Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan bongkar identitasnya
Kediaman utama keluarga Jourell berdiri megah dengan arsitektur klasik nan elegan. Malam itu, lampu-lampu kristal berkilauan, menyinari ruang makan panjang yang hanya terisi dua kursi—Helena di kursi utama, dan Aldrich di kursi sebelah kanan. Meski meja itu luas, suasana justru terasa hangat, sebab hanya mereka berdua yang duduk, saling bertukar cerita sambil menikmati hidangan favorit keluarga.
“Sudah lama sekali kita tidak makan bersama begini,” ujar Helena sambil tersenyum lembut, memandang putranya yang tampak gagah meski masih dengan aura dingin khas Aldrich.
Aldrich meneguk wine di tangannya, sekilas melirik sang mama. “Mama kan juga sibuk. Tapi setiap kali diminta mampir, aku pasti datang.”
Helena tertawa kecil, lalu menyuapkan makanan. “Ya, ya. Mungkin Mama memang terlalu banyak urusan. Tapi malam ini Mama hanya ingin duduk bersama putra semata wayang Mama… dan tentu saja, menanyakan sesuatu yang sangat menarik.”
Aldrich menghela napas pelan, sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. “Tentang Audy?”
Helena mencondongkan tubuhnya, matanya berbinar. “Jadi betul namanya Audy? Gadis yang kau perkenalkan pagi tadi. Cantik, cerdas, dan sopan sekali. Mama suka padanya. Tapi kenapa baru sekarang kau mengenalkan? Padahal Mama sudah lama menunggu.”
Aldrich tersenyum samar, kali ini bukan senyum menggoda melainkan lebih tulus. Ia meletakkan garpu di piring. “Mama… sebenarnya aku harus jujur. Audy bukan kekasihku. Yang tadi pagi itu… hanya permainan darurat. Aku tidak bisa mengecewakan Mama di depan karyawan. Jadi aku… ya, terpaksa menyeretnya ke dalam sandiwara.”
Helena mengangkat alis, tapi senyumnya tidak hilang. “Sandiwara? Begitu rupanya. Tapi sorot matamu, Aldrich, tidak bisa berbohong. Mama tahu kau tidak main-main.”
Aldrich menunduk sedikit, lalu kembali menatap Helena. “Audy… bukan gadis biasa, Ma. Ia pewaris tunggal Sinclair.”
“Putri dari David Sinclair maksudmu?”
“Ya, sempat meeting dengan Mama beberapa waktu lalu. Tapi entah bagaimana, ia justru memilih bekerja di perusahaanku—sebagai staf administrasi, bayangkan. Aku tahu semua latar belakangnya, aku menyelidiki sendiri. Tapi yang membuatku heran… dia seolah tidak peduli pada nama besar ayahnya. Dia ingin berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa kemewahan yang bisa dengan mudah ia dapatkan.”
Helena terdiam sesaat, lalu perlahan mengangguk. “Itu yang membuat Mama menyukainya. Jarang sekali ada gadis seperti itu, apalagi di lingkaran kita. Kalau begitu, Mama setuju untuk tidak membongkar identitasnya dulu. Biarkan dia membuktikan diri, biarkan dia berjuang dengan caranya. Mama menghargai itu.”
Mendengar itu, Aldrich menghela napas lega. “Terima kasih, Ma. Itu yang aku harapkan. Jika Mama tiba-tiba bicara soal asal-usulnya, semua akan berantakan. Dia bisa saja kabur, dan aku tidak menginginkan hal itu.”
Helena tersenyum lebih lebar, kali ini tatapannya mengandung makna dalam. “Kalau begitu, jangan lepaskan dia, Aldrich. Dekati Audy, buat dia percaya padamu. Mama melihat ada sesuatu yang berbeda dari caramu memandangnya. Jangan sia-siakan kesempatan ini.”
Senyum tipis muncul di wajah Aldrich. Untuk pertama kalinya malam itu, dinginnya luluh, digantikan binar bahagia yang jarang terlihat. “Benarkah? Jadi Mama memberi lampu hijau?”
“Bukan hanya lampu hijau,” jawab Helena sambil meneguk teh hangatnya, “Mama akan ada di pihakmu. Jika gadis itu bisa membuatmu jatuh hati, maka dia pantas jadi bagian keluarga ini. Ingat, Aldrich—Mama tidak akan membiarkanmu kehilangan gadis seperti Audy.”
Aldrich menegakkan tubuhnya, menahan senyum puas. Rasanya baru kali ini ia mendapat restu begitu cepat dari Helena, yang biasanya sangat selektif soal perempuan. Dalam hatinya, Aldrich berteriak penuh kemenangan. Sial, gadis itu benar-benar… aku harus memilikinya.
Helena hanya mengamati perubahan ekspresi anaknya, lalu tersenyum penuh arti. Ia tahu, permainan baru saja dimulai.
.....
Malam itu, rumah keluarga Sinclair terasa tenang. Dari balik jendela besar kamarnya, Audy bisa melihat lampu kota yang berkelap-kelip, tapi pikirannya masih sibuk dengan kejadian pagi sampai sore tadi. Ia rebahan di ranjang empuk, masih dengan piyama santai bergambar kartun lucu, rambut diikat seadanya.
Ponselnya berdering—Zoey menelpon. Audy langsung menggeser ikon hijau.
“Zooeyyyy!” serunya begitu wajah sahabatnya muncul di layar.
Zoey langsung tertawa begitu melihat tampilan Audy. “Astaga, Audy, kau seperti anak SMP yang baru selesai belajar kelompok. Dan itu poni-mu, tolong dirapikan dulu.”
“Ah, biarkan,” Audy memanyunkan bibir, lalu mendekap bantal. “Aku sedang tidak mood memikirkan penampilan. Zoey, sumpah hari ini campur aduk sekali.”
Zoey mengernyit penasaran. “Campur aduk? Tumben. Ada apa nona Sinclair? Sepertinya masih hangat ya.”
Audy menarik napas panjang. “Zoey, kau tidak akan percaya. Aku… dikenalkan sebagai pacar palsu si Aldrich itu pada Mama-nya. Di depan semua karyawan! Coba kau bayangkan, aku seperti artis sinetron yang terbawa alur.”
Zoey hampir menyemburkan air minum yang baru saja diteguknya. “HAH?! Bos tanpamu itu? Si CEO dingin itu? Audy, tolong jelaskan dari A sampai Z!”
Audy menutup wajah dengan bantal, lalu bersuara teredam. “Tadi pagi tiba-tiba Bu Helena—Mama Aldrich datang ke kantor, cantik sekali, classy. Tiba-tiba dia bertanya mana kekasih putranya. Lalu si bos gila itu, tanpa izin, langsung menarik pinggangku dan bilang bahwa aku pacarnya. Aku hanya bisa pasang senyum palsu seperti robot, Zoey. Aku hampir mati berdiri.”
Zoey ngakak setengah mati. “Oh my God, Audy! Itu plot drama sekali! Kau kan biasanya yang suka nonton sinetron receh, sekarang kau sendiri pemeran utamanya. Jadi kau digandeng? Sungguh?”
Audy menatap layar dengan muka merah. “Iya, Zoey! DIGANDENG, DIPANGGIL SAYANG OLEH MAMA NYA PULA. Aku sampai lupa cara bernapas, kau tahu? Parahnya lagi, aku malah ikut diinterogasi oleh mama nya di ruang CEO. Ditanya soal masa depan, pekerjaan, dan pertanyaan lainnya. Aku menjawabnya dengan belepotan. Rasanya ingin teleportasi keluar jendela.”
Zoey hampir jatuh dari kursinya karena menahan tawa. “Ya Tuhan… ini konyol. Tapi… jujur saja Audy, bosmu itu… ehm, tampan sekali kan? Bagaimana rasanya dipeluk?”
Audy menjerit kecil sambil menutupi muka dengan bantal. “ZOEEEY! Jangan membuatku flashback! Aku sudah cukup trauma. Aku merasa seperti sedang di-ospek oleh Aldrich setiap hari, lalu sekarang ditambah jadi ‘pacar gadungan’. Besok-besok mungkin aku dikira istrinya. Gila kan?”
Zoey menatap Audy penuh arti. “Audy, ini jelas bukan kebetulan. Aku bilang dari dulu kan? Kau itu magnet masalah sekaligus magnet pria keren. Hati-hati saja, jangan sampai kau yang nanti jatuh duluan.”
Audy langsung melotot ke layar. “Hei! Jangan bicara aneh-aneh. Aku tidak ada niat jatuh pada bos menyebalkan itu. Bila perlu aku buat daftar seratus alasan kenapa aku tidak mungkin suka pada si Aldrich itu.”
Zoey terkekeh. “Iya, iya. Tapi biasanya… daftar seperti itu yang paling cepat berantakan. Apalagi jika dia terus mendekatimu.”
Audy mendesah panjang, lalu menutup video call dengan ekspresi campur aduk. Setelah layar ponsel padam, ia memandang langit-langit kamarnya. Hatinya berdebar, meski ia tak mau mengakuinya.
Kenapa aku deg-degan jika teringat tatapan Aldrich tadi…?