sudah mengetahui apa yang di pikirkan anaknya. Abi berpura pura memeluk bahu istrinya. "Sudah malam umi. Besok kita buka warung mie nya pagi pagi saja. Sekarang istirahat."
Dengan kode netra berkedip yang di lontarkan suaminya. Umi pun menjawab "bantuin ya Abi jualannya." mereka berakting dengan sempurna.
Walaupun tatapan Asha masih tajam ke arah mereka sampai kedua orang tuanya masuk ke dalam bilik dengan saling mendorong pelan.
'Ah, apa semua orang tua sama seperti mereka ?' umpat Asha dalam hati, lalu bergegas masuk ke biliknya untuk istirahat.
Pintu kamar tiba tiba terbuka dengan sangat keras "Bruk" membuat Asha terkejut lalu lamunan tentang kisah pertama kali bertemu dengan Fajar hilang memudar.
Saat ini Asha yang masih berbaring di ranjang kamar rumah sakit. Melihat seorang wanita paruh baya yang berusia lima puluh lima tahun. Dengan pakaian panjang warna hitam dengan motif bordir halus dan indah. Gamis itu tampak terbuat dari bahan sutra yang halus dan mengkilap, membuatnya terlihat seperti seorang bangsawan. Motif bordir yang dirajut dengan benang emas dan taburan payet perak yang berkilau. Tak lupa dengan batu kristal Swarovski yang bertabur di sekitar bordiran emas itu. Dengan memakai jilbab yang sangat elegan dan mewah. Yang membuatnya terlihat sangat anggun dan cantik.
Wanita itu berumur 55 tahun tapi make up-nya tak membuat kerutan garis di wajah dan tangannya tampak walaupun setipis apapun itu. Kulitnya begitu bersih dengan wangi yang harum di tubuhnya.
"Asha ! " teriaknya.
"Ibu." Dengan terkejut Asha melihat ibu mertuanya datang dengan mata tajam dan berkilau menatap ke arahnya. Namun, ekspresi wajahnya tetap terkendali.
"Hari ini. Ibu bawa surat yang harus kamu tanda tangani. "
"Surat ? Surat, apa Bu ?"
"Ya surat perceraian kamu sama Fajarlah. Mau surat apa lagi ?" jawab Sri dengan santai lalu membuka sleting tas dan mengeluarkan surat yang terdiri dari empat lembar yang harus di tanda tangani oleh Asha.
Terdengar suara bulpoin terjatuh, namun dia sudah memungutnya kembali.
"Cerai ! Cerai, apa maksudnya ! Mas fajar mana Bu ? " ucap Asha dengan bibir gemetar.
"Jangan cari Fajar. Dia sudah bahagia dengan wanita baik baik. "
Asha terdiam sejenak, dia ingin mengatur napasnya yang tersengal. Lalu, tiba tiba Umi datang dengan kemarahan yang terpendam.
"Wanita baik baik ! maksud apa, besan bicara seperti itu !"
Mendengar suara yang tiba tiba datang dari arah luar. Sri terkejut, dia memundurkan dua langkah kakinya dan berpengang pada nakas.
"Ya ... Wanita yang tidak selingkuh dengan pria lain sampai hamil dan tidak mengambil harta apapun."
" FITNAH ! FITNAH ! ITU SEMUA FITNAH !" teriak Umi penuh kemarahan, yang ingin sekali menarik kerudung wanita yang memiliki sifat penuh keburukkan itu, dan ingin menyobek pakaian yang dia kenakan walaupun itu terlihat sangat mewah.
" Kenapa ini, Ibu baik baik saja kan ? " tiba tiba suara seorang pria terdengar, berdiri dan menggenggam lengan Sri yang terlihat sangat ketakutan.
" Mas Fajar." Pancaran netra Asha berbinar bahagia, senyum harapan tersimpul di bibirnya. Bahwa suaminya datang untuk melihat keadaan dirinya lalu, akan mengatakan bahwa semuanya akan baik baik saja dan perceraian itu tak akan terjadi.
" Ibuk mu ! Kesini memfitnah Asha ! " Umi menunjuk ke arah Sri, lalu ke arah Fajar ." Jika ingin bercerai dengan Asha seharusnya kamu ! Tidak perlu membawa ibumu ke sini !"
" Mau saya datang atau enggak ! Itu hak saya ! Saya ibu nya Fajar dan Fajar anak saya ! Fajar sudah di bohongi oleh Asha ! Wanita itu berselingkuh !"
" CUKUP ! CUKUP !" teriak Fajar histeris sehingga suaranya bergema di lorong rumah sakit.
Fajar mengatur napasnya dan melihat mereka berdua sudah tak lagi beradu mulut. " Ibu dan maaf Umi. Biar Fajar dan Asha menyelesaikan urusan ini baik baik," ucap Fajar dengan melirik ke arah Umi dan ibunya.
" Umi, saya minta tolong, Umi untuk keluar sebentar. " Fajar menumpuk kedua telapaknya seperti memohon. " Dan ibu. Lebih baik pulang saja, " ucap Fajar sekali lagi dengan ekspresi memelas dan meminta pengertian orang tuanya
Mereka pun meninggalkan Fajar dan Asha sendiri di dalam kamar. Tanpa lupa, Sri menyodorkan surat perceraian itu di dada Fajar dengan dorongan kecil.
Tangan Fajar memengang surat itu dengan sangat hati hati, takut jika robek dan meluruskan ujung kertas bagian atas yang terlipat.
Asha menangkap ekspresi wajah suaminya itu. 'Apakah mas Fajar memang ingin bercerai denganku ? Apakah mas fajar mempercayai fitnah itu ? Itu tidak mungkin, tidak mungkin mas Fajar seperti itu ? Ya Allah.' dalam hati Asha merintih perih, tajam, sakit dan luka.