Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 8
### **02.40 dini hari — Atap rumah**
Sunyi.
Terlalu sunyi.
Arlen berdiri di pinggir atap, jaket tersampir di bahu. Matanya lurus ke batas kota.
Tanpa menoleh:
“Keluar. Anginnya gak sembunyiin langkah lo.”
Bayangan lain naik dari tangga lipat.
Najla.
Tetap pakai hoodie, tangan di saku, gaya santai, tapi auranya menyala seperti percikan bensin.
“Tes doang. Siapa tau abang ngelamun.”
Arlen tidak jawab.
Karena mereka berdua sadar—
**ini bukan jam buat pura-pura bego lagi.**
---
### Najla buka duluan.
“Gue gak mau jadi beban di belakang.”
Arlen:
“Gue gak mau lo jadi mayat di depan.”
Najla mendengus.
“Gue gak selemah yang abang kira.”
Arlen akhirnya menoleh, sedikit.
“Gue gak takut lo lemah, Naj. Gue takut lo terlalu mirip gue.”
Angin lewat.
Kalimat itu bukan marah.
Itu peringatan.
Najla terdiam… cuma setengah detik.
“Bagus,” katanya.
“Berarti Council harus siap sama *dua masalah*, bukan satu.”
Arlen tidak membantah.
Dia hanya mengulurkan sesuatu, tanpa lihat wajah adiknya:
**Ear-piece kecil hitam.**
Najla menatap benda itu.
“Ini apa?”
“Sambungan frekuensi kita. Gue gak bilang kita tim. Tapi kalo lo nekat, minimal gue bisa dengar.”
Najla menyeringai, menyambar earpiece itu.
“Deal. Gue juga mau dengar kalau abang hampir mati.”
Arlen mendengus.
“Lo duluan.”
“Gak. Lo duluan.”
“Keras kepala.”
“Warisan keluarga.”
Hening sebentar.
Lalu keduanya memakai earpiece tanpa hitungan, hampir sinkron.
**Klik ganda.**
Terkoneksi tapi tanpa pernyataan resmi.
Inilah Arselion:
Bentuk kerja sama bukan ‘ayo’, tapi ‘awas lo mati duluan.’
---
# **Di waktu sama — Bawah, depan pagar rumah**
Haku berdiri, seperti malam sebelumnya.
Tapi kali ini bukan mengamati.
Dia *meninggalkan sesuatu.*
Sebuah amplop abu-abu, tanpa cap, tanpa nama, hanya simbol Council yang dicoret **dua garis merah menyilang.**
Ultimatum bukan lagi formal.
Ini personal.
Dia mengetuk pagar sekali… lalu pergi.
Bukan untuk memancing.
Untuk memastikan mereka *tahu dia datang.*
---
---
# **Pagi — Meja makan, keluarga masih tidur**
Amplop itu sudah ada di meja.
Darren yang nemu duluan, spontan bangunin semua:
“BANG—DEK—ini bukan tagihan listrik.”
Isinya:
**Foto rumah mereka, diambil semalam**
**Potongan data orang tua mereka 18 tahun lalu**
Dan satu kalimat tulisan tangan:
> **“Kalau kalian senjata terakhir Arselion, kami mau lihat kalian retak dari gagangnya dulu.”**
Tidak ada tanda tangan.
Tapi semua orang tahu penulisnya.
Haku.
---
---
# **Foto kedua yang jatuh dari amplop**
Bukan ancaman.
Bukan medan.
Tapi… orang tua mereka.
Ayah berdarah di lengan, tapi tersenyum.
Ibu menutupi luka di pipi, tapi berdiri di depan, memegang dua anak kecil di belakangnya.
Tanggal foto: **sehari sebelum Council menyatakan garis Arselion ‘musnah’.**
Di belakang foto, ada tulisan ibu mereka:
> *“Kalau suatu hari dunia memilih dua anak ini sebagai bencana… semoga mereka memilih jadi keluarga dulu.”*
Najla membeku.
Arlen membeku lebih dulu.
Seluruh ruangan hening seperti peluru menggantung.
Regar dan Darren berhenti bernapas.
Kai menelan ludah.
Karena sekarang jelas:
Council tidak cuma mau *memburu* mereka.
Mereka mau **membongkar, memecah, dan membuat mereka menyakiti satu sama lain dulu.**
---
---
# **Dan di saat itu juga…**
**Earpiece yang mereka pakai mendesis.**
Bukan dari Arlen.
Bukan dari Najla.
Tapi suara lain, halus, ramah, hampir ramah-banget:
> **“Selamat pagi, bencana keluarga. Mulai hari ini… aku ikut main.”**
Haku.
Dia *sudah ada di jaringan mereka tanpa izin.*
Najla langsung berdiri, kursi berdecit.
Arlen tidak berdiri.
Yang lebih menakutkan: dia tersenyum kecil.
Karena seseorang yang menantang keluarga mereka…
Baru saja menandatangani takdirnya sendiri.
---
### Najla, lirih tapi tajam:
“Bang…”
Arlen bangkit, jaket disambar.
“Iya.”
Najla menyeringai gelap, kalimatnya sederhana:
“Bakar aja?”
Arlen membuka pintu, angin pagi masuk, matanya setenang bencana alam yang sudah memilih episentrum.
**“Kita bakar. Tapi jangan lewat rumah sendiri.”**
---
🔥🔥🔥
### **Atlas Core — Luar Gedung, 22.47**
Ledakan masih memantul di kejauhan.
Bau besi panas dan kabel terbakar bercampur angin malam.
Najla menatap layar Holo-Comm yang menampilkan **siluet di teras rumah**, tubuhnya kaku.
“Bang…” suaranya datar, tapi retak.
Arlen tidak menjawab.
Dia sudah mulai jalan duluan.
Itu bukan berjalan.
Itu **predator yang memutuskan buruannya pindah lokasi.**
Darren di comm:
“G–gue kirim motor sekarang?”
Kai:
“Kirimi doa aja dulu.”
---
# **05 MENIT KEMUDIAN — Depan rumah Arselion**
Lampu teras menyala hangat. Rumah terlihat normal.
Yang tidak normal adalah **siluet yang duduk di pagar**, kaki disilangkan, hoodie hitam longgar seperti milik Najla, rambut gelap panjang sedikit bergelombang.
Dia menoleh.
Wajahnya terlihat jelas.
Tidak mirip Arlen.
Tidak mirip Najla.
Tapi ada **garis tegas di matanya** yang langsung terasa familiar…
Seperti melihat **dua bayangan Arselion campur jadi satu orang baru**.
Senyumnya manis.
Terlalu manis.
“Lama ya? Aku hampir ketiduran.”
Najla refleks maju setengah langkah.
Arlen hadang dengan lengan.
“Jangan dekat dulu,” geramnya rendah.
Siluet itu tertawa kecil, melompat turun dari pagar, lalu berdiri santai.
Dan dia berkata:
> **“Gue kira keluarga sambutannya lebih dramatis.”**
Najla tersentak.
“Suara itu…”
Bukan suara orang asing.
Itu suara **jenis orang yang sama seperti mereka**: tenggelam, gelap, tajam.
---
# **Arlen, dengan nada pisau terseret lantai:**
“Lo siapa?”
Siluet itu menyeringai.
Bukan arogan.
Bukan sombong.
Tapi *lelah karena sudah menunggu terlalu lama.*
“Nama gue **Kaelan Arselion.**”
Darren: “HAH?”
Kai: “GUE TAHU GUE TIDAK GILA—”
Najla: “…bang?”
Arlen diam 2 detik.
Lalu:
“Mustahil.”
Kaelan mengangkat bahu, lalu membuka hoodie-nya.
Di bawahnya, di bahu kiri — **ada luka bakar berbentuk simbol Arselion yang sama persis seperti di pecahan pin Najla.**
Tidak rapi. Tidak diwariskan.
Tapi *diukir paksa, oleh orang yang menolak mati.*
“Gue dibuang dari keluarga sebelum kalian lahir,” kata Kaelan ringan.
“Council nyebut gue prototipe gagal. Jadi mereka kubur gue hidup-hidup.”
Dia tersenyum lagi, tapi matanya… dingin sekali.
“Ternyata gagal mereka… tumbuh lebih cepat dari harapan.”
---
# **Najla menelan ludah**
Kalimatnya keluar pelan:
“Lo kakak… kami?”
Kaelan menunjuk dirinya sendiri.
“Secara DNA? Iya.”
Lalu menunjuk ke arah Arlen, lalu Najla.
“Secara nasib? Kalian *taman bermain*, gue *medan perang*.”
Arlen maju selangkah.
Langit seolah berhenti bernafas.
“Lo datang mau apa?”
Kaelan tersenyum—
senyum yang bukan ramah, bukan ancaman, tapi **janji badai**:
> **“Ngajak kalian bakar Council sampai ke akarnya.”**
Hening.
Ultimate silence.
Lalu Najla menyeringai sangat kecil.
“Oh… jadi bukan mau culik kami?”
Kaelan mendengus, seperti mendengar lelucon yang dia suka.
“Kalau mau, gue udah bawa kalian dari tadi.”
Arlen menatapnya lama.
Lama sekali.
Lalu satu kalimat keluar:
“…Lo tahan panas?”
Kaelan memiringkan kepala, rambutnya jatuh menutupi separuh senyum.
“Gue *apinya*, Len.”
---
### ***Tiga detik hening…***
Lalu Arlen mengulurkan tangan.
Bukan jabat tangan damai.
Tapi **jabat tangan deklarasi perang.**
Kaelan menyambutnya.
Klik.
Persis seperti penutup kunci.
Najla menatap mereka berdua, lalu berdecak.
“Ya udah berarti gue koreknya, Abang api, Kaelan bensinnya.”
Darren dari comm menjerit bangga:
**“ARSELION BBQ PARTY LET’S GOOOO!!!”**
Kai: *facepalm terdengar dari jarak 40 kilometer*
---
# TAP TAP TAP — Langkah kecil dari dalam rumah
Mommy berdiri di pintu sambil bawa spatula.
Dengan tenang, beliau berkata:
“Kalau mau bakar dunia, makan dulu. Nanti maag.”
Keempat bocah iblis itu serentak menoleh, lalu:
“…Baik, Mom.”