Shanum disiksa sampai matii oleh dua kakak tirinya. Sejak ibunya meninggal, dia memang diperlakukan dengan sangat tidak baik di rumah ayahnya yang membawa mantan kekasihnya dan anak haramnya itu.
Terlahir kembali ke waktu dia masih SMA, ketika ibunya baru satu tahun meninggal. Shanum bangkit, dia sudah akan membiarkan dirinya dilukai oleh siapapun lagi. Dia bukan lagi seorang gadis yang lemah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Berbeda
Keesokan harinya, seperti biasanya Shanum memang selalu bangun pagi. Dia bahkan menyempatkan dirinya untuk bisa membuat sarapan untuk Dimas. Dia memang sudah bertekad tidak akan menjadi gadis lemah yang bisa di tindas lagi. Tapi, dia juga tetap ingin menjadi seorang gadis yang tahu terimakasih.
Meski Dimas memang mengurus dan menjaganya merupakan amanah dan memang kewajibannya sebagai adik angkat ibunya. Tapi, dia juga harus berterima kasih pada Dimas. Dari semua orang yang bisa di bilang anggota keluarga, hanya Dimas yang memperlakukan dirinya sangat baik.
"Paman suka sarapan apa bi?" tanya Shanum pada bibi Hamidah.
"Tuan biasanya hanya minum kopi pahit saja non. Jarang sarapan. Biasanya jika tidak makan malam, tuan baru akan minta dibuatkan sarapan"
"Semalam paman sudah makan malam, berarti sekarang hanya buat kopi ya. Aku akan buatkan!" kata Shanum bersemangat.
Dulu, dia bahkan membuatkan sarapan untuk semua orang yang ada di rumah. Kalau hanya membuat kopi, dia tentu saja bisa.
Bibi Hamidah juga tidak melarang, tuannya sudah mengatakan. Untuk membiarkan Shanum melakukan apapun yang gadis itu mau lakukan. Bibi Hamidah hanya melihat dari jarak dekat, mengawasi nona nya itu kalau butuh apa-apa.
Shanum mengambil cangkir yang biasa di gunakan Dimas.
Saat akan menyendok kopi, Shanum menoleh ke arah bibi Hamidah.
"Berapa sendok bi?" tanyanya.
Selera setiap orang kan berbeda. Kalau di rumah ayahnya, dia sudah hafal betul selera mereka. Karena kalau salah dia akan di hukum. Tidak di beri makan, belum lagi terkadang harus menerima tamparan dan pukulan. Mau tidak mau, dia harus benar-benar mengingat keinginan semua orang yang bahkan sama sekali tidak pernah perduli pada apa yang dia suka atau tidak.
"Dia sendok non!"
Shanum segera mengangguk, dia menakar kopi itu sambil tersenyum. Ibunya pernah berkata, segala sesuatu yang dibuat dengan cinta dan ketulusan, maka akan jadi sangat luar biasa. Jika itu makanan, maka itu akan sangat lezat. Jika itu pekerjaan, maka hasilnya akan sangat baik dan sempurna.
Bibi Hamidah tersenyum melihat apa yang dilakukan Shanum. Wanita tua itu bahkan tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Shanum di rumah lamanya. Jika bibi Hamidah tahu, melihat Shanum yang pandai melakukan segalanya sendiri seperti itu, dia pasti akan sangat mengerti, kenapa semua itu bisa.
Seorang nona, bisa melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Bahkan ketika bangun tidur, dia tidak akan merepotkan pelayan untuk merapikan tempat tidur dan merapikan kamarnya. Semua sudah sangat rapi dia urus. Dan membuat kopi seperti ini, ini hal kecil.
"Aku akan bawakan ke meja makan!" kata Shanum bersemangat.
Saat dia ke ruang makan, ternyata Dimas sudah ada disana.
"Selamat pagi paman!" sapanya dengan senyuman yang begitu manis.
Dimas melihat ke arah Shanum. Dan cangkir yang ada di tangannya.
"Selamat pagi Shanum" sahutnya.
"Aku membuatkan kopi untuk paman, cobalah!" kata Shanum.
Dimas melihat ke arah kopi yang diletakkan Shanum di hadapannya.
"Kamu tidak perlu repot-repot begini lain kali..."
"Aku sudah putuskan! aku akan membuatkan kopi untuk paman setiap hari!"
Dimas terdiam. Bukankah keinginan Shanum adalah perintah baginya.
"Baiklah, cepat sarapan. Paman akan antar kamu ke sekolah!"
Shanum mengangguk dengan cepat. Tapi setelah beberapa menit berada di meja makan itu bersama dengan Dimas. Shanum merasa pamannya itu sedikit berbeda. Kemarin pamannya itu akan bertanya banyak hal padanya. Lalu, kalau bicara sesekali juga melihat ke arah Shanum. Tapi hari ini, dia benar-benar sibuk dengan ponselnya. Bahkan tidak bertanya satu pertanyaan pun atau mengatakan Shanum harus bagaimana saat di sekolah. Tidak seperti kemarin. Apa memang seperti inilah sebenarnya sifat paman angkatnya itu.
Karena Shanum juga tidak mengerti betul, dia pun memilih untuk diam saja. Dia akan menjadi seorang keponakan yang penurut dan tidak banyak bertanya. Dia tidak akan membuat paman angkatnya ini marah. Karena dia masih sangat membutuhkan dukungan Dimas untuk membalas ke empat orang jahat itu.
"Paman, aku sudah selesai!"
Dimas meletakkan ponselnya, lalu meraih cangkir kopi itu. Dia meminumnya sampai habis. Lalu kembali meraih ponselnya.
"Kalau begitu kita berangkat!"
Shanum mengangguk patuh, dia mengikuti langkah Dimas yang berjalan ke arah pintu utama. Dimas membukakan pintu mobil untuk Shanum.
"Terimakasih paman"
Dimas hanya mengangguk. Senyuman seperti kemarin hilang. Tapi, Shanum pikir kemarin ya kemarin, sekarang ya sekarang, sudahlah pikirnya tidak mau ambil pusing.
Tapi setelah beberapa menit meninggalkan rumah. Suasana di dalam mobil benar-benar semakin hening saja.
Tak ada pertanyaan, tak ada kontak mata, Dimas benar-benar fokus mengemudi. Rasanya sangat canggung.
Sampai mereka tiba di depan gerbang sekolah.
"Kalau sudah pulang sekolah, telepon aku. Aku akan menjemputmu!"
Shanum segera menganggukkan kepalanya dengan cepat.
"Baik paman! paman hati-hati ya!" kata Shanum yang langsung keluar begitu saja dari dalam mobil dan berlari menuju ke gerbang sekolah.
Dimas memperhatikan itu.
"Kenapa dia..." Dimas menjeda ucapannya. Dia malah jadi bingung sendiri, kenapa Shanum terkesan buru-buru sekali ingin meninggalkannya.
Padahal Shanum pikir, paman angkatnya itu sangat terburu-buru. Makanya tidak mengajak bicara dirinya di dalam mobil. Makanya Shanum juga pikir, dia harus buru-buru keluar dari dalam mobil dan pergi. Tidak mau menyita waktu pamannya.
Dimas menunduk sebentar, sebelum kembali melihat Shanum yang sudah hampir masuk ke dalam pintu gerbang. Tatapannya sulit di jelaskan, tapi dia terlihat sedikit menyesal, karena tidak mengajak Shanum bicara sejak tadi.
Setelah mobil Dimas pergi. Beberapa orang yang memang sudah menunggu kedatangan Shanum. Terlihat berjalan di belakang gadis itu. Beberapa orang berpikir, sikap mengintimidasii seperti itu akan membuat Shanum merasa takut. Sayangnya dia bahkan sudah pernah matii sekali. Hal seperti ini sama sekali tidak membuatnya khawatir.
Alih-alih merasa diikuti dan merasa takut. Shanum malah merasa seperti sedang berjalan, dengan banyak bodyguard gratisan di belakangnya. Dia benar-benar berjalan dengan sangat santai. Tidak seperti seorang gadis yang sedang merasa diikuti maka dia akan berjalan dengan cepat atau bahkan berlari menghindari orang-orang itu. Shanum malah berjalan dengan santainya, seolah dia malah sedang di jaga orang-orang di belakangnya itu.
'Mau menakutiku dengan cara seperti ini? kalian belum mampu!' batinnya terkekeh.
Cara mereka ini, sungguh cara anak-anak polos. Sementara Shanum sudah pernah melalui usia 23 tahun, dan pernah mengalami hal yang lebih menakutkan daripada perasaan di incar dan intimidasii seperti itu. Tentu saja pemikirannya berbeda.
***
Bersambung...