Kehidupan Amori tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Lucas, si pemain basket yang datang ke Indonesia hanya untuk memulihkan namanya. Kejadian satu malam membuat keduanya terikat, dan salah satunya enggan melepas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Giant Rosemary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amori Akhirnya Tau
Paginya ketika Lucas berniat untuk mengajak Amori bicara dan meluruskan semua, kekecewaan menghantamnya karena kehadiran Nora. Amori berniat pergi meninggalkannya, sama seperti apa yang wanita itu lakukan ketika di Sumba beberapa bulan lalu. Diam-diam, tanpa berpamitan apalagi memberikan penjelasan.
Lucas tau Amori sedang merasa bahwa posisinya sangat sulit dan memalukan. Tapi kebiasaan wanita itu yang sulit sekali mengkomunikasikan isi hatinya benar-benar tidak bisa Lucas biarkan.
Setelah ketahuan dan dilarang keras oleh Lucas untuk pergi, Amori hanya menunduk dalam. Pertanyaan Lucas tentang alasan Amori berniat kabur tanpa menyelesaikan masalah mereka juga tidak dihawab. Nora pun tidak terlihat akan membela sahabatnya. Ketika sampai dan melihat bagaimana Lucas memperlakukan Amori, Nora langsung bisa melihat kalau kebiasaan buruk sahabatnya yang harus diatasi.
Nora bisa melihat Lucas yang berlaku tulus. Pria itu bersikap dewasa dan tidak serta merta menolak Amori bahakan setelah mengetahui kehamilan sahabatnya itu, Nora yakin kalau respon Amori tidak bisa dibilang bijak.
“Mor, lo harus obrolin semua ini sama Lucas.” bujuk Nora ketika Lucas mendapat panggilan dan harus menerimanya diluar. “Dia keliatan mau beresin semuanya baik-baik kok.” Amori masih bergeming. Kepalanya menunduk dalam, membuat rambutnya yang digerai terjatuh begitu saja hingga menutupi wajahnya.
“Lo harus kasih Lucas kesempatan, Mor. Pun kalo lo mau udahin semua, kasih Lucas closure. Kalo gue tau keadaannya dari awal, gue ngga akan kesini buat jemput lo. Ayo Mor, jangan main kabur begini.” Amori terdengar menghela berat.
“Gue—malu Ra. Rasanya malu banget. Gue takut Lucas ngira gue mau manfaatin dia. Gue takut dia nganggap gue kayak cewek brengsek yang suka ambil kesempatan. Lo tau gue nggak kayak gitu kan Ra? Dari awal gue udah coba buat ngejauh dari Lucas. Gue—”
“Mor, tenang. Dari yang gue lihat, Lucas bukan orang yang kayak begitu. Kalau dia punya prasangka seburuk itu setelah tau lo hamil, dia nggak mungkin ngurusin lo sebaik ini.” Nora melihat pergelangan kaki Amori yang dibebat rapi. “Kalau dia punya pikiran sejahat itu tentang lo, dia nggak akan nurutin lo, dan nunggu pagi buat ngobrolin semuanya.”
“Ra, tapi—” Amori tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena Lucas sudah kembali. Raut wajah pria itu terlihat lebih keras daripada sebelumnya. Ia berlutut di depan Amori dan mencari wajah wanita yang masih menunduk itu.
“Nora, bisa saya bicara berdua dengan Amori?” katanya dengan nada tegas. Nora yang memang berharap sang sahabat bisa menyelesaikan masalahnya pun dengan mudah mengangguk dan pergi dari sana.
Setelah Nora pergi, Lucas meraih dua tangan Amori dan menggenggamnya erat. “Kenapa kamu nggak bilang kalau waktu kamu jatuh kemarin, perut kamu juga kena? Kamu sadar ngga seberapa bahayanya itu?” suara Lucas terdengar tenang dan lembut, tapi rasa panik dan marahnya tetap terasa.
Amori menggigit bibirnya, menahan air mata yang tiba-tiba saja jatuh ketika mendengar nada suara Lucas yang ditelinganya, penuh dengan pengertian dan perhatian. “Tadi pihak manajemen ngirimin saya bukti CCTV semalam dan saya lihat semua. Amor, kalau kamu pergi tanpa bilang sama saya pagi tadi, saya yakin kamu nggak akan kepikiran untuk periksa perut kamu. Amor, please, you’re pregnant!” tangis Amori semakin menjadi-jadi. Isakannya muncul tapi Lucas tak langsung menariknya kedalam pelukan seperti biasa.
“Kita ke rumah sakit, ya?” Amori buru-buru menggeleng dan melihat pada Lucas.
“Saya bisa pergi sama Nora.” katanya tersendat tangisan.
“Kenapa bukan dengan saya?”
“Saya—” Amori kelu. “Saya, ngga mau nyusahin kamu.” lirihnya. “Ini bukan tanggung jawab kamu.”
Lucas menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Ia memegang kedua tangan Amori lebih erat seolah takut wanita itu akan lenyap atau bahkan kabur jika ia melepas sedikit saja. “Siapa bilang kamu bukan tanggung jawab saya? Kamu tanggung jawab saja, Amor. Apalagi saat ini kamu lagi hamil.”
Amori menutup matanya ketika Lucas kembali memuntahkan fakta itu. Ia kembali menunduk, tapi Lucas menahan dagunya dan menaikkan lagi wajah cantik itu. Sebuah senyum tipis terbentu di wajah pria itu ketika melihat hidung Amori yang mulai memerah karena menangis. “Saya takut waktu lihat kamu udah siap pergi dengan barang-barang kamu tadi pagi. Amor, let’s talk about your pregnancy. Kalau ngga perlu malu Amor. Saya tetap Lucas, laki-laki yang minta kesempatan ke kamu, agar diberi kesempatan untuk ngebuktiin perasaan saya.”
“Tapi—”
“Kita harus bicarain ini, Amor. Kamu harus terbuka sama saya tentang ini.”
“Kenapa?” Amori menantang mata Lucas dengan isak tangis yang masih tersisa. “Saya nggak akan minta mau untuk tanggung jawab, Lucas. Ini bukan beban kamu.”
“Amor, dengar. Ini anak saya.” Amori terlihat kaget. Matanya membesar, mulutnya juga terbuka tak menyangka dengan ucapan Lucas yang berlebihan menurutnya. Ia menarik tangannya dari genggaman Lucas dan menarik diri.
“Lucas, ini berlebihan. Saya—”
“Kamu mungkin lupa, Amor. Tapi saya ngga pernah lupa. Saya ingat kamu.” kening Amori mengerut bingung. “Kejadian di Sumba, saya ingat semua. Pagi ini saya takut kamu pergi ninggalin saya, seperti apa yang kamu lakukan di Sumba beberapa bulan yang lalu.”
“Hah?” Amori melirih. Pundaknya merosot lemas mendengar fakta yang baru saja Lucas ucapkan. Tiba-tiba saja kilasan memori waktu di Sumba berputar putus-putus. Visualisasi wajah buram seorang pria sewaktu mereka bertemu saat makan malam, siluet tubuh pria yang bergerak liar di atasnya, lalu punggung pria yang ia tinggalkan di kamar hotel. Itu Lucas?
“Jadi—”
“Jadi, dia tanggung jawab saya.” kata Lucas sambil memegang perut Amori yang sudah buncit. “Dan kamu, juga tanggung jawab saya. Jadi jangan berpikir untuk pergi, apalagi meniadakan peran saya dalam hal ini.”
Amori tak mengucapkan apapun. Kepalanya bukan tambah ringan tapi malah semakin penuh dan berat. Ada banyak pertanyaan, terutama tentang sejak kapan Lucas tau kalau dirinya adalah wanita yang ia tiduri di Sumba, dan apa alasan pria itu tidak mengatakannnya sejak awal.
Melihat tak ada respon berarti dari Amori kecuali kaget, Lucas membawa Amori pergi darisana. Kehadiran Nora juga akhirnya sia-sia, karena Lucas bilang akan mengurus Amori sendiri. Mereka kembali ke Jakarta dan sebelum pulang ke apartemen, Lucas membawa Amori ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya.
Selama perjalanan pulang hingga proses pemeriksaan kondisi kandungannya Amori tak bicara banyak. Ia hanya bicara ketika ditanya, dan diam ketika suaranya tidak dibutuhkan. Lucas yang cukup peka dengan suasana hati Amori pun tidak berusaha menekan. Ia tahu kalau pembicaraan mereka belum sepenuhnya selesai. Masih ada banyak pertanyaan yang masih mereka simpan dan belum mendapatkan jawabannya.
Apapun itu, yang penting ia mengetahui kalau kandungan Amori sehat, dan kejadian semalam tidak mengakibatkan sesuatu hal yang buruk pada Amori ataupun janinnya. Setelah kembali ke apartemen pun Lucas mengurus Amori dengan baik.
“Tidur, Amor. Istirahat yang cukup. Kita bicara lagi setelah kamu siap.” bisik Lucas sebelum mengecup kening Amori dan keluar dari kamar. Meninggalkan Amori yang terlihat kelelahan dengan isi kepalanya.
***
Bersambung....