Pernikahan Tanpa Hati

"Lolly, kalau masalah ini dilaporkan ke polisi, mereka tetap akan membuka kembali kasusnya walau sudah dua puluh tahun," ujar Chris dengan nada tenang namun serius. “Saat itu Dicky memang baru berusia dua belas tahun, tapi tetap akan diselidiki kasusnya. Dengan adanya bukti baru ini, dia tidak bisa lari dari tanggung jawab. Mungkin dia tak akan dipenjara karena masih di bawah umur saat kejadian, tapi hidupnya akan hancur—asetnya bisa disita, kariernya tamat, dan soal kasus korupsinya... dia akan dihukum sesuai undang-undang. Kesalahannya sudah berlapis, Lolly. Apakah kau sudah siap menghadapi semuanya?” tanyanya lembut.

Lolly mengangkat wajahnya perlahan. Matanya tampak basah, namun sorotnya tegas.

“Siap,” jawabnya pelan tapi penuh tekad. “Dia pembunuh... tapi justru menuduhku, membuat semua orang memandangku sebagai penyebab kematian kakak kami. Selama ini aku menanggung rasa bersalah yang bukan milikku. Sekarang ... giliran dia menanggung akibatnya. Biarkan aku yang membalasnya. Ini urusan keluargaku.”

Chris menatapnya lama, seolah ingin memastikan bahwa Lolly benar-benar yakin dengan keputusannya. Lalu ia mengangguk pelan.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Kalau kau butuh bantuan, hubungi aku.”

Suasana hening sejenak. Chris melangkah menuju pintu, lalu berhenti dan menoleh sekali lagi ke arah istrinya. Lolly masih menunduk, menatap flashdisk itu dengan ekspresi sedih.

“Dicky Zhang, kau benar-benar tidak tahu malu,” gumam Lolly pelan sambil menatap rekaman itu. Matanya berembun, namun nada suaranya sarat kemarahan yang tertahan. “Kau menghasut Papa dan Mama hanya karena kau anak laki-laki tunggal. Mereka membelamu selama ini sampai tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah…”

Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan emosi yang sejak lama menumpuk.

Keesokan harinya.

Udara pagi terasa dingin dan tenang ketika Lolly keluar dari apartemennya. Ia membawa tas kerja dan mengenakan mantel panjang berwarna krem. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menunjukkan tekad yang keras. Ia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di luar gedung, membuka pintu, lalu masuk perlahan.

Di kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti di sisi jalan. Dari dalam, Chris mengamati istrinya dalam diam. Ia duduk di kursi belakang, sementara Marco berada di kursi kemudi.

“Tuan, apakah kita akan mengikuti Nyonya muda?” tanya Marco hati-hati sambil menatap Lolly yang baru menyalakan mesin mobilnya.

“Iya,” jawab Chris pelan tapi tegas. Tatapannya tajam, penuh kekhawatiran. “Aku tidak tenang kalau Lolly pergi sendiri. Aku sudah tahu seperti apa keluarganya ... egois dan haus uang. Mereka bahkan memaksanya menikah demi keuntungan. Terutama Dicky…” ia mengepalkan tangan di pangkuannya. “Dia yang paling sering menindas Lolly. Bahkan dengan seenaknya menyebar rumor di rumah sakit waktu itu, membuatnya terlihat bersalah di depan semua orang.”

Marco hanya mengangguk, memahami kekesalan tuannya. Namun sebelum ia sempat menyalakan mobil, ponsel Chris tiba-tiba berdering. Nama Neliza muncul di layar.

Chris menghela napas berat lalu menjawabnya.

“Hallo?”

Suara di seberang terdengar lemah dan panik.

“Chris… tolong datang ke rumah sakit. Perutku sakit sekali… aku takut… aku sendirian…”

Chris terdiam. Matanya terarah ke luar jendela, ke arah Lolly yang baru saja membawa mobilnya menjauh.

Setelah beberapa detik hening, ia memutus panggilan itu tanpa berkata apa-apa.

"Tuan, kita akan ke mana dulu?" tanya Marco