Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Perbatasan Dua Kerajaan
Elang Pingit meringkuk kesakitan di bawah gapura bambu yang rusaknya hanya sedikit.
Sebenarnya, apa yang dialami oleh Elang Pingit tidak begitu serius untuk ukuran seorang pendekar berkesaktian sepertinya. Namun, saat ini kondisinya sedang lemah karena terluka akibat jatuh dari ketinggian. Jadi, tubuhnya sedang manja-manjanya.
Drap drap drap!
Elang Pingit segera melihat ke sekitarnya ketika mendengar suara lari sejumlah pasang kaki mendekatinya.
Dia hanya bisa terkejut dan diam saat tahu-tahu sekitar enam ujung lancip tombak telah berhenti di dekat dirinya. Ada enam prajurit yang datang mengancamnya, tapi tidak satu pun yang iseng menusuknya.
“Komandan Rorotang, jika senjata prajuritmu melukai budak Gusti Ratu itu, maka hari ini akan menjadi hari terakhirmu dan pasukanmu!” seru Nyai Bale kepada Komandan Rorotang.
Terbeliak Komandan Rorotang mendengar kata “Gusti Ratu”.
“Apakah kau sudah lupa denganku?” tanya Nyai Bale, sekedar untuk memperkuat ancamannya terhadap komandan prajurit itu.
Sebagai pemimpin prajurit Kerajaan Teluk Busung, seharusnya Komandan Rorotang kenal dengan Nyai Bale, pendekar wanita yang sudah masyhur nama dan kesaktiannya, pemilik kedai pepes jengkol di Ibu Kota.
Memang, jika bukan karena tugas dan kewajiban, Komandan Rorotang pastinya tidak mau berurusan dengan pendekar sakti, ujung-ujungnya hanya akan memberi derita kepada pasukannya, juga kepada dirinya.
Komandan Rorotang lalu berinisiatif pergi mendatangi jalanan. Pasukan yang ada di belakangnya juga mengikuti.
“Berikan saja uang. Jika masih jual mahal, habisi saja!” perintah Ani Saraswani kepada Nyai Bale.
“Baik, Gusti Ratu,” jawab Nyai Bale.
Dia lalu menyusupkan tangan kanannya ke dalam kantung kulit besar di kudanya. Ketika tangan itu ditarik keluar, sudah menggenggam sekantung kain kecil yang cukup dalam genggaman.
Nyai Bale lalu lepas landas dari pelananya dan terbang berdiri dengan anggunnya seperti emak peri tanpa sayap.
Komandan Rorotang berhenti ketika Nyai Bale mendarat halus satu tombak di depannya.
Nyai Bale melempar lambung apa yang dipegangnya.
Crek!
Terdengar suara koin logam ketika Komandan Rorotang menangkap kantong kain itu.
“Jika kau dan pasukanmu ingin dihancurkan oleh Ratu Kerajaan Pasir Langit, kembalikan uang itu,” ujar Nyai Bale.
“Hahaha!” tawa Komandan Rorotang. “Kau jangan terlalu serius, Pendekar. Aku dan pasukanku hanya melaksanakan tugas. Setelah itu baik buruknya bisa dibincangkan.”
Nyai Bale hanya tersenyum dengan satu sudut bibir.
“Lepaskan! Buka jalan!” teriak Komandan Rorotang memberi perintah kepada pasukannya.
Perintah itupun membuat enam prajurit yang mengancam Elang Pingit segera menarik tombaknya dan pergi.
Perintah itu juga membuat pasukan yang menutup jalan segera hadap kanan, lalu pergi teratur meninggalkan jalanan.
Nyai Bale segera berjalan meninggalkan Komandan Rorotang untuk kembali ke kudanya.
Elang Pingit lalu bergerak bangkit sambil tangan kirinya memegangi bahu kanannya yang sedang sakit.
“Gusti Ratu Sejagad Bintang!” panggil Elang Pingit sambil membungkuk menjura hormat.
“Kenapa kau memanggil Gusti Ratu, Budak?” tanya Cira Keling.
“Pasukan perbatasan ini punya kuda. Ambilkan satu kuda buatku, Gusti Ratu. Aku terluka!” seru Elang Pingit dengan wajah mengerenyit, memelas.
“Beraninya kau meminta kepada Gusti Ratu, Budak!” bentak Cira Keling marah.
Bentakan itu membuat Elang Pingit diam tertunduk.
Singkat cerita.
Ani Saraswani akhirnya melanjutkan perjalanannya dengan melewati jalan yang sangat lebar, tetapi diapit oleh dua dinding gunung. Faktanya, jalan itu adalah celah gunung.
Bukan hanya mereka yang melalui jalan luas itu, ada juga pelaku perjalanan yang lain. Ada yang berkuda, ada yang mengendarai pedati, dan ada yang berjalan kaki.
Jalan yang diapit oleh dua jurang itu dikenal dengan Perbatasan Utara Selatan oleh orang-orang Kerajaan Teluk Busung. Namun, orang-orang di wilayah Kerajaan Pasir Langit mengenalnya dengan nama Perbatasan Selatan Utara.
Memang, Ani Saraswani dan rombongan baru saja melewati Pasukan Perbatasan Utara Kerajaan Teluk Busung. Setelah melewati jalan itu, mereka akan memasuki wilayah paling selatan Kerajaan Pasir Langit, tepatnya pinggiran wilayah Kadipaten Sumuk.
Jalan celah gunung yang menjadi pemisah dua perbatasan itu tidak terlalu jauh. Berdasarkan perjanjian antara kedua kerajaan, jalan itu wajib steril dari aktivitas militer. Istilah lainnya, jalan pemisah dua perbatasan tersebut adalah zona bebas yang tidak bertuan.
Sama seperti perbatasan utara Kerajaan Teluk Busung, perbatasan selatan Kerajaan Pasir Langit juga dijaga oleh pasukan perbatasan.
Kini, rombongan Ani Saraswani terdiri dari enam ekor kuda dengan satu penunggang adalah laki-laki. Lelaki itu tidak lain adalah Elang Pingit. Ternyata dia mendapatkan apa yang dimintanya kepada Ratu Sejagad Bintang.
Sebelumnya, Ratu Ani Saraswani membelikan satu ekor kuda dari Komandan Rorotang. Rupanya, selaku seorang mantan mayit tidak membuat Ani Saraswani kehilangan rasa kemanusiaannya. Atau, pada kenyataannya memang ada istilah “rasa kemayatan”.
Dengan berkuda, Elang Pingit memiliki kesempatan untuk tertawa dan berkelakar dengan Sulastri dan Sulaman di sisi belakang rombongan.
Pada akhirnya, setelah menyeberangi Perbatasan Utara Selatan, rombongan itu sampai di pos pemeriksaan perbatasan selatan Kerajaan Pasir Langit.
Ada sekitar tiga puluh prajurit yang ditempatkan di pos pemeriksaan Perbatasan Selatan Kerajaan Pasir Langit. Para prajurit itu berseragam warna cokelat-cokelat.
Di bangunan kayu pos pemeriksaan ada bendera warna merah yang ada gambar garis hitam berpola atap istana. Itu adalah bendera Kerajaan Pasir Langit.
Di sisi bendera kerajaan, ada pula panji yang wujudnya kain cokelat berbentuk segitiga. Itu bukan segitiga pengaman, tetapi itu panji dari Pasukan Kaki Gunung. Posisi panji lebih rendah dari bendera kerajaan.
Pasukan yang menjaga perbatasan itu adalah Pasukan Kaki Gunung. Meski di pos pemeriksaan hanya ada tiga puluh orang prajurit, tetapi tidak jauh dari titik itu, tepatnya di sebuah lembah, ada markas militer yang dipimpin oleh seorang Panglima Perbatasan Selatan. Lembah itu bernama Lembah Kumaha.
Sebelum rombongan itu sampai kepada para prajurit yang bertugas memeriksa dan bertanya, Ani Saraswani memerintahkan Sulastri untuk lebih dulu sampai ke sana.
Sulastri memacu kencang kudanya untuk sampai lebih dulu ke pos pemeriksaan.
Dua orang prajurit bersenjata tombak dan tameng menghentikan kuda Sulastri. Namun, justru Sulastri yang memberi perintah.
“Prajurit, panggil komandanmu! Rombongan Gusti Ratu Ani Saraswani telah tiba!” seru Sulastri.
Langsung terkejut kedua prajurit itu. Mereka gagal gagah dan gagal garang. Biasanya dan seharusnya merekalah yang memberi perintah.
Mereka terkejut karena mengenal pemilik nama yang disebut. Salah satu pengetahuan wajib bagi seorang prajurit adalah menghapal nama raja dan ratunya.
“Cepat kau lapor kepada Komandan Remuk!” suruh satu prajurit kepada rekannya. Dia tidak berani ajukan pertanyaan kepada Sulastri. Dia tidak mau gara-gara tidak percaya dengan perkataan Sulastri, harinya menjadi sial.
Prajurit yang disuruh segera pergi berlari. Di sisi lain, beberapa pasang prajurit juga sedang bekerja memeriksa para musafir lain yang ingin melintasi perbatasan.
“Gusti Komandan Remuk Gula!” teriak si prajurit memanggil. Nada panggilannya terdengar setengah panik.
Komandan Remuk Gula yang sedang duduk mengemil gula aren di sebuah kursi di bawah pohon rindang, hanya memandangi anak buahnya yang lari tergesa-gesa.
Komandan Remuk Gula masih tergolong muda dengan usia tiga puluh dua tahun. Kemarin dia ulang tahun yang ketiga puluh tiga. Itu terjadi karena pernah satu tahun usianya dirayakan sebanyak dua kali.
“Ada apa?” tanya Remuk Gula ketika prajurit itu sampai di hadapannya.
“Ada rombongan Gusti Ratu Ani Saraswani datang dari wilayah Kerajaan Teluk Busung, Gusti!” jawab si prajurit.
“Apa?!” kejut Remuk Gula benar-benar terkejut, sampai-sampai dia bangun dari duduknya.
Dengan wajah menunjukkan ketegangan, dia melemparkan pandangannya ke arah jalanan, di mana lima penunggang kuda telah dekat di pos pemeriksaan.
“Gusti Ratu!” sebutnya pelan, tapi terkejut. (RH)
asik lagi keren