NovelToon NovelToon
Kelahiran Kedua

Kelahiran Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Ketos / Dosen / Spiritual / Reinkarnasi / Iblis
Popularitas:306
Nilai: 5
Nama Author: 62maulana

Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HARI PENGULANGAN

​Aku tidak tidur. Tubuhku mungkin terbaring di ranjang yang dingin dan steril itu, tetapi pikiranku berada ribuan kilometer jauhnya, atau mungkin ribuan tahun di masa lalu. Aku terjebak dalam satu putaran tanpa akhir: tanganku di panel kunci, klik yang memuaskan, pintu yang mendesis terbuka, lalu ledakan plasma putih yang melenyapkan segalanya. Aku melihat wajah Adhitama menguap. Aku melihat Sari hancur menjadi atom. Dan aku melihat diriku sendiri, si sombong, si bodoh, si pembunuh.

​Setiap kali aku memejamkan mata, aku melihatnya. "Kau adalah kekecewaan terbesar dari semuanya." Kata-kata Pak Tirtayasa terpatri di benakku, lebih menyakitkan daripada bilah pedang mana pun yang pernah menembusku di kehidupanku yang dulu.

​Dia benar. Dia telah memberiku kesempatan untuk menjadi pisau bedah, dan aku malah memilih menjadi bom kiamat. Karena sombong. Karena aku tidak bisa menahan diri. Karena jauh di dalam jiwaku, sang Dewa Perang ingin melepaskan diri. Dia lelah bersembunyi. Dan aku, Bima, telah membiarkannya.

​Vow-ku dari semalam mengeras di dalam diriku. Dari sekadar janji yang emosional, kini ia menjadi sebuah hukum besi. Kekuatan itu—kekuatan entropi, kekuatan untuk menghapus—bukan lagi bagian dariku. Itu adalah racun. Sebuah parasit. Aku tidak akan pernah menggunakannya lagi. Aku lebih baik mati sebagai manusia daripada membunuh sebagai dewa.

​Pukul 05:30, alarm berbunyi. Terdengar seperti lonceng kematian.

​Aku bangkit dengan gerakan mekanis. Tidak ada keraguan, tidak ada penundaan. Hanya kekosongan yang dingin. Aku mengenakan seragam latihan. Aku mencuci muka. Aku menatap cermin, ke mata anak laki-laki yang menatap balik. Mata yang lelah.

​Pukul 05:55, aku melangkah keluar. Dua pintu lainnya terbuka bersamaku.

​Adhitama terlihat mengerikan. Kantung mata hitam di bawah matanya menunjukkan dia juga tidak tidur. Tapi kesombongannya yang biasa telah hilang, digantikan oleh amarah yang tumpul dan tertahan. Dia tidak marah padaku, atau pada Pak Tirtayasa. Dia marah pada dirinya sendiri karena telah ditipu.

​Sari tampak paling rapuh. Wajahnya pucat, dan tabletnya tergenggam di tangannya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia tidak memindai data. Dia hanya memegangnya seperti perisai. Dia, yang hidup di dunia kepastian logis, telah dihadapkan pada skenario di mana logikanya sendiri telah mengkhianatinya.

​Kami tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tidak ada 'selamat pagi'. Tidak ada anggukan. Kami adalah tiga hantu yang berjalan dalam diam menuju tempat eksekusi kami.

​Kami tiba di kantin. Tempat itu sepi, kecuali satu orang. Rina.

​Gadis yang kami selamatkan.

​Dia duduk di meja sudut, kakinya yang digips masih terangkat, dan dia sedang tertawa kecil melihat sesuatu di ponselnya. Saat dia melihat kami masuk, wajahnya berseri-seri.

​"Selamat pagi!" sapanya riang.

​Keheningan kami bertiga adalah jawaban yang memekakkan telinga.

​Keceriaan Rina goyah. "Oh... uhm. Aku... aku cuma mau bilang terima kasih lagi. Aku tidur nyenyak sekali semalam. Ini pertama kalinya aku merasa aman dalam berhari-hari."

​Adhitama hanya menggeram pelan dan mengambil segelas air. Sari berjalan melewatinya seolah dia tidak ada. Aku berhenti sejenak, menatapnya. Rasa terima kasihnya terasa seperti garam di atas luka. Kami menyelamatkannya, ya. Tapi kami baru saja membantai diri kami sendiri dalam simulasi. Apa gunanya menyelamatkan satu orang jika kami begitu ceroboh hingga tidak bisa menyelamatkan diri kami sendiri?

​"Senang mendengarnya," kataku, suaraku datar dan tanpa emosi. Aku mengambil sepotong roti dan langsung pergi.

​Kami bertiga duduk di meja yang terpisah. Sendirian, bersama-sama. Kegagalan adalah sebuah pulau yang mengisolasi.

​Pukul 06:00 pagi, kami berdiri di arena.

​Pak Tirtayasa sudah ada di sana. Wajahnya seperti topeng batu. Tidak ada sapaan. Tidak ada kata-kata penyemangat.

​"Simulasi Level 2. Skenario Kantor Cakra," katanya, suaranya memantul di aula kosong. "Kalian tahu aturannya. Kalian tahu jebakannya. Jangan gagal lagi."

​Dia menekan tombol.

​Dunia di sekitar kami larut. Hujan virtual kembali turun. Gang bau di belakang gedung pencakar langit yang menjulang. Ini neraka. Neraka yang berulang.

​"Timer dimulai," kata Pak Tirtayasa di earpiece kami. Kali ini tidak ada hitungan mundur 20 menit. Seluruh misi adalah satu timer besar.

​"Sari," kataku, suaraku kaku. "Pintu."

​"Sama," bisiknya, suaranya gemetar. "Tiga lapis magnet. Alarm senyap."

​Adhitama melangkah maju. Kali ini tidak ada keraguan. Dia meletakkan tangannya, memfokuskan diri. THUNK. Pintu terbuka. Dia melakukannya lebih cepat kali ini. Lebih bersih.

​Kami masuk. Kamera. Pola yang sama.

​"Sekarang... sekarang... sekarang!" perintah Sari.

​Kami melesat melewatinya. Tangga darurat. Kami mulai mendaki.

​Lantai satu. Dua. Tiga.

​Langkah kaki kami berat, seirama dengan detak jantung kami yang penuh kekhawatiran.

​Lantai sembilan. Sepuluh.

​"Berhenti!" kataku. "Patroli turun."

​Kami menyelinap ke koridor Lantai 10. Dua penjaga virtual lewat, tawa mereka terdengar seperti ejekan. Mereka menghilang. Kami kembali ke tangga.

​Lantai tiga belas. Empat belas.

​"Sari," kataku sambil terus mendaki. "Pelajaran dari kemarin. Apa yang dikatakan si Manajer IT? Kata per kata."

​Sari memejamkan mata sambil terus berjalan. "Dia bilang... 'Aku baru saja memulai penghapusan data server total.' Dan... 'Aku satu-satunya yang punya kuncinya.'"

​"Bukan kunci pintu," kata Adhitama dari belakang, suaranya rendah. "Kunci enkripsi. Data. Benda itu ada di tubuhnya."

​"Tepat," kataku. "Itu tujuan kita. Bukan pintunya. Dia adalah tujuannya."

​Lantai enam belas.

​"Patroli naik!" bisik Sari. "Tiga puluh detik!"

​"Posisi," perintahku.

​Kami berhenti. Kali ini, kami menunggu mereka. Dua enhancer yang sama berlari menaiki tangga. Saat mereka melihat kami, mereka menyerang.

​Si pria besar menyerang Adhitama. Kali ini, Adhitama tidak hanya menangkap tinjunya. Dia menghindarinya, menggunakan momentum si penjaga untuk membantingnya ke dinding beton. GEDEBUK! Suara yang memuakkan. Si penjaga langsung pingsan.

​Penjaga kedua yang lebih ramping mengincarku, tangannya langsung meraih pistol.

​Instingku berteriak. Hapus. Hapus pistolnya. Hapus dia.

​Aku mengepalkan tanganku erat-erat, menahan gelombang kekuatan entropi yang ingin keluar. Tidak.

​Aku tidak akan menggunakan kekuatan itu.

​Sebagai gantinya, aku melesat ke depan, menggunakan kecepatan manusiawi murniku yang terlatih. Aku terlambat sepersekian detik. Si penjaga berhasil menarik pistolnya.

​BLAM!

​Suara tembakan meledak di sumur tangga. Rasa sakit yang tajam dan membakar merobek bahu kiriku. Peluru virtual. Rasanya sakit sekali. Aku terhuyung, tetapi aku sudah berada di dalam jangkauannya. Aku menghantamkan sikuku ke rahangnya, lalu menebas lehernya. Dia jatuh.

​"Bima!" teriak Adhitama, melihat seragamku yang "berdarah".

​"Aku baik-baik saja!" desisku, menahan rasa sakit. "Itu tidak nyata. Ayo terus bergerak!"

​Aku mencengkeram bahuku. Sialan. Karena menahan diri, aku hampir terbunuh. Sebuah pertukaran yang bodoh. Tapi aku masih hidup. Dan yang lebih penting, aku tidak menggunakan kekuatan itu.

​Sari menatapku dengan mata terbelalak, campuran antara ngeri dan... sesuatu yang lain. Dia telah melihat keragu-raguanku. Dia melihat aku dengan sengaja memilih untuk terluka daripada menggunakan kekuatanku.

​Kami tiba di Lantai 20. Pintu baja yang sama. Panel biometrik yang sama.

​"Mereka tahu kita di sini," bisik Sari, suaranya lebih stabil sekarang. "Lima Anomali. Di dalam. Menunggu."

​Adhitama menatapku. "Rencana yang sama? Kau yakin bahumu..."

​"Aku baik-baik saja," potongku. "Hancurkan engselnya. Buat mereka sibuk."

​Adhitama mengangguk. Dia meletakkan tangannya di dinding. BOOM! KREEEAK!

​Pintu itu jatuh ke dalam. Tembakan dan api meletus.

​"Pergi!" teriakku.

​Adhitama meraung dan menyerang dua enhancer di sebelah kanan. Pertarungan itu brutal dan cepat. Dia tidak lagi menahan diri, melumpuhkan mereka dalam hitungan detik.

​Aku dan Sari bergerak ke kiri.

​"Api!" teriak Sari.

​Semburan api meleset dari kami. Si pirokinetik.

​Kali ini, aku tidak melompat keluar. Aku menatap Sari. "Aku butuh pengalih perhatian. Tepat di sana," aku menunjuk ke sebuah panel listrik di dinding di belakang si pirokinetik. "Bisakah kau membuatnya meledak?"

​"Jaringan ini... sulit... tapi... ya! Aku bisa!" Sari memfokuskan diri.

​Panel di belakang si pirokinetik meledak dengan percikan api dan suara BZZZT! yang keras. Si pirokinetik dan si penembak sama-sama tersentak kaget, berbalik ke arah suara itu.

​Kesalahan fatal.

​Aku sudah bergerak. Aku melumpuhkan si penembak dari belakang. Tepat saat si pirokinetik berbalik ke arahku, sebuah pisau kembali menancap di bahunya. Kali ini, lemparan Sari lebih cepat, lebih percaya diri. Dia tidak menunggu ancaman. Dia menciptakan peluang.

​Empat lumpuh.

​Kami bertiga bertemu di tengah koridor, terengah-engah. Bahuku berdenyut-denyut sakit.

​"Status," kataku.

​"Kau berdarah," kata Adhitama, menunjuk bahuku.

​"Itu tidak penting. Di ujung koridor."

​Manajer IT yang sama. Berdiri. Bertepuk tangan.

​"Luar biasa," katanya, nadanya sama persis. "Benar-benar mengesankan. Tapi... kalian terlambat."

​Dia mengangkat tombolnya. "Aku baru saja memulai penghapusan data..."

​"Sekarang!" teriakku.

​Adhitama tidak menunggu. Dia melesat seperti peluru. Sebelum manajer IT itu bisa menyelesaikan kalimatnya, Adhitama sudah menabraknya seperti banteng, membantingnya ke dinding. GEDEBUK!

​"Ugh!" Manajer IT itu tersentak.

​"Bima! Sari!" teriak Adhitama, menahan pria itu dengan satu lengan di lehernya. "Lakukan!"

​Aku dan Sari berlari ke depan. Pintu ruang server masih tertutup. Lampu merah berkedip. Tapi kali ini, kami mengabaikannya. Kami tahu itu honeypot.

​Aku langsung menggeledah saku jas manajer IT itu. Sebuah dompet, ponsel, dan... ini dia. Sebuah hard drive eksternal seukuran ibu jari.

​"Dapat!" teriakku.

​Sari sudah siap dengan tabletnya. Aku melemparkan drive itu padanya. Dia menangkapnya dan langsung menyambungkannya.

​"Membaca data... dekripsi... Ya Tuhan... semuanya ada di sini! Daftar Anomali, lokasi, jadwal... kita berhasil!" seru Sari.

​"Bagus!" raung Adhitama, mengangkat manajer IT itu dari lantai. "Misi selesai, Pak Tirtayasa! Kami berhasil!"

​Simulasi tidak berhenti.

​Manajer IT yang ditahan Adhitama mulai tertawa. Tawa yang dingin dan mengejek.

​"Kalian berhasil?" katanya. "Bodoh. Kalian pikir aku satu-satunya salinan?"

​Di ujung koridor, di tempat kami masuk tadi... lift berbunyi. DING.

​Kami bertiga membeku.

​Pintu lift terbuka. Dua sosok melangkah keluar. Mereka tidak mengenakan seragam taktis. Mereka mengenakan setelan hitam yang rapi. Seorang pria dan seorang wanita. Mereka tampak tenang. Dan tanda energi yang memancar dari mereka... membuat bulu kudukku berdiri. Ini bukan enhancer. Ini bukan pirokinetik. Ini adalah sesuatu yang lain.

​"Bos," kata si pria, "Anda baik-baik saja?"

​Suara Pak Tirtayasa terdengar di earpiece kami, dingin dan tanpa ampun. "Selamat, Tim Alpha. Kalian telah mengamankan asetnya. Tapi kalian terlalu lama. Kalian memicu alarm senyap di tangga, dan sekarang tim reaksi cepat elit Cakra telah tiba."

​"Kalian tidak lagi menyusup," lanjutnya. "Kalian sekarang harus... melarikan diri."

​"Simulasi tidak akan berakhir sampai kalian kembali ke titik ekstraksi di gang belakang. Atau sampai kalian semua mati."

​Pria dan wanita berjas itu mulai berjalan pelan ke arah kami.

​"Sial," umpat Adhitama, melepaskan manajer IT itu. "Jadi, apa sekarang?"

​Aku menatap dua ancaman baru itu. Aku menatap Adhitama dan Sari. Lalu aku mencengkeram bahuku yang sakit. Aku telah bersumpah untuk tidak menggunakan kekuatanku. Dan sekarang, kami menghadapi musuh terkuat kami.

​Pilihan yang kubuat di tangga tadi... baru saja kembali untuk menghantuiku.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!