Adinda tak pernah membayangkan bahwa pernikahan yang ia jaga dengan sepenuh hati justru kandas di tengah jalan. Sejak mengalami insiden yang membuatnya harus menjalani perawatan panjang, ia kehilangan banyak hal—termasuk komunikasi dengan suaminya sendiri. Berbulan-bulan ia berjuang seorang diri, berharap ketika pulih, rumah tangganya masih bisa dipertahankan.
Namun harapan itu runtuh seketika. Saat suaminya akhirnya pulang dan berdiri di hadapannya, bukan pelukan hangat atau kabar baik yang datang… melainkan satu kalimat yang menghancurkan seluruh dunianya: ia diceraikan.
Adinda hanya bisa terpaku, tak pernah menyangka bahwa ketegarannya selama ini justru berakhir pada kehilangan yang lebih besar daripada rasa sakit yang pernah ia derita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 33 Serasa malu
Ternyata begini rasanya punya istri… seseorang untuk dipeluk saat bangun, batinnya.
Adinda bergerak pelan, bulu matanya bergetar. Begitu matanya terbuka, ia tersadar bahwa tubuhnya berada dalam dekapan suaminya, dekat sekali. Seketika wajahnya memerah seperti tomat rebus.
“K-Kak Vikto… kenapa peluk Adinda?” bisiknya terbata, berusaha melepaskan diri.
Vikto menahan senyum. “Aku nggak sadar. Tapi… hangat kan, ya?” godanya pelan.
Adinda makin salah tingkah. “I-itu… Adinda mau bangun dulu!”
Ia buru-buru bangkit dari ranjang, hampir tersandung selimut sendiri saking paniknya. Vikto hanya terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya yang masih mengantuk namun bahagia.
Ketika Adinda membuka pintu kamar,
BRAK!
Ziro dan Mbak Tia langsung terhuyung ke depan karena sebelumnya menempelkan telinga di pintu. Keduanya reflek berdiri tegak, memasang pose seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Ehem! Selamat pagi, Nyonya!” ujar Ziro semangat, padahal mukanya merah malu karena ketahuan menguping.
Mbak Tia mencubit lengannya. “Ziro! Kamu tuh nggak sopan nguping kamar orang!”
“Lah, Kamu juga nguping!” bisik Ziro kesal, tapi tetap pasang senyum manis ke Adinda.
Adinda langsung menutupi pipinya yang panas. “M-Bak… Z-Ziro… kalian dari tadi di situ?”
Mbak Tia tersenyum penuh arti sambil melirik ke dalam kamar. “Hehe… cuma mau bangunin kalian sarapan. Eh, tapi lihat-lihat kayaknya Nyonya nggak perlu dibangunin, ya? Wajahnya berseri begitu.”
“Betul!” sambung Ziro cepat. “Aura-aura pengantin baru banget! Romantis dan anget gitu!”
“Kamu mau saya jitak?” suara Vikto terdengar dari dalam, datar namun tajam.
Ziro langsung berdiri tegap seperti prajurit. “Tidak, Bos! Siap salah, Bos!”
Adinda makin malu, namun tanpa sadar ia tersenyum kecil. Sebuah pagi yang sederhana, tapi hangat. Penuh canggung, penuh tawa, dan… penuh harapan baru di antara mereka.
Beberapa menit kemudian setelah Vikto dan Adinda cuci muka serta lainnya, mereka berdua segera turun dan sarapan pagi. Ketika mereka sudah di taman belakang untuk sarapan pagi, Adinda dan Vikto keluar kamar dengan raut wajah sama-sama merah. Ziro pura-pura sibuk menarik kursi untuk kedua majikannya, padahal hanya menahan diri untuk tidak berkomentar. Mbak Tia pura-pura tidak melihat apa pun, tetapi senyumnya penuh arti.
“Silakan sarapan dulu, Tuan, Nyonya” ucap Mbak Tia lembut.
Adinda duduk di samping suaminya, masih canggung, sedangkan Vikto tampak lebih tenang namun tak bisa menyembunyikan semburat senyumnya.
Di meja makan itu terasa ada kedamaian kecil—rumah yang mulai terisi kehangatan.
Berbeda jauh dengan meja makan di ruangan tertentu, yang pagi itu kosong.
Tidak ada Tuan Abdi.
Tidak ada Nyonya Wirna.
Tidak ada ucapan selamat pagi.
Karena hubungan keluarga itu retak dan penuh dengan dusta, penuh manipulasi, penuh luka yang belum terobati.
Setelah menyuruh Ziro dan Mbak Tia untuk ikut sarapan bersama, Vikto menarik napas dalam, menahan getir.
Adinda diam-diam memperhatikan perubahan rautnya, lalu menyentuh tangannya pelan di bawah meja. Sentuhan yang sederhana, tetapi membuat hati Vikto menghangat lagi.
“Ada Adinda di sini…” ucap istrinya pelan, hampir berbisik.
Vikto menoleh, tersenyum tipis.
“Dan itu lebih dari cukup.”
Ziro yang melihat dari dekat nyaris tersedak.
“Ya Tuhan… Bos gue kalau lagi bucin begini bikin sarapan jadi hambar…”
Mbak Tia menyikutnya.
“Ssst! Biarin. Biar cepet sembuh hatinya.”
Ziro mendengus, tapi tersenyum.
Mereka berempat sarapan dalam suasana hangat, sebuah pagi yang pelan-pelan mengobati luka semalam. Dan untuk pertama kalinya, meski masih banyak badai menunggu, rumah semegah itu masih terasa tidak nyaman. Biasanya sosok Oma Hela yang selalu ikut sarapan bersama, kini semua telah hilang bayangannya. Vikto berusaha kuat, meski sebenarnya perasaannya begitu hancur oleh orang tua sendiri.
Sedangkan Tuan Abdi dan Nyonya Wirna, juga Diva adiknya Vikto tengah sarapan di ruang makan. Tidak untuk Vikto dan Adinda, mereka sarapan pagi di taman belakang.
"Lihat lah putramu, sudah dikuasai perempuan sial itu." Protes Nyonya Wirna saat hendak sarapan pagi.
Tuan Abdi menghela napasnya panjang, dan dengan kasar membuangnya.
"Biarkan saja, kalau hubungan mereka retak, nanti juga bakal berpisah dengan sendirinya." Kata Tuan Abdi yang masih terasa dongkol.
"Diva juga gak suka, mana selalu dimanja sama Kak Vikto lagi. Benar-benar menyebalkan. Seharusnya aku yang dapat perhatian dari Kak Vikto, bukan perempuan itu." Timpal Diva ikut berkomentar.
"Sudahlah, kita makan dulu. Nanti kita lanjut lagi buat menyingkirkan perempuan sial itu." Tambah Nyonya Wirna yang begitu benci kepada Adinda .
Mereka bertiga menikmati sarapannya.