Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Hati yang hancur
"Kamu kasih jampi-jampi apa ke ibu, nak? Kok bisa luluh dalam waktu singkat? Ayah saja yang sudah hidup bersama berpuluh-puluh tahun tidak bisa meluluhkan hati ibu dalam waktu singkat," Anton tertawa kecil diakhir kalimat. Masih bisa tertawa karena belum tahu permasalahan yang sedang terjadi, karena Rania juga tidak membuka suara sejak duduk dikursi penumpang.
Bulu mata atas-bawah milik Rania bertemu dalam waktu satu detik ketika ia berkedip pelan. Memandang lurus pada jalan raya yang sedikit lebih senggang dari biasanya.
Ketika Rania tak kunjung membalas, Anton jadi sedikit curiga. Ia menoleh ke samping, dan detik itu juga Anton melihat Rania sedang melamun.
Kepala Anton kembali menoleh ke depan, berusaha tetap fokus pada jalanan. "Ra," Panggilnya lagi dan tidak ada balasan apapun.
"Kamu sempat dimarahi ibu, ya?" Lirih Anton, nyaris tak terdengar. Anton memutuskan untuk minggir dibahu jalan terlebih dahulu.
Setelah merasa aman, Anton segera menggenggam tangan Rania hingga membuat dia tersadar dan sedikit tersentak. Benar dugaannya, Rania sedang memikirkan sesuatu sejak tadi.
"Ayah sudah memanggil dari tadi, loh. Kamu tidak dengar?" Yang ditanya menjawab dengan gelengan lirih. "Jangan terlalu banyak berpikir, itu akan berpengaruh pada bayimu. Jika memang ada masalah cerita saja pada ayah."
"Tidak ada, ayah. Aku hanya ... Merasa lelah dan ingin segera istirahat. Itu saja."
"Baiklah. Tapi jangan melamun lagi, oke? Kalau kamu memikirkan kondisi Ambar, dia baik-baik saja, kok. Bayinya juga selamat meskipun harus menginap di NICU selama beberapa waktu."
Sibuk memikirkan masalahnya sendiri, Rania sampai tidak sempat menanyakan kondisi adiknya. Ya, meskipun bukan salah Rania, tetap saja ingin mendengar kabar baik. Apalagi dari bayi yang dilahirkan oleh Ambar. Dia tidak salah apapun, dan berhak dilahirkan ke dunia ini.
"Ngomong-ngomong, bayi Ambar laki-laki, yah?"
Suasana mulai normal, Anton menyalakan mesin mobil lagi. "Ternyata perempuan. Mungkin saat USG belum kelihatan jelas, jadi bisa berubah tidak sesuai prediksi."
Kepala Rania mengangguk-angguk. Sudah bisa ditebak bagaimana reaksi Ambar saat tahu kalau ternyata bayinya adalah perempuan. Batinnya, kasihan juga bayi itu mendapatkan ibu seperti Ambar.
"Ingin beli sesuatu sebelum pulang?"
"Tidak, yah. Langsung pulang saja."
...----------------...
Sampai dirumah, Anton dan Rania dikejutkan dengan kehadiran Bumi diruang tengah. Pria itu menenteng sebuah tas besar yang sudah bisa ditebak isinya. Apalagi kalau bukan pakaian milik Ambar? Mungkin juga beberapa setelan pakaian bayi?
"Kok kamu bisa sampai duluan? Sepertinya ayah yang jalan lebih dulu, loh, tadi."
Bumi mengulum bibirnya sambil mencuri-curi pandang ke arah Rania. "Iya, yah. Pakaiannya belum dikemas, jadi lebih baik aku pulang saja dan mengemasnya sendiri."
"Padahal ayah bisa kalau hanya mengemas pakaian. Kamu tinggal kirim pesan, kasihan kalau harus bolak-balik antara rumah dan rumah sakit. 'Kan jauh."
"Aku tidak keberatan kok, yah. Ini memang kemauanku sendiri."
"Ya sudah. Ayah ingin ke kamar mandi sebentar, tiba-tiba kebelet pipis."
Lantas Anton berlari menuju kamar mandi yang terletak dilantai satu, sambil memegangi asetnya. Tanpa sadar sudut bibir Rania naik melihat tingkah aneh sang ayah.
Bumi memperhatikan senyum tipis itu sedikit lama. "Ra," Memanggil pada akhirnya.
Rania mengalihkan perhatian dari pintu, ke arah Bumi. Ia tak menjawab dengan suara, hanya menatap lama, dan menunggu kalimat selanjutnya terdengar dari Bumi.
"Aku sudah mendengar semuanya dari ibu."
Dapat disimpulkan, pasti tidak jauh-jauh dari peristiwa dirumah Ryan.
"Lalu?"
Menggeleng tak mengerti. "Lalu? Apa kamu bodoh? Kamu baru saja mendapat kekerasan, Rania!"
"Iya, aku tahu! Lalu apa urusannya denganmu? Tidak ada!"
Kalimat itu sedikit menyentil hati Bumi. Secara tidak langsung Rania menegaskan bahwa hubungan mereka sudah berakhir, tidak ada hak mencampuri urusan masing-masing.
Bumi menelan ludah yang terasa pahit. "Maaf karena aku masih khawatir dengan kondisimu. Untuk permintaan ibu, aku dan Ambar akan segera pindah dari rumah ini. Hidup dengan nyaman setelah ini, ya, Ra?"
Genggaman tangan Bumi pada tas semakin erat, menahan segala emosi yang dia rasakan. Ia mulai membawa gerak langkahnya keluar, tanpa menoleh sekali lagi ke arah Rania. Entah kenapa Bumi sangat yakin kalau Rania tidak peduli dengan ucapannya tadi.
Tapi yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya. Rania menangis, menatap punggung Bumi yang terus menjauh dan berakhir tidak terlihat lagi. Dia juga memikirkan obrolan singkat mereka.
Rania mulai mengatur napas seraya mengusap aliran likuid bening dikedua sisi. Lebih baik masuk ke kamar dan istirahat saja. Baru memutar tubuh, belum sempat melangkah, tubuh Rania membeku saat melihat sosok Anton berdiri diambang pintu ruang makan dengan ekspresi sulit dijelaskan.
Anton terlihat berbeda. Apa dia mendengar semua obrolan Bumi dan Rania?
"Ayah—," Kepalanya menggeleng lirih. Likuid bening kembali melapisi bola matanya dengan sangat cepat.
Anton masih membeku, terkejut, sekaligus tak menyangka dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Apa ... Yang Bumi katakan itu benar, Ra?"
...----------------...
Bumi bergegas ke rumah sakit setelah Mina menelpon, bilang kalau Ambar mengamuk setelah sadar. Mina tidak mengatakan apa penyebabnya. Maka dari itu, Bumi segera pergi ke rumah sakit dengan kecepatan tinggi.
Begitu membuka pintu ruang rawat, Bumi langsung disuguhkan dengan suara tangisan, tapi tidak mengamuk seperti apa yang Mina katakan. Ambar malah menangis tersedu-sedu dipelukan Mina.
"Ibu," Sapanya lebih dulu.
Mina mendongak, memperhatikan menantunya bergerak meletakkan tas besar diatas sofa. Baru setelah itu berjalan mendekati hospital bed.
"Apa yang terjadi?"
Mendengar suara sang suami, Ambar melepaskan pelukannya pada Mina dan beralih menatap Bumi.
"Anak kita perempuan, mas."
"Iya. Memang kenapa?"
"Harusnya laki-laki!" Teriaknya sambil memikul permukaan kasur. "Ini semua pasti ulah Mbak Rania! Dia pasti sudah menukar anak kita!"
"Kamu melantur? Lebih baik istirahat dulu, perhatikan kondisimu lebih dulu," Bumi berniat membantu Ambar merebahkan tubuh. Tapi perempuan itu malah memberontak dan kembali berteriak.
"Mbak Rania harus tanggung jawab! Dia harus mengembalikan anak laki-laki kita!"
"Bayi itu perempuan, Ambar! Jangan melantur!"
"Laki-laki, Mas! Laki-laki! Kita sudah memeriksanya kemarin."
"Sepertinya obat biusnya belum habis. Dia melantur begitu buruk."
Mina menoleh. "Ibu tidak tahu kalau akan seperti ini, nak. Dia bertanya dimana anaknya. Lalu ibu jawab saja yang sebenarnya, tapi tiba-tiba dia mengamuk. Tadi sampai melempar barang-barang."
Dilantai sekitar hospital bed memang ada bantal dan vas plastik serta bunga berserakan. Bumi menghela napas lirih, lantas menaruh seluruh perhatiannya kepada Ambar.
Bumi mendekat dengan gerakan pelan. Sampai disamping hospital bed menggantikan posisi Mian, Bumi menarik tubuh Ambar ke dalam dekapannya.
"Jangan berpikir terlalu berat dulu, ya? Sekarang istirahat."
"Tapi anak kita—,"
"Dia baik-baik saja dan sehat."
Atas bisikan dan pelukan hangat, Ambar mulai tenang dan mau berbaring kembali. Bumi masih setia mengusap-usap kepala Ambar sampai wanita itu tenang.
iri dengki trus km gedein....
trus"in aja km pupuk iri dengkimu trhdp rania.... yg sdh sll mngalah & brkorban demi km manusia yg g brguna.... km yg bkaln hncur ambar... oleh sikapmu yg tamak & g ngotak...
bkal nyesel km klo smpe trjadi hal buruk trhdp rania dan ankmu....
untuk bu mina.... gmn... puas km mlihat pnderitaan ank yg tak penah km kasihi.... krna ksih sayangmu sdh km habiskn untuk ank mas'mu yg sialan itu...
hidupmu itu tak tau diri... dri dlu sll jdi kang rebut yg bukan milikmu.... benalu... tukang fitnah...
yakinlah ambar.... hidupmu tak akn prnah brjumpa dgn yg namanya bahagia dan ketenangan....
smoga sja ryan kedepannya bisa berubah & sll brfikir dgn akal sehat.... tak mudah tesulut emosi... krna sbntr lgi akn mnjadi ayah..
krna dunia ibumu hnya untuk ank kesayangannya yg durjana....
yakinlah.... kelak ank ksayangannya tak akn mau mngulurkn tangannya untuk merawat org tuanya....
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍