NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:463
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4

Satu jam merangkak lambat sejak Daniel Tirtayasa tiba. Langit Jakarta akhirnya menyerah pada pagi, berubah dari ungu pekat menjadi abu-abu kotor bersemburat oranye. Cahaya baru itu adalah musuh; ia menyusup tanpa ampun ke dalam kapel, menyoroti kengerian di dalamnya dengan kejujuran yang brutal.

Di luar, ritual investigasi sudah berjalan dengan hiruk pikuk. Suara radio berderak, sepatu bot berderit di atas kerikil, dan bisikan-bisikan tertahan dari petugas di garis polisi.

Daniel memilih berdiri terpisah, di ambang pintu, mengamati dalam diam.

Tim INAFIS sudah di dalam. Mereka bergerak dalam balutan rompi putih, senyap dan efisien. Mereka memotret, mengukur, menyinari lantai dengan cahaya UV, mengantongi serat-serat kecil. Mereka melakukan semua sesuai buku, pikir Daniel. Setiap langkah, setiap prosedur, sudah benar.

Perasaan tidak nyaman menjalari perutnya. Buku itu tidak akan cukup.

Bagaimana mungkin buku prosedur bisa menjelaskan ini?

Mereka sedang mengumpulkan data fisik dari TKP yang dirancang secara spiritual. Mereka mencari sidik jari di tempat pembunuhnya hanya meninggalkan simbol. Mereka mencari jejak kaki di tempat pembunuhnya meninggalkan sebuah pesan teologis.

Bahasa yang digunakan di kapel ini, kekerasan yang teratur, ritual yang dingin tidak diajarkan di akademi.

Dia butuh penerjemah.

“Komandan,” Iptu Budi, kepala tim INAFIS, mendekatinya. Wajahnya yang keras tampak kusut di bawah cahaya pagi. “Pemindaian awal selesai. Kami siap memindahkan jenazah.”

“Tunggu,” kata Daniel. Matanya tidak beralih dari sosok di depan altar.

“Tapi, Ndan, standar operasional…”

“Kita tunggu Dr. Samuel,” potong Daniel. Nadanya final.

Iptu Budi, seorang veteran yang terbiasa memberi perintah, jelas tidak suka. Tapi nama itu menghentikan argumennya. Ia mengangguk kaku. “Siap. Kami tunggu.”

Daniel kembali mengamati TKP. Pikirannya berpacu. Kenapa Lukas? Kenapa di sini? Seorang mantan preman, bertobat, lalu dieksekusi di tempat perlindungannya sendiri. Sebuah pesan tentang dosa, ditulis dengan darahnya.

Ini bukan balas dendam preman. Balas dendam itu panas, meledak-ledak, dan berantakan.

Ini dingin. Ini perhitungan. Ini, entah bagaimana, terasa... intelektual.

Sebuah sedan Swedia perak berhenti di mulut gang. Bersih, tidak mencolok, nyaris membosankan. Pintu terbuka, dan seorang pria melangkah keluar. Pertengahan tiga puluhan, kemeja katun abu-abu yang disetrika sempurna, celana bahan hitam. Ia membawa koper aluminium yang lebih mirip alat musik presisi daripada perangkat forensik.

Dr. Samuel Adhinata.

Saat ia berjalan, para petugas berseragam menyingkir. Bukan karena takut, tapi karena rasa hormat yang kaku. Samuel memancarkan aura kompetensi absolut yang dingin. Ia tidak berjalan seperti polisi yang tergesa-gesa. Ia berjalan seperti seorang spesialis yang dipanggil untuk memperbaiki reaktor nuklir yang bocor.

“Sam.” Daniel merasakan sedikit beban di bahunya terangkat. Kavaleri telah tiba.

“Daniel.” Mata Samuel di balik kacamata tipis itu tidak menatap Daniel. Matanya langsung memindai melewati bahu Daniel, menembus ke dalam kapel. “Kudengar kau punya sesuatu yang menarik.”

“Itu salah satu kata untuk menggambarkannya,” sahut Daniel getir.

Samuel tidak menghiraukan sarkasme itu. Dia langsung menghampiri Iptu Budi. “Laporan awal?”

“Penyebab kematian tusukan multipel, Dok. Tidak ada selongsong. Waktu kematian diperkirakan…”

Samuel mengangkat satu tangan. Gerakan kecil yang sopan namun absolut. “Iptu, terima kasih. Tapi saya lebih suka membaca teks aslinya tanpa ulasan. Jangan biarkan spekulasi Anda mengontaminasi data saya. Mohon beri saya dan Komandan Daniel ruang.”

Iptu Budi tampak seperti baru saja menelan sesuatu yang pahit. "Kontaminasi data?" Tapi dia tidak membantah. Dia hanya memberi isyarat agar timnya mundur beberapa langkah.

Daniel nyaris tersenyum. Itulah Samuel. Tidak peduli pangkat. Hanya peduli fakta.

Samuel membuka kopernya. Ritual dimulai. Jubah pelindung biru. Penutup sepatu. Penutup kepala. Terakhir, sarung tangan lateks, yang ia pasang dengan suara snap yang tajam dan memuaskan. Dalam sekejap, dokter itu telah menjadi seorang penyelidik dunia lain.

Ia melangkah masuk. Daniel mengikutinya, menjaga jarak. Ini adalah panggung Samuel.

Selama hampir satu menit penuh, Samuel tidak melakukan apa-apa. Ia hanya berdiri di tengah ruangan, berputar 360 derajat dengan gerakan lambat dan terukur. Matanya memindai. Daniel bisa membayangkan otaknya bekerja, membangun ulang kejadian di ruangan itu dalam tiga dimensi, piksel demi piksel.

Lalu, ia mendekati tubuh Lukas. Ia tidak berlutut di sampingnya. Ia berlutut di depannya, menatap apa yang dilihat Lukas. Kemudian ia berdiri dan mulai bekerja.

“Tidak ada tanda perlawanan,” suara Samuel terdengar teredam masker, tapi tajam. “Tangan tergenggam. Bukan terkepal. Kuku-kuku bersih. Tidak ada DNA pelaku. Korban yang diserang akan mencakar. Ini… pasrah.”

Dia menyalakan senter pena, sinarnya yang putih kebiruan menyorot luka di dada Lukas.

“Presisi,” lanjutnya. “Luar biasa presisi. Ini bukan pisau dapur. Tepi lukanya bersih, tidak bergerigi. Sudut masuknya konsisten. Empat puluh lima derajat, dari atas ke bawah. Pelaku punya tangan yang stabil. Dia tahu persis berapa banyak tenaga yang dibutuhkan. Tidak terlalu dalam, tidak terlalu dangkal.”

Daniel merasakan tengkuknya mendingin. Dia tidak melihat pembunuhan brutal. Dia melihat sebuah teknik.

“Sekarang, ini.” Samuel mengarahkan senternya ke lantai semen di sekitar lutut Lukas. “Anomali terbesar. Lihat apa yang tidak ada di sini, Daniel.”

“Darah,” kata Daniel, menyadari apa yang sudah ia lihat namun belum ia proses.

“Tepat. Tidak ada genangan. Tidak ada cipratan arteri. Dengan ratusan tusukan, lantai ini seharusnya kolam renang. Ini berarti dua hal. Pertama, pendarahannya sebagian besar internal. Pelaku sengaja menusuk di antara tulang rusuk, menghindari arteri besar. Dia tahu anatomi. Dia tahu persis di mana harus menusuk untuk membuat korban menderita paling lama.”

Samuel berhenti, membiarkan fakta itu menggantung di udara yang dingin.

“Dan kedua?” tanya Daniel.

“Kedua, pelaku memiliki kendali absolut. Untuk melakukan ini semua tanpa perlawanan dan tanpa kekacauan... korban kemungkinan besar sudah dilumpuhkan, atau tidak sadar, saat ini semua terjadi.”

Ketenangan di ruangan itu bukan karena kepasrahan. Ketenangan itu adalah hasil rekayasa.

“Dia bukan sekadar membunuhnya,” gumam Samuel, nyaris pada dirinya sendiri. “Dia membongkarnya.”

Daniel menelan ludah, mencoba mengusir rasa mual. Bagaimana bisa dia begitu tenang? Daniel melihat kekejaman, penistaan, jiwa yang hilang. Samuel melihat teka-teki mekanis. Dan saat ini, Daniel sangat membutuhkan logika mekanis Samuel untuk menahan kengerian yang ia rasakan.

Setelah selesai dengan tubuh, Samuel akhirnya beralih ke cermin. Ia berdiri di depannya, matanya mengikuti setiap goresan kaligrafi darah itu.

“Dia menulis dari atas ke bawah,” kata Samuel pelan. “Tekanannya konsisten. Dia tidak kehabisan ‘tinta’. Itu berarti dia sudah mengumpulkan darahnya dalam sebuah wadah. Ini direncanakan. Meditatif.”

Setelah hening yang terasa panjang, Samuel menyelesaikan pemeriksaan awalnya. Ia melangkah keluar dari kapel, gerakannya cepat dan efisien saat melepas lapisan pelindungnya, seolah melepaskan kulit ular.

Ia menatap Daniel. Topeng klinisnya sedikit retak. Bukan oleh emosi. Tapi oleh intensitas penemuannya.

“Dia tidak hanya membunuhnya, Daniel,” kata Samuel. Suaranya tidak lagi datar. Suaranya pelan, sarat dengan bobot sebuah kesimpulan yang tak terhindarkan.

Daniel menunggu.

“Dia sedang berkhotbah.”

Kata itu menghantam Daniel. Berkhotbah. Tentu saja. Itu dia. Kata yang ia cari. Samuel, dengan skalpel logikanya, telah membedah kekacauan ini dan memberinya diagnosis.

Daniel menatap kembali ke dalam kapel. Itu bukan lagi TKP. Itu adalah mimbar yang dinodai. Dan Lukas Santoso bukan lagi korban.

Ia adalah persembahan kurban.

Rasa dingin yang lebih pekat dari rasa takut menjalari Daniel. Ini bukan lagi kasus polisi. Jika ini adalah sebuah khotbah, tugasnya bukan lagi sekadar menangkap pembunuh.

Tugasnya adalah menghentikan seorang nabi palsu.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!