Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI BAWAH BAYANGAN GRAVITASI
Gravitasi adalah musuh yang tidak terlihat, tetapi malam ini, ia memiliki wajah. Dan wajah itu sedang menatap kami dari atas tebing yang hancur, tersenyum dengan kejam di bawah sinar bulan yang pucat.
Kami meluncur turun di lereng bukit yang curam dan berlumpur. Itu bukan pelarian yang anggun. Itu adalah kejatuhan yang terkendali. Lumpur dingin membasahi pakaian kami, ranting-ranting liar menggores wajah dan tangan.
"Pegang Rio!" teriakku pada Adhitama yang berada beberapa meter di depanku. Dia meluncur dengan punggungnya, memeluk Rio erat-erat di dadanya, menjadikan tubuh besarnya sebagai perisai hidup terhadap bebatuan dan akar pohon. Dr. Aris terguling di sampingku, mengerang ketakutan setiap kali dia tergelincir.
Di atas kami, Kadek tidak perlu meluncur. Dia melangkah keluar dari lubang di dinding vila, dan dia hanya... turun. Dia melayang di udara, jubah jasnya berkibar pelan, menentang hukum alam yang sedang menyiksa kami.
Dia mengangkat tangannya.
"Awas!"
Aku merasakan tekanan udara berubah sebelum aku mendengarnya. Bukan serangan langsung padaku. Dia menyerang tebing itu sendiri.
KRAK!
Sebongkah beton besar dari sisa dinding penahan tanah di atas terlepas. Kadek menangkapnya dengan medan gravitasinya, lalu melemparkannya ke bawah seperti bola kasti. Bongkahan seukuran mobil itu melesat ke arah kami dengan kecepatan mengerikan.
"Adhitama! Pukul!" teriakku.
Adhitama, yang masih meluncur, melihat bayangan besar itu datang. Dia tidak bisa menghindar tanpa melepaskan Rio. Jadi dia melakukan satu-satunya hal yang dia tahu. Dia membebaskan satu tangannya, menunggu hingga detik terakhir, dan meninju udara di depannya.
Bukan pukulan fisik. Dia mengirimkan airblast kinetik—sebuah peluru udara padat.
DUAR!
Bongkahan beton itu meledak di udara, lima meter di atas kepala kami. Hujan kerikil dan debu menghujani kami, tapi batu mematikan itu telah hancur menjadi serpihan yang tidak berbahaya.
"Terus bergerak!" raungku, menarik kerah baju Dr. Aris yang membeku karena syok. "Jangan berhenti!"
Kami mencapai dasar lembah. Suara gemuruh air sungai yang deras menyambut kami. Sungai itu—mungkin salah satu anak sungai Ciliwung—hitam pekat dan meluap karena hujan semalam. Arusnya deras, berbatu tajam, dan mematikan.
Kami terjebak. Di belakang kami tebing curam dengan monster terbang. Di depan kami sungai yang mengamuk.
"Ke mana?!" teriak Adhitama, menurunkan Rio yang gemetaran. Wajah Adhitama berlumuran lumpur, tapi matanya liar dan waspada.
"Sari!" teriakku ke earpiece. "Jalur keluar! Sekarang!"
Suara Sari terdengar putus-putus, penuh statis. Rania pasti sedang mengganggu frekuensi mental dan elektronik sekaligus. "B... ma... sinyal... terganggu... Utara... jembatan tua... lima ratus meter..."
"Utara!" teriakku, menunjuk ke arah hilir sungai. "Lari menyusuri tepian!"
Kami mulai berlari. Tanah di tepian sungai itu licin dan berbatu. Dr. Aris tersandung berkali-kali. Aku harus menyeretnya. Rio, anehnya, berlari dengan cepat, didorong oleh adrenalin murni.
Tapi Kadek lebih cepat. Dia melayang di atas kami, mengikuti alur sungai seperti elang yang mengincar ikan.
"Kalian membuatku bosan," suaranya menggema di lembah sempit itu, diperkuat oleh akustik alami. "Mari kita akhiri ini."
Dia merentangkan kedua tangannya.
Tiba-tiba, aku merasa berat badanku bertambah dua kali lipat. Kakiku tenggelam ke dalam lumpur sedalam mata kaki. Dr. Aris jatuh tertelungkup, tidak mampu mengangkat kepalanya. Rio menjerit, jatuh berlutut.
Kadek tidak menyerang satu titik. Dia meningkatkan gravitasi di seluruh area tepian sungai ini. Kami seperti lalat yang terperangkap di lem.
"Bangun!" teriak Adhitama, berjuang melawan tekanan itu. Otot-otot kakinya menonjol, urat-urat di lehernya menegang. Dia berhasil berdiri, selangkah demi selangkah, melawan beban tak kasat mata itu. Kekuatan fisiknya yang luar biasa adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap tegak.
Tapi dia tidak bisa membawa kami semua.
Kadek turun perlahan, mendarat di atas sebuah batu besar di tengah sungai, sepuluh meter dari kami. Dia tidak terpengaruh oleh lumpur atau air. Dia berdiri kering dan rapi, kontras dengan kami yang kotor dan menyedihkan.
Di belakangnya, Rania muncul dari kegelapan, berjalan menuruni jalan setapak yang landai dengan tenang. Dia tidak perlu terbang. Dia hanya perlu ada di sana untuk mengunci pikiran kami.
"Serahkan datanya," kata Kadek santai. "Dan mungkin... mungkin aku akan membiarkan anak itu hidup."
Dr. Aris menangis, wajahnya menempel di lumpur. "Ambil... ambil saja..."
Adhitama menggeram, bersiap untuk menyerang, tapi tekanan gravitasi membuatnya lambat. Jika dia mencoba memukul Kadek sekarang, dia akan bergerak seperti siput. Kadek akan menghindarinya sambil tertawa.
Aku berlutut di lumpur, napasku berat. Aku menatap Kadek, lalu ke sungai hitam di belakangnya. Lalu ke lumpur di bawah kakiku.
Aku bukan hammer. Aku scalpel.
Pak Tirtayasa benar. Aku tidak bisa mengalahkan Kadek dalam adu kekuatan. Tapi aku bisa mengubah medan pertempurannya.
"Adhitama," bisikku, berharap earpiece masih berfungsi. "Saat aku beri aba-aba... lompat ke sungai."
"Apa?!" Adhitama melirikku gila. "Sungai itu arusnya—"
"LAKUKAN SAJA! Bawa Rio dan Dokter!"
Aku menatap Kadek. "Kau menginginkan datanya? Ambil sendiri."
Kadek menyipitkan mata. "Pilihan yang buruk."
Dia mengangkat satu jari, bersiap untuk meremukkan tulang-tulang kami.
Aku meletakkan kedua telapak tanganku jauh ke dalam lumpur basah di tepian sungai.
Aku tidak menyerang Kadek. Aku menyerang tanah.
Aku memanggil kekuatanku. Bukan untuk menghapus. Untuk memisahkan.
Tanah di tepian sungai ini adalah campuran tanah liat dan air yang tidak stabil. Aku memerintahkan ikatan kohesif antara partikel tanah liat itu untuk putus. Total.
Dalam sekejap, tanah padat di bawah kaki kami—dan di bawah batu tempat Kadek berdiri—berubah sifatnya. Itu bukan lagi tanah. Itu adalah cairan. Fenomena likuefaksi instan.
"SEKARANG!" teriakku.
Tanah di bawah kami runtuh, meluncur ke dalam sungai seperti longsoran bubur cokelat raksasa.
Kadek, yang berdiri di atas batu tumpuan, tiba-tiba kehilangan pijakannya saat batu itu sendiri tenggelam ke dalam lumpur cair. Konsentrasinya pecah. Tekanan gravitasi pada kami lenyap seketika.
Adhitama tidak menyia-nyiakan detik itu. Dia menyambar Rio di satu lengan dan Dr. Aris di lengan lainnya, lalu melompat sekuat tenaga ke dalam arus sungai yang deras.
Aku menyusul, meluncur bersama longsoran lumpur yang kubuat, masuk ke dalam air hitam yang dingin menusuk tulang.
BYUR!
Arus sungai langsung menyambar kami, memutar tubuhku dengan kasar. Aku terombang-ambing, menelan air kotor. Tapi setidaknya, kami bergerak. Dan di dalam air yang bergolak, di tengah lumpur dan puing, Kadek tidak bisa melihat kami.
"Pegang satu sama lain!" teriak Adhitama di suatu tempat di depanku.
Aku berjuang mencapai permukaan, terbatuk-batuk. Aku melihat kepala Adhitama timbul tenggelam, berusaha menjaga kepala Rio dan Dr. Aris tetap di atas air.
Kami hanyut sekitar dua ratus meter ke hilir dalam hitungan detik. Arus membawa kami menjauh dari area likuefaksi, menjauh dari Kadek yang sedang mengumpat dan terbang kembali ke udara.
Tapi kami belum aman.
Tiba-tiba, rasa sakit yang tajam menusuk kepalaku. Bukan sakit fisik. Sakit di dalam otak. Seperti jarum es yang ditusukkan langsung ke lobus frontalku.
Sreekkk...
Suara statis di pikiranku. Lalu, suara wanita. Jernih. Dingin.
"Kalian pikir air bisa menyembunyikan pikiran kalian?"
Rania.
Dia tidak perlu melihat kami. Dia bisa melacak ketakutan kami. Ketakutan Dr. Aris adalah suar yang menyala terang di dalam air gelap ini.
Tubuhku kaku. Otot-ototku menolak bergerak. Aku mulai tenggelam. Di depan, aku melihat Adhitama juga mulai melambat, wajahnya meringis kesakitan, cengkeramannya pada Rio melemah.
Rania sedang mematikan sistem motorik kami dari jarak jauh. Dia akan menenggelamkan kami.
Aku tenggelam ke dalam kegelapan air. Paru-paruku mulai terbakar.
Tidak.
Aku tidak akan mati di selokan ini.
Aku memejamkan mata di dalam air. Aku berhenti melawan arus. Aku berhenti mencoba berenang.
Aku berbalik ke dalam. Ke dalam pikiranku sendiri.
Rania ada di sana. Aku bisa merasakannya. Seperti parasit asing yang merayap di neuron-neuronku, mencari tombol 'matikan'.
Pak Tirtayasa menyuruh Sari membangun benteng. Tapi aku tidak punya waktu untuk membangun benteng. Dan jujur saja, aku bukan pembangun.
Aku adalah Dewa Perang.
Jika dia ingin masuk ke dalam kepalaku... silakan.
Aku membuka pintu memori jiwaku. Bukan memori Bima si anak SMA. Memori dia. Memori ribuan tahun pembantaian. Memori jeritan jutaan jiwa yang musnah di medan perang antar galaksi. Memori kesunyian absolut dari entropi yang memakan bintang. Memori rasa sakit, amarah, dan kehampaan yang begitu tua dan begitu berat hingga bisa menghancurkan kewarasan manusia biasa.
Aku tidak memblokir Rania. Aku menariknya masuk.
Kau mau melihat? LIHAT INI! teriakku dalam diam.
Aku melemparkan seluruh beban memori trauma ribuan tahun itu langsung ke arah kehadiran asing Rania.
Di tepian sungai, jauh di belakang kami, aku mendengar jeritan.
Bukan jeritan telepati. Jeritan fisik. Nyata. Melengking.
Rania menjerit.
Tekanan di kepalaku lenyap seketika. Rania telah menyentuh api neraka, dan dia terbakar. Koneksinya putus dengan kekerasan yang membuat kepalaku berdenyut, tapi aku bebas.
Aku menendang kuat-kuat, memecah permukaan air, menghirup udara rakus.
Di depan, Adhitama juga tersentak sadar, terbatuk-batuk. "Apa... apa yang..."
"Berenang!" teriakku. "Ke tepi! Di sana!"
Aku menunjuk ke sebuah mulut terowongan drainase beton besar di sisi sungai, setengah tertutup air. Itu tempat persembunyian yang sempurna.
Kami berjuang melawan arus, berenang miring menuju terowongan itu. Adhitama menyeret Dr. Aris dan Rio ke beton kering di dalam mulut terowongan. Aku merangkak naik di belakang mereka, jatuh terkapar di atas beton yang berlendir dan bau.
Kami berada di dalam. Gelap, bau, dan lembap. Tapi terlindung dari langit. Terlindung dari Kadek.
"Rania..." Adhitama terengah-engah, memuntahkan air sungai. "Dia... dia berhenti. Kenapa?"
Aku memegangi kepalaku yang masih sakit. "Dia mencoba membaca buku yang terlalu berat," gumamku. "Dan punggungnya patah."
Kami diam sejenak, hanya suara napas kami yang berat dan gema tetesan air di dalam terowongan raksasa itu.
Dr. Aris menggigil hebat, memeluk Rio yang menangis tanpa suara. "Mereka... monster..."
"Kami juga," kata Adhitama pelan, menatap ke arah mulut terowongan yang gelap. "Hanya saja kami monster yang ada di pihak Bapak."
"Sari," panggilku, mengetuk earpiece yang basah kuyup. Aku berdoa benda ini tahan air seperti klaim Sari. "Sari, kau di sana?"
Hening sejenak. Lalu, suara statis.
"... Bima? Astaga... Bima! Kalian masih hidup!" Suara Sari terdengar hampir menangis. "Aku kehilangan sinyal bio kalian saat di air... Aku pikir Rania..."
"Rania lumpuh sementara," kataku. "Kami di dalam saluran drainase utama, sekitar tiga ratus meter di hilir dari titik likuefaksi. Kami butuh ekstraksi. Van tidak bisa ke sini."
"Oke, oke," Sari menarik napas, kembali ke mode profesional meskipun suaranya bergetar. "Saluran drainase itu... tunggu, aku cek peta kota... ya, itu mengarah ke sistem bawah tanah Kebayoran. Ikuti saluran itu sejauh satu kilometer ke arah timur. Itu akan membawa kalian keluar di dekat sebuah waduk penampungan air. Jauh dari jalan raya. Jauh dari Cakra."
"Satu kilometer berjalan kaki di selokan," Adhitama mengerang. "Hebat. Parfum baruku."
"Kadek masih di udara," Sari memperingatkan. "Dia sedang mencari kalian. Dia menghancurkan tepian sungai dengan marah. Jangan keluar ke tempat terbuka. Tetap di bawah tanah."
"Mengerti," kataku.
Aku berdiri, kakiku goyah tapi stabil. Aku mengulurkan tangan pada Dr. Aris. "Ayo, Dok. Sedikit lagi. Rio, kau anak pemberani. Kau bisa jalan?"
Rio mengangguk, meskipun bibirnya biru karena kedinginan. Mainan mobil-mobilannya sudah hilang, hanyut di sungai, tapi dia masih memegang tangan ayahnya erat-erat.
"Adhitama, kau di depan," perintahku. "Gunakan 'cahaya'mu."
Adhitama mengangguk. Dia tidak punya senter, tapi dia bisa menciptakan percikan kinetik kecil dengan menjentikkan jarinya—cukup untuk menerangi jalan beberapa meter ke depan.
Kami mulai berjalan menembus kegelapan terowongan drainase itu. Bau busuk, tikus yang berlarian, dan air kotor setinggi mata kaki menjadi teman perjalanan kami. Kami adalah rombongan yang menyedihkan: seorang dewa perang yang lelah, seorang petarung yang kotor, seorang ilmuwan yang patah semangat, dan seorang anak kecil dengan kekuatan yang belum matang.
Tapi di saku Adhitama, hard drive berisi rahasia Cakra masih aman. Dan di dalam kepalaku, aku tahu sesuatu yang baru.
Kami bisa berdarah. Kami bisa lari. Tapi kami juga bisa melawan balik. Rania si Telepat yang tak terkalahkan itu baru saja belajar rasa takut. Dan itu adalah kemenangan.
"Hei, Bima," bisik Adhitama saat kami berjalan dalam kegelapan.
"Ya?"
"Apa yang kau lakukan pada Rania? Aku mendengarnya menjerit. Jeritan itu... itu bukan jeritan sakit fisik. Itu jeritan... teror."
"Aku hanya menunjukkan padanya sedikit sejarah," jawabku singkat.
Adhitama terdiam sejenak. "Ingatkan aku untuk tidak pernah mengintip isi kepalamu."
"Kesepakatan diterima."
Kami terus berjalan, langkah kaki kami bergema menuju kebebasan, sementara di atas sana, monster Cakra meraung frustrasi pada sungai yang bisu.