Dilahirkan dari pasangan suami istri yang tak pernah menghendakinya, Rafael tumbuh bukan dalam pangkuan kasih orang tuanya, melainkan dalam asuhan Sang Nini yang menjadi satu-satunya pelita hidupnya.
Sementara itu, saudara kembarnya, Rafa, dibesarkan dalam limpahan cinta Bram dan Dina, ayah dan ibu yang menganggapnya sebagai satu-satunya putra sejati.
"Anak kita hanya satu. Walau mereka kembar, darah daging kita hanyalah Rafa," ucap Bram, nada suaranya dingin bagai angin gunung yang membekukan jiwa.
Tujuh belas tahun berlalu, Rafael tetap bernaung di bawah kasih sang nenek. Namun vidhi tak selalu menyulam benang luka di jalannya.
Sejak kanak, Rafael telah terbiasa mangalah dalam setiap perkara, Hingga suatu hari, kabar bak petir datang sang kakak, Rafa, akan menikahi wanita yang ia puja sepenuh hati namun kecelakaan besar terjadi yang mengharuskan Rafael mengantikan posisi sang kakak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jatuh cinta pada kakak ipar
Koper Rafael telah rapi tersusun, hanya tinggal menunggu waktu keberangkatan mereka menuju London. Sambil duduk di tepi ranjang, Rafael sempat mengirim pesan kepada Farel dan Marsel. Ia meminta dengan sungguh-sungguh agar mereka menjaga Rafa sebentar lagi saja, sebab tak lama lagi istri Rafa akan menjemputnya untuk kembali pulang.
Tak lama kemudian, Viola keluar dari kamar. Perempuan itu mengenakan pakaian sederhana, namun jelas terlihat betapa tubuhnya lemah dan matanya bengkak karena tangis dan kurang tidur. Rafael yang menatapnya hanya bisa menarik napas panjang. Hatinya terasa teriris. Ia tidak tega membawanya menempuh perjalanan panjang ke London dalam kondisi seperti itu, namun apa yang bisa ia lakukan? Viola harus kembali pada suaminya.
Viola merebahkan tubuhnya di sofa, menyandarkan kepala, lalu memejamkan mata. Napasnya terengah pelan, kepalanya terasa pusing. Kehamilan di bulan pertamanya membawa banyak kesulitan; mual, lemah, dan tubuhnya mudah sekali jatuh sakit. Ia berusaha menyembunyikan semua itu dari Rafael. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia menenangkan diri.
Rafael keluar rumah, membuka pintu mobil, lalu memasukkan koper-koper mereka ke bagasi. Namun baru saja ia ingin menatanya, Bram dan Dina datang. Wajah keduanya penuh tanda tanya.
“Kalian mau ke mana, Nak?” suara Bram terdengar dingin saat melihat Rafael yang sedang sibuk memasukkan koper.
Pertemuan ini seakan membuka kembali luka lama. Rafael tidak bisa melupakan kejadian di kantor—betapa Bram hanya sibuk mengejar harta, saham, dan keuntungan, tanpa peduli dengan rasa sakit yang harus ditanggung orang lain. Ayah itu hanya peduli pada hasil, tanpa peduli pada manusia.
Rafael memilih diam. Ia masuk kembali ke rumah, membantu Viola berjalan menuju mobil. Gerakannya hati-hati, namun tatapan Bram mengeras, menganggap sikap Rafael tidak sopan.
Hingga…
Plak!
Tamparan keras mendarat di wajah Rafael. Suara itu menggema di halaman rumah, membuat Viola yang duduk di kursi mobil tersentak. Dina sendiri menutup mulut, tak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan suaminya. Bram—yang selama ini tidak pernah mengangkat tangan pada Rafa—kini melayangkan tamparan tanpa ampun.
“Tidak bisakah kau melihat, ayah dan ibumu ada di sini?” suara Bram meninggi, penuh emosi yang meledak.
Rafael menahan gejolak amarahnya. Rahangnya mengeras, matanya berkilat, namun ia memilih tetap tenang. Ia membuka pintu mobil, membantu Viola masuk ke dalam, lalu menutup pintunya perlahan. Viola menatap Rafael dengan mata berkaca, tak tega melihat luka di wajahnya. Namun tubuhnya terlalu lemah untuk ikut campur.
“Aku melihat kalian. Jika ingin masuk bertamu, silakan. Aku tidak melarang,” jawab Rafael, suaranya dingin, penuh kebencian yang ia simpan selama bertahun-tahun.
Dina segera menghampirinya, menggenggam tangan Rafael dengan tatapan memohon. “Rafa, tenanglah, Nak. Ayahmu hanya terbawa emosi. Masuklah sebentar, bicarakan baik-baik.”
Namun genggaman itu ditepis kasar oleh Rafael. Viola yang melihat situasi semakin memanas menurunkan kaca mobil sedikit. Dengan suara lemah ia berucap, “Masuklah, Rafael. Tidak perlu kau ladeni lebih jauh.”
Rafael memejamkan mata, menahan perih di dadanya. Lalu, dengan suara berat ia berkata, “Aku bukan Rafa. Aku adalah Rafael. Kakakmu, Rafa, saat ini ada di London. Beberapa bulan lalu pesawatnya jatuh… dan aku mohon, jangan halangi aku. Aku hanya ingin kembali ke negeriku.”
Dina tertegun. Wajahnya pucat. “Apa maksudmu, Nak? Kau adalah Rafa! Mengapa kau menyebut nama anak pembawa sial itu? Ayahmu sudah mengusirnya, dia tidak akan pernah kembali!”
Rafael terdiam sejenak. Senyum miris muncul di bibirnya yang mulai membiru karena tamparan. Ia lalu membuka kancing kemejanya sedikit, memperlihatkan tanda lahir di punggungnya.
“Lihat baik-baik… hanya aku yang memilikinya. Rafa tidak. Sejak lahir, hanya nenek yang tahu tentang ini. Dan kau juga tahu, Dina.”
Wajah Dina seketika berubah. Tubuhnya bergetar, mulutnya bergetar hebat. “Kau… kau? Mengapa kau ada di hadapanku?! Anak ini… anak haram pembawa sial! Kenapa kau kembali?!” jeritnya penuh amarah dan ketakutan.
Rafael menarik napas dalam, menahan rasa sesak di dadanya. “Ya… aku memang anak yang kalian anggap haram. Aku memang pembawa sial di mata kalian. Tapi dengar baik-baik, aku akan kembalikan anak kalian. Besok atau lusa ia akan pulang. Jadi sekarang, biarkan aku pergi.”
Bruk!
Tinju Bram mendarat di bibir Rafael, membuat darah segar mengalir di sudut mulutnya. Rafael terhuyung, namun matanya tetap menatap lurus. Ada luka, ada amarah, sekaligus penyesalan mendalam di sana.
“Kelulusan SMA-mu… hari itu aku sudah membuang mu. Aku sendiri yang menyuruhmu pergi! Lalu mengapa kau kembali sekarang? Di mana Rafa?! Di mana anakku?!” bentak Bram.
Rafael mengusap darah dari bibirnya. Senyumnya getir, suaranya pecah, namun matanya berkilau menahan air mata. “Anakmu ada di sana… luka, hilang ingatan, dan tersiksa. Apa yang kalian lakukan untuknya? Tidak ada! Begini kah kasih sayang orangtua yang selalu kalian banggakan?!”
“Rafael!” teriak Bram, menyebut nama itu setelah empat tahun terkubur.
“Ya. Itu aku. Rafael. Anak yang kalian buang. Maka biarkan aku membawa istri kakakku pergi, agar masalah ini cepat berlalu. Kalian tidak perlu ikut campur lagi.”
Rafael segera masuk ke mobil, menutup pintu dengan keras.
Deg.
Semua percakapan itu didengar jelas oleh Viola. Ia terdiam, tubuhnya kaku. Air matanya jatuh tanpa suara. Betapa berat hidup yang pernah dijalani Rafael… begitu kejam perlakuan orangtuanya, hingga ia terbuang, tersesat, dan hampir mustahil ditemukan.
“Kakak ipar, tutup kaca itu,” ucap Rafael pelan, melihat kaca mobil di sisi Viola masih terbuka. Suaranya lembut, berbeda dari nada kerasnya barusan. “Angin malam tidak baik untuk kesehatanmu.”
Viola menutup kaca, namun hatinya bergetar hebat. Kakak ipar? Setelah semua kebenaran ini terungkap… apakah dia masih ingin hubungan kami hanya sebatas itu? batinnya lirih.
Ia menatap Rafael. Lelaki itu duduk di sampingnya dengan wajah penuh luka, bibirnya berdarah, kemejanya ternoda merah. Viola menahan isak.
“Kau tidak perlu menatapku seperti itu, kakak ipar. Aku baik-baik saja,” ucap Rafael, suaranya datar, mencoba tegar.
“Aku tidak menatapmu,” elak Viola cepat, memalingkan wajah ke arah jendela. Namun hatinya berkata lain.
Sekali saja, Tuhan… bisakah aku bahagia bersama pria ini? Aku ingin merawat luka-lukanya. Aku ingin menjadi alasan ia tersenyum, bukan alasan ia terus merasa hancur.
Sepanjang jalan, Viola hanya menatapnya diam-diam. Luka di wajah Rafael bukan sekadar darah dan lebam, melainkan luka lama yang selama ini ia tanggung sendirian.
Jangan lupa beri bintang lima, like dan komen ya teman-teman
Bersambung...........
Hai teman-teman, yuk bantu like, komen dan masukkan cerita aku kedalam favorit kalian, ini karya pertama aku dalam menulis, mohon bantuan nya ya teman-teman terimakasih........