"Cium gue, terus semua masalah selesai."
"You're crazy!?"
"Kenapa gak? Sebentar lagi lo bakal jadi istri gue, jadi wajar dong kalau gue nyicil manisnya dari sekarang."
Kesya Anggraini Viorletta, gadis cantik, pintar, kalem, dan setia. Sayangnya, dia sudah punya pacar Kevin, ketua geng motor sekolah sebelah.
Menikah sama sekali gak pernah ada di pikirannya. Tapi wasiat almarhum papanya memaksanya menikah muda. Dan yang bikin kaget, calon suaminya adalah kakak kelasnya sendiri, Angga William Danendra cowok ganteng, atletis, populer, tapi badboy sejati. Hobi balapan, tawuran, keluyuran malam, dan susah diatur.
Bagi Angga, apa yang sudah jadi miliknya enggak boleh disentuh orang lain. Dia posesif, pencemburu, dan otoriter. Masalahnya, pacar Kesya ternyata musuh bebuyutannya. Dua ketua geng motor yang tak pernah akur, entah kenapa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Pertunjukannya
"Uhuk! Uhukk! Angga lepas lo bisa bunuh gue! Uhuk!"
Fika langsung terbatuk keras, suaranya terdengar parau bercampur panik. Nafasnya tersengal, seakan-akan udara yang masuk ke dalam paru-parunya sudah tidak cukup lagi. Kedua tangannya refleks meraih pergelangan tangan Angga, berusaha keras melepaskan cengkeraman kuat itu. Tapi percuma, kekuatan pria itu jauh di atasnya. Fika memberontak, tubuhnya menggeliat tak karuan, tapi justru membuat wajahnya semakin memerah dan pucat dalam waktu bersamaan.
Di sekeliling, suasana mendadak mencekam. Kedua teman Fika yang tadi berdiri dengan wajah percaya diri, kini justru terlihat menciut nyalinya. Mereka saling tatap dengan wajah ketakutan, bibirnya bergetar namun tak ada satupun kata keluar. Bahkan di luar sana suara ricuh mulai terdengar. Banyak siswa sudah berkerumun, saling berdesakan ingin melihat apa yang sedang terjadi di balik pintu toilet itu. Suara bisik-bisik, teriakan tertahan, bahkan ada yang histeris kecil bercampur dengan rasa penasaran.
Dari balik pintu yang terbuka setengah, tampak dua sosok laki-laki berdiri santai Rafa dan Arel. Mereka berdua seperti penonton yang sedang menikmati sebuah pertunjukan.
"Kan apa gue bilang? Pertunjukannya udah dimulai. Cukup menarik ya."
Rafa berucap dengan nada santai, bahkan sambil mengusap dagunya seolah sedang menilai sebuah adegan drama. Tidak ada sedikitpun niatan di wajahnya untuk mencegah Angga, justru sebaliknya, tatapannya memancarkan kepuasan.
Arel yang berdiri di sampingnya mengangguk kecil, bibirnya melengkung ke atas. "Agak ngeri sih. Ngeri-ngeri sedap tapi gue suka," sahutnya, suara rendahnya terdengar jelas di antara keributan.
Tanpa merasa terganggu dengan situasi kacau di dalam ruangan, Arel malah memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Tak lama dia mengeluarkan sebungkus rokok lengkap dengan pemantiknya. Dengan enteng ia menarik sebatang rokok, menempelkannya di bibir, lalu menyalakannya tanpa sedikitpun beban. Asap pertama yang keluar dari bibirnya mengepul tipis, seolah menjadi pengiring adegan menegangkan di depan matanya.
Sambil menoleh santai, Arel menyodorkan bungkus rokok itu ke Rafa. Dan tanpa ragu Rafa langsung menyambutnya.
"Ck nikmat mana lagi yang kau dustakan!" ujar Rafa, mengutip kalimat sinis seolah-olah ini hanya hiburan baginya. Ia menyenderkan punggung ke tembok, mengisap dalam-dalam rokok itu, lalu mengembuskan asapnya dengan tatapan dingin ke arah Fika yang masih tercekik.
Angga sendiri semakin keras menekan genggaman tangannya di leher Fika. Matanya tajam, wajahnya dingin tanpa ragu.
"Bukannya emang ini yang lo mau? Lo pikir punya apa lo sampai berani usik dia hm?" ucapnya penuh tekanan. Nada suaranya rendah, tapi begitu menusuk, seakan-akan setiap kata adalah pisau yang menancap ke dada Fika.
Di sampingnya, tangan Angga yang lain masih memeluk pinggang Kanaya. Posisi mereka jelas terlihat: Angga berdiri tegak, tubuhnya jadi penghalang kuat di depan Kanaya, sedangkan Fika terjebak di antara cengkeraman kejamnya.
"Lo salah paham Angga! Gue beneran gak ngapa-ngapain dia! Dia yang mulai duluan dia yang ngancem gue, nyuruh gue jauhin lo!" Fika berusaha bicara, meski suaranya patah-patah, tersendat karena kesulitan bernapas. Dengan wajah pucat, matanya melotot ke arah dua temannya.
"Kalian berdua! Ngomong dong! Apa lo berdua bisu hah!"
Wida dan Linda yang sejak tadi hanya terdiam, akhirnya membuka suara. Tapi suaranya bergetar, tubuh mereka pun jelas terlihat gemetar.
"I-iya! B-bener kata Fika Angga, Fika gak bersalah dia cuma coba membela diri. Kanaya yang duluan bikin masalah sama dia!" Linda bicara dengan terbata-bata, nadanya gugup setengah mati.
Wida ikut menimpali, meski belum sempat menyelesaikan kalimatnya. "Bener Angga. Kanaya yang tiba-tiba..."
"Heh!" potong Kanaya cepat, suaranya tajam menusuk telinga.
"Bakat lo dalam berakting ternyata hebat juga ya! Kenapa gak sekalian coba main film aja?" sindirnya sinis, dengan tatapan yang langsung membuat Wida terdiam.
Fika semakin panik. "Uhuk! Uhuk! Angga lo nyakitin gue! Lepas! Jangan dengerin ucapan dia! Itu semua bohong! Dia duluan yang uhuk!" Suaranya makin melemah, wajahnya semakin memucat. Dia berjuang keras hanya untuk menghirup udara, tapi genggaman Angga sama sekali belum mengendur.
Kanaya menatap kejadian itu dengan perasaan campur aduk. Dalam hatinya, ia bergidik ngeri.
"Rumor tentang badboy Pelita Bangsa yang kejam dan gak berperasaan ternyata bener. Dia beneran gak pandang bulu!" batinnya, sempat merinding melihat tatapan tajam Angga pada Fika.
Namun di luar sana, suara-suara siswi lain justru berbeda.
"Astaga! Itu beneran Angga? Dia beneran nolongin Kanaya? Aaa, mau juga dong gue dipeluk kayak gitu!"
"Iya woi! Sosweet banget gila!"
"Mampus tuh si Fika! Ngaku-ngaku calon pacarnya, eh malah Angga belain Kanaya!"
"Kalau dibully Fika bisa ditolongin Angga, gue juga mau kali! Aaa!"
Kanaya menghela napas panjang, memejamkan matanya sesaat. Suara-suara bisik-bisik di luar itu makin lama makin nyaring, lebih mirip pengumuman masjid daripada bisikan rahasia.
"Gue gak boleh lama-lama di sini. Bisa makin melebar masalahnya kalau gue gak cepat bawa Kak Angga pergi. Sekarang aja, grup lambe turah pasti udah rame sama kejadian ini!" batinnya gusar.
Angga semakin mendekatkan wajahnya ke Fika, suaranya rendah tapi jelas penuh ancaman. "Gue paling gak suka ngulang kalimat. Dan ini peringatan terakhir buat lo. Jangan pernah sentuh Kanaya atau lo habis di tangan gue. Seujung kuku aja lo berani nyakitin dia, gue gak akan segan!"
Kanaya buru-buru berbisik pelan, tepat di samping telinga Angga. "Kak lo bisa beneran bunuh dia! Lepasin, gue gak mau masalahnya makin panjang!"
"Dia udah..."
"Gue tau! Tapi gue gak apa-apa sebentar lagi bel masuk. Biar gue sama dia yang urus nanti!" sela Kanaya cepat, lalu menatap tajam Fika.
Dalam hatinya, ia mencibir. "Heh ini yang dibilang calon pacarnya Kak Angga? Cih bahkan cowoknya pun lebih belain gue ketimbang dia!"
"Lo sadar gak sih kalau kita sekarang jadi pusat perhatian?" bisik Kanaya lagi, mendongak menatap anggy.
Angga hanya balik menatap dengan tajam. "Emangnya kenapa? Lo takut hm?"
Tiba-tiba...
Prit! Prit! Prit!
Suara peluit nyaring memecah suasana, diiringi teriakan melengking. "Sedang apa kalian semua di sini! Bubar! Bubarr!!" Suara itu jelas milik kepala sekolah Udin. Semua orang refleks menoleh, termasuk tujuh orang yang ada di dalam toilet.
"Ck, si kepsek ini ngacauin suasana hati gue aja!" gerutu Rafa, sambil menjatuhkan puntung rokok ke lantai dan menginjaknya asal.
Kanaya menepuk jidat pelan, wajahnya jelas kesal. "Tuh kan! Apa gue bilang!"
Tiba-tiba..
Set! Grep!
"Aaa!!" Kanaya menjerit kecil, kaget setengah mati ketika tubuhnya tiba-tiba diangkat Angga dalam posisi bridal style. Refleks, tangannya melingkar ke leher Angga.
"Kak! Lo mau ngapain sih! Lo gak liat..."
"Diem! Nurut kata gue kalau lo gak mau kena masalah!" sela Angga dingin, lalu melangkah keluar dengan tenang.
Kanaya terpaksa memejamkan mata, menyembunyikan wajahnya ke ceruk leher Angga.
"Astaga! Ini manusia satu mau ngapain lagi sih!" batinnya panik.
Saat melewati Rafa dan Arel, Angga berkata datar, "Lo berdua urus mereka. Gue bawa Kanaya ke UKS."
Rafa hanya mengangkat alis, sementara Arel mengedikkan bahu santai.
Tak lama, kepala sekolah sudah menghadang. "Loh Angga? Ada apa ini? Dia kenapa?" tanyanya sambil menunjuk Kanaya di gendongan Angga.
"Pingsan. Saya harus bawa dia ke UKS," jawab Angga singkat, lalu terus melangkah pergi.
"Ck sebentar banget hiburan gue!" gumam Arel sambil melangkah gontai, diikuti Rafa.
Namun Udin cepat menahan langkah mereka. "Rafa, Arel, ada apa sebenarnya terjadi? Yang digendong Angga tadi siapa?"
Rafa menyeringai miring. "Bapak liat tiga cewek di belakang? Itu mereka yang bikin ribut, bahkan berani main tangan sama Kanaya. Sebagai kepala sekolah yang bertanggung jawab, Pak Udin pasti udah siap kasih hukuman yang pantas kan? Masa cuma kita bertiga doang yang selalu kena?"
Fika buru-buru maju, suaranya keras penuh pembelaan. "Gak Pak! Itu semua bohong! Kanaya yang muter balikkan fakta! Dia yang pukul saya duluan! Saya gak ngapa-ngapain! Bapak harus hukum dia bukan saya!"
Rafa mendengus sinis. "Ck dasar pick me!" gumamnya.
Fika mendengar itu, wajahnya menegang, tangannya mengepal. Dalam hatinya, ia bergumam licik.
"Rafa ini playboy Pelita Bangsa. Kalau gue bisa deketin dia hidup gue bisa lebih baik. Angga terlalu sulit gue gapai, kenapa gak coba cari simpati temannya dulu?" Sekilas, senyum licik terukir di bibirnya.
"Ayo El," ucap Rafa, memberi kode pada Arel untuk pergi.
Namun sebelum ia benar-benar pergi...
Set! Grep!
"Eh Rafa! Jangan gitu dong sama gue! Gue beneran gak salah!" Fika buru-buru memeluk lengan Rafa.
Arel berbisik malas. "Ck kayaknya lo bakal jadi target selanjutnya. Sulit dapetin Angga, jadi lo jadi sasaran sampingannya."
Rafa mendengus kecil. "Heh lo tau istilah playboy berkelas? Gue juga pilih-pilih kali."
"Lepas! Masalah lo bukan urusan gue. Kalau mau jelasin, jelasin ke Angga. Simpan aja penjelasan lo, siapa tau besok lo masih beruntung bisa nginjekin kaki di sini," ujar Rafa dingin, menepis tangan Fika.
"Apa maksud lo..."
"Cabut Rel," potong Rafa, lalu berjalan pergi.
"Rafa! Gue belum selesai ngomong! Rafa!!" teriak Fika kesal, menghentakkan kakinya keras ke lantai.
Sementara itu, suara kepala sekolah terdengar tegas. "Fika, ikut saya ke kantor."