Hanya karena uang, Dira menjual rahimnya. Pada seorang pria berhati dingin yang usianya dua kali lipat usia Dira.
Kepada Agam Salim Wijaya lah Dira menjual rahim miliknya.
Melahirkan anak untuk pria tersebut, begitu anak itu lahir. Dira harus menghilang dan meninggalkan semuanya.
Hanya uang di tangan, tanpa anak tanpa pria yang ia cintai karena terbiasa.
Follow IG Sept ya
Sept_September2020
Facebook
Sept September
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makeover
Rahim Bayaran #32
Oleh Sept
Gadis itu betul-betul kaget, karena mendapati sang suami berada dalam kamarnya. Malu karena hanya mengenakan handuk, Dira langsung masuk ke kamar mandi.
Klek
Dira mengunci pintu kamar mandi dari dalam, melihat hal itu. Agam hanya mampu tersenyum tipis.
"Dira, Saya berangkat dulu. Nanti kalau butuh apa-apa bilang sama Bibi." Teriak Agam agar Dira mendengar suaranya dari balik pintu.
"Iya!" sahut Dira tanpa membuka pintu.
Setelah terdengar pintu kamarnya ditutup, Dira pun buru-buru keluar dan menganti baju. Setelah berpakaian rapi, ia pun mengintip. Apa suaminya sudah berangkat?
Lewat deru mobil yang terdengar, sepertinya suaminya sudah berangkat kerja.
Dira pun lesu, tadi waktu ada suaminya di dalam kamar ia jual mahal. Langsung kabur, setelah suaminya pergi. Ia merasa kehilangan.
Sekarang gadis itu binggung mau ngapain hari ini, bosan bila cuma nonton TV. Tidak punya teman di kota ini, akhirnya ia pun hanya rebahan seharian ini.
Bila Dira sedang binggung tak ada kerjaan, situasi berbeda sangat terlihat kontras. Di sebuah perusahaan besar yang berpusat di kota besar itu.
Salim Wijaya Group, perusahaan itu kini sedang mengalami kendala. Harga saham mereka merosot tajam. Mungkin karena krisis global, membuat minat pasar jadi melemah.
Agam dan Robby nampak serius dengan tumpukan berkas di depan mereka.
"Robby, tolong jadwalkan meeting ulang dengan konsultan dari Malaysia itu. Sepertinya kita perlu melobi perusahaan mereka."
"Maaf Tuan, sepertinya akan sulit. Sebab Tuan sendiri yang melewatkan jadwal pertemuan sebelumnya."
"Apa? Tidak bisahkah kamu mengurusnya lagi?" Raut wajahnya mengeras, ada ketidakpuasan yang tergambar dengan jelas.
Begitu pun Robby, sebenarnya ia sangat kesal pada bosnya itu. Sibuk dengan istri baru hingga pekerjaan terbengkalai, kini ia yang repot. Harus menjadwal ulang ini dan itu. Yang punya kesibukan kan bukan hanya bosnya itu, rekan kerjanya juga pasti memiliki kesibukan masing-masing.
Robby hanya mampu membatin, karena permintaan Agam adalah sebuah perintah baginya.
"Baik, Tuan. Akan saya usahakan."
Saat matahari akan pulang, dan meninggalkan jejak jingga di langit sore. Robby sedang buru-buru menuju ruang kerja atasannya.
Tok tok tok
"Masuk!" terdengar suara dari balik pintu.
"Tuan, ada informasi yang menyembutnya. Bahwa bapak Sinclair, konsultan dari Malaysia akan ada di hotel Shilla malam ini, Beliau dan sang istri akan menghadiri sebuah acara di hotel tersebut sebagai tamu undangan VIP di sana."
"Lobby hotel Shilla, Saya akan ke sana malam ini."
Robby mengerutkan kening, "Tapi ini sepertinya acara berpasangan Tuan, apa perlu saya temani?"
"Tidak! Terimakasih!"
Robby pun memilin undur diri, sepertinya kehadiran dirinya sudah tak dibutuhkan lagi.
"Saya permisi dulu, Tuan!"
Agam mengangguk kemudian berbalik. Ia pun meraih telpon di atas mejanya. Bersiap menelpon orang di rumah. Repot juga bila Dira tak punya ponsel, sepertinya ia harus membelikan istrinya itu telpon gengam.
"Bi ... Dira di mana?" ucapnya di telpon.
"Sebentar Tuan ... Non Dira ... Non. Ada telpon dari Tuan Agam." Teriak Bibi dengan kencang, sudah mirip toa masjid.
Pria itu sampai menjauhkan gagang telpon dari telinga, takut gendang telinganya rusak. Saking cemprengnya suara si Bibi.
"Iya, Bi!"
Dira bergegas keluar kamar, ia langsung mengangkat telpon dari suaminya itu.
"Hallo, Mas."
"Siap-siap, sekarang!" ucap Agam tanpa ba bi bu. Membuat Dira bengong.
"Mau ke mana, Mas?"
"Sudah, jangan banyak tanya."
Klek
Tut tut tut
Telpon terputus.
"Memang mau ke mana? Apa ke rumah sakit lagi ketemu Mbak Agata?" Dira langsung layu, memikirkan istri pertama suaminya membuat ia jadi sadar sesadarnya.
Berharap pada Agam, hanya seperti menabur cuka di atas lukanya. "Dasar punguk yang merindukan rembulan!" batinnya kesal.
Satu jam kemudian.
Dira sudah terlihat rapi, memakai baju sederhana. Atasan renda dan rok di bawah lutut, dari pada jadi istrinya Agam, Dira malah terlihat seperti anaknya. Mungkin karena dandanan yang polos dan seperti remaja desa itu. Membuat Dira nampak lugu, sederhana, polos dan seperti remaja pada umumnya.
Saat Agam datang, pria itu langsung mencari Dira.
"Bi, di mana Dira?" tanya Agam yang begitu pulang hanya ketemu Bibi.
"Ada di samping rumah, Tuan."
"Ngapain?"
"Kurang tahu, Tuan."
"Dira ... Dira!" teriak Agam dengan suaranya yang berat. Ia sedang diburu waktu. Bukan saatnya main-main petak umpet dengan istrinya itu.
Dilihatnya Dira dari jauh, gadis itu malah beramain di pingir kolam.
"Dira ... ayo!"
Mendengar namanya dipanggil, Dira pun menoleh. Karena kaget, kakinya terpeleset dan jatuh ke kolam renang.
"Ish!" Agam mendesis.
Ada-ada ulah si Dira, ia itu sedang buru-buru. Pakai acara nyebur kolam segala.
"Bisa ngak selalu hati-hati?" tatap Agam dengan tajam. Sembari tangannya terulur untuk membantu Dira naik ke atas.
Gadis itu, bukannya takut saat ditatap tajam oleh singa yang lagi ngamuk. Malah sibuk memeras rambutnya yang basah kuyup.
"Dira! Kamu dengar saya, ngak?"
Dira langsung menghentikan aksinya, kini ia menatap balik pada pria yang hobby ngomel-ngomel itu.
"Iya, maaf. Kolamnya jadi kotor. Nanti Dira bakal bantu mamang buat uras kolam renangnya," ucapnya kemudian sembari menunduk.
"Sudah sana! Ganti baju!"
"Baik!"
Dira pun meninggalkan Agam, selepas kepergian Dira. Agam mengeleng keras kepalanya. Pikiran-pikiran aneh sudah mulai merasuki kepalanya.
Sedikit demi sedikit, otaknya sudah terkontaminasi oleh bayang-bayang Dira. Ingin menghilangkan visual Dira setelah terjebur tadi. Agam memilih kembali ke ruang tamu sambil menunggu.
Sesaat kemudian, Dira keluar dengan memakai baju kurung yang sangat jadul.
"Dira, apa kamu tidak punya baju lain?" Mata Agam shock melihat pemandangan di depannya.
Dira mengeleng.
Oke! Fix, sepertinya Agam harus melakukan renovasi terhadap istrinya tersebut.
Di sebuah boutique kenamaan di pusat kota, Agam sedang mengambil baju-baju dan langsung menyerahkan pada pelayan untuk segera di masukkan ke keranjang.
Sementara Dira di belakangnya hanya mengekor bagai anak itik yang mengikuti induknya.
Waktu Agam terbatas, ia tak mau buang-buang waktu. Jika menunggu Dira memilih sendiri, bisa-bisa sampai subuh. Karena hanya pegang kemudian tak jadi beli saat melihat label harganya.
Ketika dirasa barang yang ia ambil sudah bisa memenuhi lemari di kamar Dira, Agam lantas meminta pelayan untuk membantu Dira guna menuju ruang ganti.
"Pakai ini!"
Agam mengulurkan sebuah gaun warna hitam.
Mulanya Dira merasa ragu mengenakan itu, akan tetapi sorot mata itu seolah memaksa tanpa mau mendengar kata penolakan.
Beberapa saat kemudian, Dira keluar dan pelayan menyibak kerai yang menjadi pemisah ruang ganti.
Di sana sudah ada Agam yang menunggu sambil duduk dan memainkan ponselnya.
"Perfect!" gumam Agam.
Dira nampak kurang nyaman dengan apa yang ia kenakan.
Ini adalah kali pertama ia menggunakan pakaian macam gaun seperti ini.
Cantik sih, hanya saja ini terlalu mahal untuk ia kenakan. Dira malah takut bila merusak gaun yang anggun, elegant dan terlihat mahal ini.
Dan juga, Dira takut bila lama-lama memakainnya. Takut masuk angin, sebab ada lubang di bagian belakang. Hatinya sebenarnya ingin tertawa, ia sudah mirip sundelbolong saja.
Setelah dari boutique, Agam kembali mengajak Dira ke tempat yang tak pernah didatangi oleh gadis tersebut.
Salon kecantikan.
"Permak dia!" titahnya pada make up artis yang tersenyum ramah pada Agam. Sepertinya ia terkesima dengan ketampanan Agam.
Setelah Agam pergi, tukang rias professional itu pun langsung melakukan aksinya.
"Mau ke pesta apa, Cin? Gaunnya cantik bener."
"Ah ... tau kan, ngak ngerti."
"Ih ... so sweet ... bakal dilamar ya? Ganteng banget pacarnya."
Dira hanya tersenyum getir, penuh dengan kepahitan. Pacar? Dia itu suami yang hanya mencintai istri pertamanya. Mengingat itu, wajah Dira langsung dipenuhi kesenduhan yang dalam.
Hampir satu jam wajah Dira direnovasi, paras ayu yang biasanya natural tanpa polesan bedak dan lipstick itu. Kini menjelma bak mau ikut kontes putri Indonesia, cantiknya kelewatan.
"Rajin-rajin perawatan dan dandan ya Cin ... kamu basicnya udah cantik. Kalau sering dipoles, Selenaa Gomess, Laura khiel, Jenny, Lisa, Suzy lewat!" celoteh tukang rias itu dengan asal.
Dira hanya tersenyum garing, dari nama yang disebut orang itu. Tak satupun yang Dira tahu.
"Coba berdiri!" Sang make up artis pun membatu Dira berdiri dan merapikan gaunnya.
"Coba deh muter ... kamu cantik banget aih!" celotehnya lagi.
Dira nurut saja, disuruh muter ya muter saja. Ia tidak memperhatikan, sepasang mata sedang terpesona dengan kecantikan batu safir yang baru dipoles itu.
Bersambung
Mohon dukungan semuanya. Terimakasih.
Yang punya Instagram, yuk kenalan.
IG : Sept_September2020
i