Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.
Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Malam itu mencekam. Angin dingin berhembus perlahan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk.
Desa kecil di kaki gunung Jawa Barat terlihat hening, seolah seluruh kehidupan sehari-hari tiba-tiba membeku.
Lampu-lampu rumah berkelap-kelip, namun bayangan gelap di setiap sudut seakan menunggu, mengintai setiap langkah yang berani melintas di lorong sempit.
Suara ranting yang patah di kejauhan terdengar seperti jeritan yang tercekat, menambah kesunyian malam yang sudah menyesakkan.
Sekelebat kain putih lusuh, bekas tanah kuburan, melayang di udara malam yang pekat.
Ia menembus kegelapan, meluncur dari satu rumah ke rumah lain, mengetuk pintu dengan ketukan lembut yang membuat bulu roma meremang.
Warga desa yang biasanya terbiasa dengan angin malam mulai merasa ada yang salah.
Getaran dingin dari ketukan itu menembus ke tulang, menimbulkan rasa takut yang tak bisa mereka jelaskan.
Biasanya, malam hari di desa adalah saat warga berkumpul, bersenda gurau, dan berbagi cerita. Anak-anak bermain petak umpet di gang-gang sempit, suara tawa mereka mengisi lorong dengan riang.
Para ibu menyiapkan teh hangat sambil mengawasi cucu mereka, menggerakkan sendok perlahan di cangkir berasap.
Lelaki dewasa duduk di beranda, bercanda tentang panen, harga sayur, dan gosip pasar.
Malam itu selalu hangat, penuh aroma dapur, kayu bakar, dan rasa aman yang menenangkan.
Namun malam itu berbeda. Ada keganjilan yang sulit dijelaskan.
Angin yang biasanya berdesir lembut tiba-tiba berhenti sejenak ketika Dania melewati gang sempit.
Suara jangkrik terdengar terlalu sunyi, seperti diredam oleh kesunyian malam yang menekan. Dania merasakan sesuatu mengawasinya dari kegelapan.
Sesuatu yang tak wajar, yang membuat jantungnya berdegup kencang.
Dania Anindita Rejaya, gadis berusia enam belas tahun yang baru pindah ke desa bersama keluarganya, berjalan santai menuju warung Ce Kinah.
Sambil menenteng kantong plastik, ia bicara tanpa henti tentang sekolah barunya, teman-teman yang baru ditemui, dan hal-hal kecil yang membuatnya tersenyum.
Tapi langkahnya terasa berat malam itu, seolah setiap tarikan napas membawa rasa takut yang sulit dijelaskan.
Desa itu belum pulih dari berita kematian seorang PSK yang mengenakan susuk. Kematian wanita itu meninggalkan aura gelap dan misteri.
Konon, sakaratul mautnya berlangsung dengan penderitaan luar biasa.
Tubuhnya memancarkan aura hitam sebelum nyawanya benar-benar lepas, dan desas-desus tentang kemunculan pocong bersusuk mulai beredar di antara warga.
Rasa takut dan penasaran bercampur menjadi bisik-bisik yang menempel di udara malam.
Di gang sempit menuju rumah Ce Kinah, udara terasa semakin dingin. Napas Dania memburu, meski ia mencoba menenangkan diri.
Sekelebat kain putih lusuh melintas di ujung gang, bergerak tanpa suara, menempel di bayangan tembok, lalu hilang begitu saja.
Hanya bulu roma yang berdiri dan rasa dingin menusuk tulang yang tersisa.
Di rumah-rumah tetangga, lampu-lampu berkelap-kelip karena angin malam. Warga yang biasanya merasa aman kini menahan napas, saling melempar pandang curiga.
“Itu pasti pocong susuk,” bisik seorang ibu sambil memeluk anaknya erat. “Jangan keluar malam-malam. Jangan berani menatapnya!”
Kegelisahan itu menular. Anak-anak berhenti bermain, suara tawa terhenti, dan para lelaki dewasa duduk terpaku, mendengar ketukan yang makin dekat.
Dari jauh terdengar suara pintu diketuk pelan, diikuti bunyi seperti ludah menempel di kayu. Konon, siapa saja yang terkena ludah pocong akan merasakan kulit melepuh dan sakit yang tak tertahankan.
Dania sampai di warung Ce Kinah. Pijar lampu minyak membuat wajahnya pucat. Ce Kinah menyambutnya dengan senyum tegang.
“Dania… malam ini jangan banyak bicara,” ujarnya pelan, matanya menelusuri gelap di luar.
“Ada yang… salah.”
Tapi Dania terlalu penasaran untuk diam. Ia bicara banyak, mengeluh tentang tugas sekolah, teman baru, dan hal-hal sepele lainnya.
Tak sadar, matanya menangkap sesuatu bergerak di ujung gang. Sekelebat kain putih lusuh.
Ia menahan napas, merasakan bulu roma berdiri. Kain itu mengetuk dinding warung, bergerak pelan seperti sedang mencari sesuatu.
Suara bisikan terdengar di telinganya, dingin dan serak. “Dania… kau juga bisa menjadi korban…”
Dania terkejut dan mundur, hampir menjatuhkan kantong belanjaannya. Ce Kinah meraih tangannya dengan cepat.
“Tenang, jangan menoleh!” bisik wanita tua itu sambil menunduk.
“Itu bukan manusia… itu pocong bersusuk. Ia datang karena kematian wanita itu… karena susuk yang masih menempel pada tubuhnya.”
Dania menelan ludah. Tubuhnya gemetar. Di luar, kain putih lusuh bergerak semakin dekat, mengetuk pintu demi pintu, meninggalkan aroma tanah basah dan darah yang samar.
Warga desa yang menatap dari jendela mulai menjerit ketika melihat kulit yang melepuh pada salah satu tetangga yang terkena ludah pocong itu. Tangis dan teriakan menggema di malam sunyi.
Tak lama kemudian, Kapten Satria Arjuna Rejaya tiba di desa. Sebagai anggota TNI dari batalyon Siliwangi, ia dikenal tangguh dan berani menghadapi bahaya.
Namun malam itu, bahkan seorang prajurit sekelas Satria merasakan aura gelap yang menekan, udara sekeliling menjadi berat, setiap tarikan napas membawa ketakutan yang tak bisa dijelaskan.
Dania berjalan di belakang Satria, menatap kain putih lusuh yang menari di udara malam.
“Bang… apa itu benar-benar… pocong?” suaranya gemetar.
Satria menoleh sejenak, wajah serius. “Ya, Dania. Dan ini bukan pocong biasa. Ini pocong bersusuk… kutukan dari susuk yang menempel pada tubuh wanita itu. Kita harus berhati-hati. Jangan lengah sedikit pun.”
Malam itu terasa panjang. Desa yang biasanya hidup dengan tawa kini dibungkam oleh ketakutan. Setiap ketukan pintu, setiap bisikan angin, membuat jantung warga berdegup kencang.
Mereka tahu, malam ini, hidup mereka tergantung pada keberanian Kapten Satria dan keberuntungan mereka sendiri.
Dania menggenggam tangan kakaknya erat, merasakan ketegangan yang mengalir di tubuhnya. Kain putih lusuh bergerak di antara bayangan rumah-rumah, mengetuk pintu demi pintu, mencari korban baru.
Dania menutup mata sejenak, berharap malam ini cepat berlalu. Tapi di hatinya, ia tahu, ini baru permulaan… permulaan teror yang tak akan mudah mereka hentikan.
*
*
*
*
semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu