Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Sore itu, langit tampak mendung.
Mobil hitam berhenti perlahan di depan sebuah bangunan sederhana berplang “Panti Asuhan Mutiara Kasih”, Ratna duduk diam di kursi depan, wajahnya pucat, matanya sembab. Di sampingnya, Amar menggenggam setir erat, menahan gugup yang sama.
“Kamu yakin siap bertemu dengan Nisa?” tanya Amar perlahan.
“Aku harus siap, Mas. Ini sudah saatnya kita menebus semua salah kita pada anak itu,” jawab Ratna lirih.
"Tapi bagaimana jika dia tidak mau menerima kita?." ucap Amar ragu.
"Aku yakin dia adalah gadis yang baik Mas, dia pasti mau menerima permintaan maaf kita." ucap Ratna yakin.
"Baiklah, ayo turun."
"Bismillah Mas."
Mereka turun dari mobil, berjalan pelan menuju teras panti yang diteduhi pohon besar.
Seorang perempuan paruh baya berwajah lembut menyambut mereka di pintu masuk, dia adalah Asih. Pengurus panti sekaligus sosok yang selama ini menemani Anisa melewati hari-harinya.
“Selamat sore,” sapa Asih ramah. “Tuan Amar, Nyonya Ratna… silakan masuk. saya tahu tujuan kalian datang ke sini. Anisa ada di ruang tengah.”
Ratna menelan ludah. Langkahnya terasa berat saat mengikuti Asih masuk ke dalam.
Suasana panti begitu hangat, dindingnya dipenuhi lukisan anak-anak, dan aroma bubur kacang hijau tercium samar dari dapur.
Di ruang tengah, Anisa duduk bersama beberapa anak panti. Wajahnya terlihat tenang, jauh berbeda dari gadis yang dulu mereka kenal.
Namun saat pandangan mereka bertemu, waktu seolah berhenti.
“Anisa…” suara Ratna bergetar, matanya mulai basah.
“Nak, Mama datang bukan untuk membenarkan siapa pun. Kami datang karena kami ingin meminta maaf.”
Anisa bangkit perlahan, lalu mempersilakan mereka duduk.
"Silahkan duduk ma, pa."
Asih meninggalkan mereka sejenak, memberi ruang bagi tiga orang itu untuk berbicara.
Suasana menjadi hening sesaat, sebelum akhirnya Anisa membuka suara.
Nada bicaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu tersimpan luka yang dalam.
“Bu, Pak… saya tidak ingin menyakiti siapa pun. Tapi saya juga tidak ingin terus memendam semuanya.” ucap Anisa mengganti panggilan nya pada Ratna dan Amar. Ia merasa tak pantas memanggil Amar dan Ratna dengan sebutan Papa dan mama, mengingat statusnya yang hanya istri kontak Bima.
“Saya menikah dengan mas Bima bukan karena cinta dan keyakinan tapi melainkan sebuah kontrak. Tapi sejak hari pertama menjalani nya, yang saya terima bukanlah sesuatu yang akan membuat saya bahagia tapi… melainkan luka.”
Ratna menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Anisa melanjutkan dengan suara pelan tapi tegas,
“Mas Bima sering berlaku kasar dan memukul saya. Kadang karena hal sepele, yaitu karena aduan yang tidak-tidak dari kekasihnya yaitu Mba Luna. Saya tidak pernah membalas, karena saya pikir dia hanya butuh waktu untuk berubah. Tapi makin lama, saya tidak lagi merasa hidup di rumah itu. Dan Mba Luna…” Anisa menatap Ratna lurus-lurus. “Dia memperlakukan saya lebih buruk dari siapa pun. Saya hanya istri di atas kertas, tapi tidak seharusnya saya menerima perlakuan seperti itu. Saya di hina, dijadikan pembantu dan saya selalu di jadikan kambing hitam. Sedangkan Mas Bima selalu mendengarkan setiap perkataan Mba Luna dan tanpa aba-aba langsung menampar saya.”
Ratna menutup wajahnya dengan tangan, bahunya bergetar.
“Ya Tuhan…” bisiknya lirih. “Apa yang sudah kami biarkan terjadi…”
Amar menarik napas panjang, menahan emosi.
Ia menatap Anisa mata perempuan muda itu memancarkan keteguhan yang menyakitkan sekaligus mengagumkan.
“Nak, kami benar-benar malu,” ujar Amar pelan. “Kami tidak akan meminta kamu kembali kepada anak kami. Kami tahu kami tidak pantas meminta apapun pada mu.”
“Tapi izinkan kami menebus sedikit dosa itu. Biarkan saya bantu urus proses perceraianmu dengan Bima. Kau berhak memulai hidup baru, tanpa bayang-bayang siapa pun.” lanjut Amar.
Air mata menetes di pipi Anisa. Ia menunduk, mencoba menenangkan diri.
“Terima kasih, Pak… Bu. Saya rasa tidak perlu adanya perceraian karena sedari awal putra Bapak tidak pernah menikahi saya secara Sah. Penghulu dan Wali hanyalah orang bayaran."
"Astagfirullah...jadi dari awal kamu sudah tau semua nya?." tanya Ratna terkejut mendengar penuturan Ratna.
"Iya bu, saya tau semua nya."
Ratna menggenggam tangan Anisa, lembut tapi penuh air mata.
“Nak, kalau suatu hari kamu temukan seseorang yang membuatmu bahagia, jangan takut untuk memulai lagi. Kami akan berdoa agar kamu benar-benar menemukan kebahagiaanmu. Kamu juga berhak untuk bahagia.”
Suasana hening.
Angin sore berhembus pelan melalui jendela panti, membawa aroma tanah basah dan daun kering. Di kejauhan, anak-anak panti tertawa kecil bermain kejar-kejaran, seolah alam ingin menghapus sisa duka di ruangan itu.
Amar berdiri, menatap Ratna yang masih menggenggam tangan Anisa.
“Kita pamit dulu, Nak,” katanya lembut. “Kalau kamu butuh apa pun, jangan ragu hubungi kami. Kali ini… biar kami yang ada di pihakmu.”
Anisa mengangguk.
“Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu.”
Ketika Amar dan Ratna melangkah keluar, Asih menatap mereka dengan tatapan penuh arti.
“Tuhan selalu beri kesempatan untuk memperbaiki, Tuan, Nyonya. Tapi tidak semua orang diberi keberanian untuk mengaku salah. Kalian sudah melakukan hal yang benar hari ini.”
Ratna hanya bisa menatap langit sore yang mulai jingga, air mata jatuh di pipinya.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa menjadi seorang ibu, bukan karena darah, tapi karena penyesalan dan kasih yang akhirnya ia sadari terlalu terlambat.
Setelah berpamitan sebelum masuk mobil Amar menatap panti itu dengan tatapan yang sulit di artikan..
"Bangunan ini jauh lebih besar dari pada Villa kita."
Ratna yang mendengar hal itu langsung menatap suaminya penuh tanda tanya.
“Berarti… ada seseorang yang menolong Anisa?”
Amar mengangguk perlahan.
“Sepertinya begitu. Tapi aku ingin tahu… siapa orang di balik semua ini.”
Ia menatap jauh ke arah samping bangunan luas itu, matanya menelisik semua penjuru...
“Siapa pun dia… kita berutang budi padanya karena sudah menjaga Anisa. Tapi jika ternyata semua ini berkaitan dengan sesuatu yang lebih besar aku akan mencari tahu.” ucap Amar Lirih.
minta balikan habis ini yahhh lagu lama