“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Hujan turun semakin deras saat Elvino memacu mobilnya menuju sebuah taman kanak-kanak tempat Lili bersekolah. Rintik air menari di atas kaca depan mobil, memburamkan pandangan, namun tidak mengurangi tekadnya. Begitu mobil berhenti di depan gerbang sekolah, Elvino segera turun dan berlari kecil melewati genangan air yang memantulkan bayangan kelabu langit sore itu.
“Permisi, saya datang untuk menjemput Lili,” ucapnya sopan begitu tiba di depan ruang guru.
Seorang guru wanita keluar menghampirinya, menatapnya dengan dahi berkerut curiga.
“Kalau boleh tahu, Anda siapa? Karena saya tidak bisa menyerahkan Lili pada orang asing,” ucapnya tegas namun sopan.
“Saya Elvino, teman Nayla,” jawab Elvino cepat namun tenang.
“Nayla sedang merawat adiknya yang sakit, jadi saya datang untuk menggantikannya menjemput Lili.”
Guru itu masih menatapnya dengan raut wajah ragu. Tapi melihat ketulusan di mata Elvino dan nada suaranya yang yakin, akhirnya ia mengangguk.
“Baiklah, tunggu sebentar. Saya panggilkan Lili dulu.”
Guru itu melangkah masuk ke ruang kelas, lalu berseru dengan suara lembut,
“Lili, nak, jemputanmu sudah datang.”
Dari balik pintu kaca, Elvino dapat melihat seorang gadis kecil duduk sendiri di sudut ruangan. Tangan kecilnya sibuk menyusun balok warna-warni menjadi menara kecil, wajahnya tampak serius namun ada raut kesepian di sana.
Ketika mendengar namanya dipanggil, Lili segera menoleh, lalu berlari kecil menghampiri gurunya.
“Mbak Nayla sudah datang?” tanyanya polos.
Guru itu tersenyum tipis.
“Hari ini, Mbak Nayla tidak bisa menjemputmu. Jadi, Om Elvino yang menggantikannya, ya.”
Lili mengangkat wajahnya, menatap pria asing yang berdiri di ambang pintu dengan payung masih meneteskan air. Ada rasa takut di matanya, rasa canggung yang alami bagi anak sekecil itu.
Elvino menunduk sedikit agar sejajar dengan tinggi Lili, lalu berbicara lembut,
“Lili ikut Om, ya. Kita ketemu Mbak Nayla.”
Mendengar nama kakaknya disebut, tatapan takut itu perlahan mencair. Lili mengangguk kecil, lalu membiarkan tangan mungilnya digenggam Elvino.
Genggaman itu terasa hangat di tengah udara dingin akibat hujan yang belum juga berhenti.
Begitu mereka tiba di mobil, Elvino menyalakan pemanas agar Lili tidak kedinginan. Suasana awalnya sunyi, hanya suara wiper dan tetesan hujan yang terdengar.Lili duduk di kursi penumpang belakang, diam memandangi jalanan yang basah.
Beberapa menit berlalu sebelum suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan.
“Om…”
Elvino menoleh sebentar lewat kaca spion. “Hmm?”
“Om siapa-nya Mbak Nayla?” tanya Lili dengan polos.
“Om temannya,” jawab Elvino pelan.
Lili mengangguk pelan, lalu terdiam sejenak sebelum kembali bertanya,
“Om, gimana caranya supaya kita bisa bikin orang bahagia?”
Pertanyaan polos itu membuat Elvino sedikit tertegun. “Kenapa Lili tanya begitu?”
Lili menggigit bibir mungilnya.
“Lili ingin buat Mbak Nayla bahagia. lili kasihan sama Mbak Nayla… semua orang di rumah marah sama dia. Ibu, Mas Dio, Bapak… semuanya suka marah. Bapak juga sering pukul Mbak Nayla kalau nggak dikasih uang.”
Suaranya makin lirih.
“Cuma Lili yang nggak marah, soalnya Lili sayang banget sama Mbak Nayla. Tapi Lili sedih… kalau malam Lili sering dengar Mbak Nayla nangis diam-diam.”
Kalimat polos itu menampar Elvino lebih keras dari hujan di luar sana. Ia dapat merasakan sesuatu yang menyesak di dadanya, perasaan marah, iba, dan sakit bercampur menjadi satu.
Ia melirik ke kaca spion, melihat pantulan wajah kecil Lili yang menatap kosong pada butiran air di jendela.
Setelah beberapa detik hening, Elvino berbisik nyaris tak terdengar, seolah hanya berbicara pada dirinya sendiri.
“Mulai sekarang… biar Om yang bikin Mbak Nayla bahagia.”
Lili menatapnya lewat pantulan kaca spion, matanya berbinar lalu tersenyum kecil. “Beneran, Om?”
Elvino mengangguk pelan. “Beneran.”
"Om janji!" tanya lili penuh semangat.
"Iya... Om janji."
Karena di saat itulah, Elvino akhirnya benar-benar mengerti. Semua kegelisahan yang selama ini ia rasakan setiap kali melihat Nayla menangis, setiap kali mendengar namanya disebut, bukan sekadar rasa iba. Itu adalah perasaan yang lebih dalam dari sekadar simpati.
Ia mencintai gadis itu.
Kesadaran itu datang perlahan, tapi menancap kuat di dadanya, bersamaan dengan setiap tetes hujan yang jatuh di kaca mobil. Hatinya bergetar, bukan karena hawa dingin, melainkan karena keyakinan baru yang tumbuh di dalam dirinya.
Bayangan wajah Nayla melintas di pikirannya, sorot matanya yang redup, senyum lembutnya yang selalu berusaha menutupi luka, dan cara gadis itu tetap berdiri tegar meski dunia seolah bersekongkol melawannya.
Dalam hati, Elvino berjanji, sebuah janji yang lahir bukan dari rasa kasihan, tapi dari cinta yang tulus.
Bahwa mulai hari ini, ia akan melakukan apa pun untuk membuat Nayla bahagia. Ia akan menjadi tempat pulang bagi gadis itu, seseorang yang tidak akan meninggalkannya saat dunia menutup mata.
Apa pun yang terjadi, Nayla tidak akan menangis sendirian lagi. Tidak di bawah langit, tidak di tengah malam, tidak selama Elvino masih bernapas.
...
Ketika mereka tiba di rumah sakit, Elvino menggenggam tangan kecil Lili erat-erat saat melangkah menyusuri lorong putih yang sunyi. Aroma obat tercium samar, dan langkah kaki mereka terdengar lembut di lantai licin rumah sakit itu.
Ruang perawatan VIP berada di ujung koridor. Sebelumnya, perawat telah mengatakan bahwa pasien atas nama Dio sudah dipindahkan ke ruang itu sesuai permintaan Elvino. Ia memang sengaja mengurus semuanya terlebih dulu sebelum menjemput Lili.
Begitu sampai, Elvino mengetuk pintu perlahan. Dari dalam, tak terdengar suara apa pun selain bunyi mesin monitor jantung yang berdetak stabil. Ia membuka pintu pelan, lalu menuntun Lili masuk.
Di dalam ruangan, Nayla tampak duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Dio erat-erat. Wajahnya pucat dan gurat lelah tertera jelas di sana, namun ketika suara lembut memanggil namanya, senyumnya langsung merekah.
“Mbak Nayla!” seru Lili riang, lalu berlari kecil menghampirinya.
Nayla tersentak pelan, lalu menoleh. Begitu melihat wajah mungil adik bungsunya itu, matanya langsung berbinar. Senyum hangat terukir di wajahnya, menggantikan segala kelelahan yang tadi sempat menyelimuti.
“Lili…” ucap Nayla lembut, membuka kedua lengannya.
Tanpa ragu, Lili langsung memeluk kakaknya erat. Tubuh mungil itu masih terasa dingin karena hujan di luar, membuat Nayla refleks menepuk punggungnya pelan. Ia menunduk, membelai rambut adiknya dengan penuh kasih.
“Maafin Mbak, ya…” bisiknya lembut, suaranya bergetar.
“Tadi Mbak nggak bisa jemput Lili.”
Lili melepaskan pelukannya sedikit, menatap wajah kakaknya dengan mata bening.
“Nggak apa-apa, Mbak. Om Elvino yang jemput Lili, kok. Om baik banget. Lili nggak kehujanan, soalnya Om bawa payung besar.”
Nayla tersenyum hangat, menatap Elvino yang kini berdiri di dekat pintu sambil tersenyum kecil. Ada rasa lega dan terima kasih yang terlukis jelas di matanya.
“Terima kasih… sudah menjemput Lili untukku,” ucapnya tulus.
Elvino berjalan perlahan mendekat, langkahnya tenang namun penuh perasaan. Sorot matanya tertuju pada sosok Nayla yang kini sedang berjongkok di hadapan Lili. Dalam keheningan ruang VIP yang hanya diisi suara lembut mesin medis, ada kehangatan yang sulit dijelaskan.
“Tidak perlu berterima kasih,” ucap Elvino akhirnya dengan nada pelan tapi dalam. Ia berhenti tepat di sisi ranjang tempat Dio berbaring, lalu melanjutkan.
“Aku hanya melakukan apa yang memang ingin aku lakukan.”