Tujuh dunia kuno berdiri di atas fondasi Dao, dipenuhi para kultivator, dewa, iblis, dan hewan spiritual yang saling berebut supremasi. Di puncak kekacauan itu, sebuah takdir lahir—pewaris Dao Es Surgawi yang diyakini mampu menaklukkan malapetaka dan bahkan membekukan surga.
Xuanyan, pemuda yang tampak tenang, menyimpan garis darah misterius yang membuat seluruh klan agung dan sekte tertua menaruh mata padanya. Ia adalah pewaris sejati Dao Es Surgawi—sebuah kekuatan yang tidak hanya membekukan segala sesuatu, tetapi juga mampu menundukkan malapetaka surgawi yang bahkan ditakuti para dewa.
Namun, jalan menuju puncak bukan sekadar kekuatan. Tujuh dunia menyimpan rahasia, persekongkolan, dan perang tak berkesudahan. Untuk menjadi Penguasa 7 Dunia, Xuanyan harus menguasai Dao-nya, menantang para penguasa lama, dan menghadapi malapetaka yang bisa menghancurkan keberadaan seluruh dunia.
Apakah Dao Es Surgawi benar-benar anugerah… atau justru kutukan yang menuntunnya pada kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Hari itu, langit cerah, tapi seluruh Sekte Azure Cloud terasa berat. Di lapangan utama, ribuan murid sudah berkerumun, menunggu pertarungan yang paling dinanti. Bagi sebagian besar, hari ini hanyalah pertunjukan eksekusi seorang “sampah” bernama Xuanyan.
Bisik-bisik terdengar di mana-mana.
“Dia benar-benar gila! Tidak bisa berkultivasi, tapi berani menantang Jianyu dalam duel hidup dan mati.”
“Haha, mungkin dia ingin mati dengan terhormat. Kalau aku jadi dia, lebih baik bunuh diri sekarang daripada mempermalukan diri sendiri.”
“Tidak ada bedanya, sebentar lagi Jianyu akan menghancurkannya.”
Sorakan dan cemoohan itu semakin keras seiring dengan semakin dekatnya waktu pertarungan.
Di tribun utama, duduklah Patriark Tianyao bersama istrinya, Xueya, wajah keduanya dipenuhi kegelisahan. Xueya menggenggam erat ujung pakaiannya, matanya penuh kecemasan.
“Xuan’er… kenapa kau harus keras kepala seperti ini?” gumamnya, hampir tak terdengar.
Di sebelahnya, Yueran duduk dengan wajah tenang, meski matanya serius menatap arena. Ia lalu menoleh pada Xueya, dan menggenggam tangannya.
“Bibi, jangan terlalu khawatir. Xuanyan… dia bukan lagi Xuanyan yang dulu. Percayalah padanya. Dia pasti punya rencana, dan… dia akan memberi kejutan pada semua orang.”
Xueya menoleh padanya, air matanya hampir jatuh. “Benarkah itu? Kau yakin?”
Yueran tersenyum lembut, namun penuh keyakinan. “Percaya saja. Aku yakin padanya.”
Tianyao yang mendengar itu hanya menghela napas, senyum tipis terbentuk di bibirnya. Ia tahu, anaknya bukan lagi bocah yang selalu kabur dari kenyataan. Ada sesuatu yang berbeda… dan ia memilih untuk mempercayai jalan yang dipilih anaknya.
Di sisi lain arena, tiga Elder sekte juga hadir. Elder Han Qing menatap kosong ke arah lapangan, wajahnya kusut.
“Xuanyan… muridku. Kau terlalu ceroboh mengambil keputusan ini. Aku hanya bisa berharap kau baik-baik saja,” gumamnya lirih.
Namun tidak semua wajah penuh kekhawatiran. Yanshan, salah satu tetua sekte, justru terlihat penuh semangat. Ia berdiri tegak, kedua tangannya di belakang punggung, senyum tipis penuh keserakahan muncul di bibirnya.
“Akhirnya… waktunya tiba. Setelah bocah sampah itu mati, Tianyao akan jatuh… dan aku akan menjadi Patriark Azure Cloud berikutnya,” pikirnya, matanya berkilat penuh ambisi.
Di sampingnya, Jianyu berdiri dengan wajah arogan, senyum congkak terpasang. Ia menunggu namanya dipanggil, seolah kemenangan sudah ada di genggaman.
Saat itulah Elder Fang Mo maju ke tengah arena. Suaranya bergema, penuh wibawa.
“Diamlah kalian semua!”
Keributan segera mereda, dan ribuan pasang mata menatap Elder Fang Mo.
“Hari ini, Sekte Azure Cloud akan menyaksikan pertarungan hidup dan mati! Pertarungan ini akan menentukan nasib sekte… dan harga diri kita semua!”
Sorakan kembali bergema. Beberapa berteriak mendukung Jianyu, yang lain hanya menunggu drama kematian Xuanyan.
Elder Fang Mo melanjutkan, “Aku memanggil kedua peserta untuk maju ke arena! Jianyu, Xuanyan—majulah!”
Sorakan semakin riuh ketika Jianyu melangkah maju. Yanshan menepuk bahu anaknya, membisikkan dengan nada penuh kemenangan.
“Selesaikan dengan cepat. Ayah sudah tidak sabar lagi untuk duduk di kursi Patriark.”
Jianyu tertawa rendah. “Tenang saja, Ayah. Bocah sampah itu tidak berarti apa-apa di hadapanku. Aku akan membuatnya menyesal lahir ke dunia ini.”
Ia melangkah mantap ke tengah arena, sorakan pendukungnya meledak. Banyak murid berteriak namanya, mengangkat tinju, seolah ia adalah pahlawan sekte. Jianyu mengangkat tangan, tersenyum penuh percaya diri, dan para murid semakin menggila mendukungnya.
Namun… Xuanyan tidak kunjung muncul.
Sorakan berubah menjadi ejekan.
“Hahaha! Benar dugaanku, bocah itu sudah kabur!”
“Dia terlalu takut! Mana mungkin dia berani muncul?”
“Dasar sampah pengecut! Bahkan untuk mati pun tidak punya keberanian.”
Elder Fang Mo mengangkat tangannya, mencoba menenangkan massa. Namun bahkan ia sendiri merasa gelisah.
Di tengah keributan itu, Jianyu melangkah maju selangkah, suaranya bergema lantang.
“Lihatlah! Xuanyan pengecut itu bahkan tidak berani muncul. Apakah ini murid yang kalian sebut penerus Patriark? Hahaha! Menyedihkan!”
Sorakan semakin keras, cemoohan semakin tajam. Di tribun utama, wajah Xueya semakin pucat. Tangannya gemetar, matanya mencari-cari putranya yang tak kunjung datang.
“Tidak… jangan bilang dia benar-benar kabur…”
Tianyao diam, meski hatinya juga diguncang rasa cemas.
Namun tiba-tiba—
Sebuah suara dingin terdengar, menusuk hingga ke tulang, membuat seluruh arena terdiam seketika.
“Kabur? Heh… aku tidak akan kabur.”
Semua orang menoleh serentak.
Di ujung arena, Xuanyan berjalan perlahan. Wajahnya tenang, langkahnya mantap. Meski aura kultivasinya masih terasa samar, setiap langkahnya membawa tekanan yang membuat beberapa murid tanpa sadar menelan ludah.
Sorakan cemoohan terhenti. Kini berganti dengan bisik-bisik kaget.
“Dia… benar-benar datang?”
“Bocah itu gila! Apa dia tidak takut mati?”
“Dia datang sendirian, tanpa rasa gentar sedikit pun…”
Xueya tertegun, air matanya jatuh tanpa sadar. “Xuan’er…”
Yueran tersenyum tipis, matanya berbinar. Aku tahu kau tidak akan kabur.
Xuanyan melangkah masuk ke arena, berdiri berhadapan dengan Jianyu. Keduanya saling menatap, mata mereka bertemu dalam sengit.
Jianyu menyeringai, suaranya penuh ejekan. “Keberanianmu patut dipuji. Karena itu, aku akan membuat kematianmu tidak menyakitkan. Kau hanya perlu berdiri diam di sana, dan aku akan mengakhirinya dengan cepat.”
Xuanyan tersenyum tipis. Senyum itu membuat Jianyu mendadak tersentak, seolah ditampar.
“Kau… masih berani tersenyum?”
Xuanyan menatapnya dingin, lalu berkata tenang namun menusuk.
“Telingaku sakit mendengar gonggongan anjing. Jadi… kau ingin bertarung, atau kau ingin terus menggonggong?”
“KAU—!!”
Suasana mendadak meledak. Seluruh murid terdiam, lalu bergemuruh tak percaya. Seorang “sampah” berani menghina Jianyu di depan seluruh sekte!
Urat muncul di kening Jianyu, wajahnya berubah gelap, matanya merah menyala penuh amarah. Aura membunuhnya melonjak, menekan seisi arena hingga banyak murid mundur beberapa langkah.
“Aku tarik kata-kataku barusan,” suaranya rendah namun penuh kebencian. “Kau tidak akan mati dengan cepat. Aku akan memastikan kematianmu mengenaskan, dan jiwamu tersiksa untuk selama-lamanya!”
Jianyu menyeringai, lalu dengan gerakan cepat, dia mengangkat tangannya. Cahaya dingin menyelimuti telapak tangannya, dan dalam sekejap sebuah pedang panjang muncul.
Pedang itu memancarkan aura tajam, tubuhnya bergetar lirih, seolah bernyanyi dengan nada yang menusuk telinga. Ukirannya kuno, bilahnya memantulkan cahaya biru dingin, dan setiap orang yang melihatnya langsung bisa merasakan betapa menakutkannya senjata itu.
“Pedang spiritual kelas menengah…!” seru salah seorang murid, matanya terbelalak.
“Gila! Jianyu ternyata memiliki senjata kelas menengah!”
“Kalau begitu, Xuanyan… sama sekali tidak punya kesempatan!”
“Hahaha! Pertarungan ini sudah selesai bahkan sebelum dimulai!”
Sorakan, tawa, dan cemoohan memenuhi udara.
Di tribun utama, wajah Xueya semakin pucat. Tangannya gemetar, ia hampir tidak mampu bernapas melihat pedang itu. Yueran menatap tajam, namun matanya tetap fokus pada Xuanyan, seolah mencari tanda sedikit pun tentang keyakinannya.
Jianyu mengangkat pedang itu, matanya menatap Xuanyan dengan sombong.
“Keluarkan senjatamu, kalau kau punya. Atau… mungkin kau terlalu miskin untuk memilikinya? Hahaha!”
Xuanyan berdiri tenang. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Senjata?” ia menggeleng perlahan, suaranya tenang namun menusuk. “Aku tidak butuh senjata. Seluruh tubuhku adalah senjata.”
Sorakan dan tawa langsung meledak dari para murid.
“Dia gila! Hahaha!”
“Sampah yang sombong, benar-benar tidak tahu malu.”
“Kalau seluruh tubuhmu senjata, mari kita lihat bagaimana tubuhmu dihancurkan!”
Wajah Jianyu mengeras. Aura pedangnya melonjak, Qi tajam keluar menyelimuti seluruh arena.
“Dasar sombong! Bahkan ketika hendak jadi mayat pun kau masih bisa bersikap angkuh! Baiklah, aku akan membuatmu menyesali kata-kata itu!”
Elder Fang Mo mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lalu menurunkannya.
“Pertandingan… dimulai!”
Suara ledakan aura langsung memenuhi udara. Jianyu menerjang ke depan, pedangnya memancarkan cahaya tajam, Sword Qi meledak ke segala arah. Kecepatannya begitu tinggi, hingga banyak murid bahkan kehilangan jejak gerakannya.
“Cepat sekali!”
“Xuanyan tidak mungkin bisa menghindar! Sekali tebas, kepalanya akan terpisah dari tubuhnya!”
Di tribun, Xueya menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat.
Xuan’er… jangan sampai aku melihat kematianmu dengan mataku sendiri…
Jianyu muncul tepat di depan Xuanyan dalam sekejap. Matanya bersinar kejam, pedangnya berkilat menuju leher Xuanyan dengan kekuatan mematikan.
“MATILAH!”
Seketika—
Xuanyan menunduk, tubuhnya bergerak dengan keluwesan mengejutkan, seolah dia sudah memprediksi arah serangan itu sejak awal. Cahaya pedang melesat tipis di atas kepalanya, hanya setengah jari jaraknya dari kulit.
Waktu seakan berhenti.
Mata para penonton melebar, napas tertahan.
Dan sebelum mereka sempat menyadari apa yang terjadi—
BAM!
Xuanyan menekuk lututnya sedikit, lalu tubuhnya melesat ke atas. Tinju kanannya terangkat, dan dengan kekuatan yang meledak dari seluruh ototnya, ia menghantam dagu Jianyu dengan pukulan lurus ke atas.
“UHHKHH!”
Suara tulang berderak terdengar jelas. Kepala Jianyu terangkat paksa ke belakang, matanya terbelalak tak percaya. Tubuhnya terpental beberapa langkah, lalu terhempas keras ke tanah, menciptakan jejak retakan di lantai arena.
Arena terdiam.
Satu detik… dua detik…
Hening.
Tidak ada satu pun murid yang bersuara. Bahkan hembusan angin pun terasa begitu keras di telinga mereka.
“…”
Semua mata melebar, napas tercekat.
“Bagaimana… mungkin…?” gumam seseorang akhirnya, suaranya bergetar.
“Dia… menghindar?”
“Dan… memukul Jianyu…?”
“Tidak mungkin! Itu pasti ilusi mataku!”
Riuh rendah mulai terdengar. Namun kali ini, bukan ejekan. Itu adalah keterkejutan. Kekagetan. Ketidakpercayaan.
Di tribun utama, Xueya membuka matanya perlahan, takut dengan apa yang akan ia lihat. Namun begitu matanya fokus, ia tertegun, air mata mengalir tanpa sadar.
“Xuan’er… dia… dia masih berdiri…”
Yueran tersenyum tipis, wajahnya dipenuhi rasa puas. Benar dugaanku. Kau tidak akan mengecewakan kami.
Tianyao, sang Patriark, menatap tajam ke arah anaknya. Matanya berkilat, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, hatinya bergetar hebat.
“Xuanyan…”
Di arena, Jianyu perlahan bangkit, wajahnya dipenuhi amarah. Bibirnya berdarah, matanya merah penuh kebencian.
“Kau… Jangan berbangga diri bajingan! Kau cuma beruntung! Aku lengah, akan ku pastikan kau mati kali ini!” suaranya rendah, bergetar karena menahan murka.
Xuanyan berdiri tegak, matanya tenang, senyum tipis di bibirnya.
“Aku sudah bilang, seluruh tubuhku adalah senjata. Rupanya kau masih belum percaya.”
“KAU—!!” Jianyu meraung, Qi tajam melonjak dari tubuhnya, pedang spiritual di tangannya bergetar hebat, aura membunuhnya melonjak berkali lipat.
Tanah di bawah kakinya retak, udara bergetar.
“Aku akan mencincangmu! Aku akan merobek tubuhmu hingga tidak tersisa! Xuanyan, kau akan mati dengan cara paling menyakitkan yang pernah ada!”
Sorakan kembali pecah, kali ini lebih liar, lebih kacau. Banyak murid yang mulai ragu, namun mereka tetap berteriak mendukung Jianyu, mencoba menutupi keterkejutan yang baru saja mereka saksikan.
Elder Han Qing menghela napas berat, matanya berbinar samar. “Muridku… benar-benar menyembunyikan sesuatu…”
Sementara itu, Yanshan yang duduk di tribun para Elder menggertakkan giginya keras-keras. Wajahnya berubah muram. Tidak… tidak mungkin! Itu hanya kebetulan! Jianyu pasti akan membunuhnya sebentar lagi!