Calista Blair kehilangan seluruh keluarganya saat hari ulang tahunnya ke-10. Setelah keluarganya pergi, ia bergabung dengan pembunuh bayaran. Tak berhenti di situ, Calista masih menyimpan dendam pada pembantai keluarganya, Alister Valdemar. Gadis itu bertekat untuk membunuh Alister dengan tangannya untuk membalaskan dendam kematian keluarganya.
Suatu saat kesempatan datang padanya, ia diadopsi oleh Marquess Everhart untuk menggantikan putrinya yang sudah meninggal menikah dengan Duke Alister Valdemar, sekaligus sebagai mata-mata musuhnya itu. Dengan identitasnya yang baru sebagai Ravenna Sanchez, ia berhasil menikah dengan Alister sekaligus untuk membalas dendam pada pria yang sudah membantai keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fatayaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemukan bukti
Lily menangis sejadi-jadinya saat seorang prajurit menyeretnya menuju sebuah papan kayu. Kedua tangannya di ikat agar ia tidak bisa kabur. Hari ini Mary memerintahkan para prajurit untuk memotong tangan Lily sebagai hukuman karena sudah berani mencuri.
Seorang prajurit mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, hendak memotong kedua tangan Lily.
“Berhenti!” seru seseorang, berhasil menghentikan prajurit itu.
Mary menoleh ke sumber suara, ia mengernyitkan keningnya melihat Ravenna dan Alister berjalan kearahnya.
“Lepaskan dia!” perintah Alister.
Prajurit itu tak langsung bertindak, menatap bingung kearah Alister. “Ku bilang lepaskan!” perintah Alister sekali lagi. Prajurit itu bergegas melepaskan ikatan tali pada tangan Lily.
Ravenna berlari kecil menghampiri Lily kemudian memeluknya.
Mary menatap geram kearah Alister, “Alister, dia sudah mencuri permata keluarga Duke, kenapa kau tidak membiarkan ku memberi hukuman yang pantas?”
“Bibi, aku tidak menyelamatkannya, tapi aku hanya memberi Ravenna waktu untuk membuktikan kalau pelayannya tidak bersalah. Jika dia tidak bisa membuktikannya, tentu aku akan menghukum dengan setimpal” ujar Alister. Ia menyetujui permintaan Ravenna karena ia melihat kesungguhan wanita itu untuk menyelamatkan bawahannya.
“Aku tidak mengerti, kenapa kau sangat peduli dengan pelayannya. Dia sudah mencelakai adik mu, untuk apa kau mendengarkannya?” tanya Mary gusar.
“Apa sekarang bibi mau menentang perintah ku?” tanya Alister dengan raut datar pada Mary.
Mary mendengus kesal, ia kemudian beranjak pergi dengan langkah cepat keluar dari penjara bawah tanah.
“Terima kasih nyonya, kalau anda tidak datang, tangan saya pasti sudah terpotong,” ucap Lily kembali menetaskan air matanya.
“Lily kau tenang saja, aku akan membuktikan kalau kau tidak bersalah,” ucap Ravenna sembari mengelus punggung Lily.
***
Seorang dokter istana dengan hati-hati memeriksa kondisi tubuh Annelise yang tengah terbaring di ranjang. Suaminya, Leonard berdiri di samping ranjang dengan raut khawatir karena sejak beberapa hari terakhir, kondisi istrinya tidak terlalu baik.
“Bagaimana keadaannya dokter?” tanya Leonard pada dokter paruh baya setelah memeriksa kondisi istrinya.
“Selamat yang mulia, putri mahkota tengah mengandung, usia kandungannya sekitar satu bulan,” jelas sang dokter sembari tersenyum tipis.
Mata Leonard melebar, perasaan haru dan senang mejadi satu. Akhirnya setelah dua tahun pernikahan, yang ia tunggu tunggu selama ini datang juga. Pria itu kemudian menatap kearah Annelise, namun raut wajah istrinya itu terlihat pucat.
“Annelise, ada apa? Apa kau tidak senang?”
Annelise mengalihkan pandang ke arah Leonard, wanita itu menyunggingkan senyumnya. “Aku hanya terkejut, tentu saja aku senang. Sudah sejak lama aku menantikannya,”
Pria itu kemudian memeluk istrinya dengan lembut, sementara disisi lain wajah Annelise berubah pucat, ia seolah tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi.
‘Tidak mungkin, apa dokter itu salah. Bagaimana ini bisa terjadi?’ pikir Annelise yang masih tak percaya dengan kehamilannya.
***
Ravenna tersenyum tipis saat membaca surat yang dikirim vincent padanya. Di surat itu tertulis kalau vincent sudah berhasil menemukan seorang pelukis yang menggunakan arsenik dalam cat lukisnya, pelukis yang sudah beberapa kali membuatkan pesanan untuk Mary.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar Ravenna. Wanita itu melipat surat itu dan kembali memasukkannya kedalam amplop. Seorang pelayan bermata hijau kemudian masuk setelah Ravenna mengizinkannya.
“Apa nyonya memanggil saya?” tanya Paula menatap wanita muda yang tengah berdiri menatap keluar jendela.
Ravenna berbalik, mengalihkan pandang kearah pelayan itu, kemudian berjalan ke salah satu kursi dan duduk disana.
“Namamu Paula kan, teman satu kamar Lily?” tanya Ravenna memastikan.
“Benar nyonya,” jawabnya singkat.
“Apa kau tau, bagaimana permata itu ada pada lemari Lily?” tanya Ravenna mulai mengintrogasi.
Paula menggeleng, “saya tidak tau nyonya, Lily mengambil permata itu tanpa sepengetahuan saya,” timpalnya dengan wajah datar.
“Benarkah? Lalu, bagaimana kau menjelaskan ini?” Ravenna melemparkan sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran bunga mawar keatas meja.
Paula melebarkan matanya, mengenali kotak kayu itu. Kotak itu miliknya, kapan Ravenna mengambil kotak itu. Raut wajahnya mulai memucat.
“Sekantung koin emas dan sebuah kalung rubi milik keluarga Duke ini aku temukan di bawah ranjangmu, apa kau bisa menjelaskan semua ini?” tanya Ravenna setelah membuka kotak itu.
“I-itu bukan punya saya nyonya, saya tidak mungkin mengambil barang berharga di keluarga ini. Pa-pasti Lily yang sudah menaruhnya disana,” elak Paula berusaha bersikap tenang.
Ravenna tersenyum sinis, “Paula, kau tidak perlu berbohong di depanku. Kau sengaja menyembunyikan kotak ini saat penggeledahan kan? Ada bekas tanah yang masih menempel disana, saat penggeledahan berlangsung, kau sengaja menguburnya didalam tanah supaya tidak ketahuan kan? Apa kau juga yang sudah meletakkan permata itu kedalam lemari Lily? kenapa? Kenapa kau menjebak Lily? Siapa yang menyuruhmu?” Ravenna menghujami Paula dengan banyak pertanyaan, membuat Paula terintimidasi.
“Sudah saya katakan nyonya, kotak itu bukan milik saya. Anda pasti salah orang, bukan saya yang menjebak Lily. Kalaupun anda melaporkan saya, apa anda memiliki bukti?” tanya Paula, tidak berani menatap lawan bicaranya.
“Baiklah, sepertinya kau tidak akan mengaku sampai akhir,” Ravenna diam sejenak sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya pada sandaran lengan. “Bukankah kau memiliki dua orang adik dan ibu yang sakit-sakitan?” tanya Ravenna menatap lurus Paula.
Paula menatap Ravenna dengan sorot terkejut, “Apa yang akan anda lakukan?”
“Kau tenang saja, aku tidak akan menyentuh mereka kalau kau mengakui perbuatan mu! Katakan yang sebenarnya siapa yang menyuruh mu?” tanya Ravenna sekali lagi.
Paula menelan salivanya, “Saya mohon jangan sakiti mereka! sa-saya hanya disuruh nyonya Mary untuk menjebak Lily, saya mohon jangan sentuh mereka, nyonya” mohon nya.
Ravenna menautkan kedu alisnya, “Jadi nyonya Mary yang menyuruhmu melakukannya,”
“Benar nyonya,” timpal Paula terlihat ketakutan.