Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang  berbeda. Bahkan status kita pun berubah.. 
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. UNGKAPAN WIRA
Sementara itu..
Di sudut taman rumah sakit itu, Naya berjalan tanpa memakai alas kaki. Berolah raga ringan sembari menikmati hangatnya mentari pagi yang menerobos taman itu. Bersenandung ria seraya meresapi sejuknya udara di pagi ini.
Hari ini usia kandungannya genap memasuki 32 minggu. Tubuhnya terlihat lebih berisi dari biasanya. Pipinya yang chubby tampak begitu menggemaskan. Rambut ikalnya yang warna hitam seolah menari - nari berirama bersama semilir angin di pagi itu.
"Innaya ... " panggil Wira dengan senyum penuh kehangatan.
"Dokter Wira.." Naya berjalan mendekat ke arah dokter Wira. Sebuah senyuman hangat terlukis di sudut bibir warna ceri milik Naya.
"Ada kabar bagus untukmu. Mulai besok kamu bisa keluar dari rumah sakit ini. Kamu menunjukkan perkembangan yang sangat bagus. Tapi tetap saja kamu mesti kontrol 1 minggu sekali."
"Benarkah itu dokter?"ucap Naya dengan senyum cerianya. Sebuah senyum yang telah lama hilang dari kehidupan Naya, namun kini senyuman itu perlahan mulai kembali lagi.
"Terima kasih dokter. Terima kasih." ucapnya penuh haru. Tangannya secara reflek memeluk tubuh sang dokter. Gerakan sesaat efek kebahagiaannya, namun mampu membuat detak jantung Wira berdegup dengan begitu kencang.
Naya yang menyadari sikapnya sudah melewati batas, bergegas melepas pelukannya. "Maaf dok.. aku terlalu bahagia." ucapnya dengan senyum yang tulus.
"Cantik.." ucap Wira dengan nada yang lirih namun tetap terdengar dengan jelas di telinga Naya.
"Dokter bicara apa?" ucapan Naya terpotong tatkala kehadiran Laras memecah kebersamaan mereka.
"Sayang ... Kamu disini? Aku mencarimu kemana - mana. Ternyata kamu bersama wanita hamil ini." ucap Laras dengan nada angkuhnya.
Wira memijit pelipisnya sesaat. Mencoba menahan emosinya yang membuncah. "Sudah aku bilang... Hentikan Laras. Kita tidak pernah ada hubungan apapun selain rekan dokter. Jangan pernah menyebar berita yang tidak benar."
"Sayang .. Kenapa kamu berbicara seperti itu? Bukankah malam itu kita berbagi peluh bersama. Bahkan kamu menyebut namaku di puncak kenikmatan kita." ucapnya dengan nada sedihnya.
"Aku tidak menyangka kamu melupakan malam panas yang kita lalui bersama. Padahal malam itu kamu berjanji akan menikahiku."
Naya yang merasa kurang nyaman ditengah pertengkaran kedua orang itu akhirnya angkat bicara.
"Maaf saya permisi dulu. Silahkan lanjutkan percakapan kalian." Naya pun beringsut pergi dari sana.
"Jadi wanita itu yang membuatmu berpaling dariku? Wanita hamil yang tidak jelas siapa yang menghamilinya? Apa kurangku Wira? Aku kaya, dan bahkan aku lebih cantik darinya, pendidikanku juga tinggi. Tapi kenapa kamu lebih memlilihnya? Dia tidak pantas untukmu Wira." teriaknya dengan begitu histeris.
Pertengkaran mereka di tengah taman itu menjadi pusat perhatian banyak orang. Sayup - sayup seluruh penghuni rumah sakit itu mulai membicarakan kedekatan mereka.
"Cukup Laras.. Hentikan!! Tindakanmu sudah diluar batas. Jangan salahkan bila aku diluar kendali." Dengan emosinya yang belum mereda Wira meninggalkan Laras sendirian di taman itu.
Sorot mata Laras menajam, tangannya terkepal kuat. "Tunggu pembalasanku wanita sial.. Aku akan membuatmu menyesal sudah merebut Wira dariku. Tidak ada seorangpun yang bisa memilikimu selain aku."
"Innaya tunggu.." Panggil dokter Wira dengan suara baritonnya.
Naya berhenti sejenak mendengar panggilan Wira. Wajahnya menunduk seolah menyembunyikan rasa gugupnya.
"Kenapa kamu pergi? Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu. Ayo kita kesana." tunjuknya ke salah satu tempat duduk yang berada di depan kamarnya.
Mereka berdua berjalan beriringan. Waktu seolah melambat namun detak jantung Wira bak genderang perang, menabuh dengan begitu cepat.
Entah sejak kapan perasaan Wira mulai tumbuh, yang jelas semakin lama perasaan itu semakin bersemi. Perasaan ingin memiliki dan melindungi yang begitu besar tersemat dalam hatinya.
Duduk berdampingan. Di bangku yang sama menjadi momen yang langka di pagi itu. Momen langka bagi seorang dokter Wira yang terkenal galak dan ketus kini duduk dengan wajahnya yang berseri dan senyumnya yang penuh arti.
"Innaya... Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Dengarkan saja terlebih dahulu.. Tidak perlu terburu - buru untuk menjawabnya.. " ucap dokter Wira dengan nadanya yang serius. Sorot matanya seolah mengunci pergerakan Naya.
Naya hanya menatap dalam wajah serius dokter Wira, sesekali menatap ke arah lain untuk menghilangkan rasa gugup yang datang menyerangnya secara tiba - tiba.
Perlahan tangan dokter Wira menggenggam jemari Naya dengan penuh kelembutan. Menatap Naya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Sorot mata yang penuh ketenangan namun disaat yang bersamaan mampu mengintimidasi lawan bicaranya.
"Mungkin aku bukanlah tipe pria yang bisa berkata romantis kepada wanita. Namun perlu kamu tau... Satu hal yang menjadi tujuan hidupku saat ini hanya satu.. " ucap Wira dengan nafasnya yang tertahan.
"Maukah kamu menjadi tujuan akhir dalam hidupku? Menjadi tempatku pulang disaat ku susah dan senang. Mungkin bagimu semua ini terlalu tiba - tiba. Namun aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Setelah kamu melahirkan aku ingin menikahimu."
Nafas Naya tercekat. Lidahnya terasa kelu walau hanya untuk sekedar menjawab iya ataupun tidak. Untuk pertama kalinya ia mendapat sebuah ungkapan perasaan dari seorang pria. Seorang pria yang baru dikenalnya belum genap enam bulan ini. Dan parahnya pria itu adalah orang yang membantu kesembuhannya yaitu sang dokter.
Perlahan ia melepas genggaman tangan dokter Wira. Setetes air mata lolos begitu saja dari sudut matanya.
"Maaf.. Maaf dok.. saya tidak bisa menerimanya. Saya belum siap untuk membuka hati. Saya terlalu takut untuk memulainya lagi. Dokter adalah pria yang baik. Saya yakin dokter bisa menemukan kebahagiaan dari wanita lain, dan yang jelas bukanlah dengan saya."
Naya meninggalkan dokter Wira begitu saja. Mentalnya mungkin berangsur sembuh, namun tidak dengan hatinya. Hatinya seolah tertutup rapat, membatasinya untuk tidak mengulang kembali kesalahan yang sama. Membatasi hatinya untuk tidak terluka lagi.
Naya pun berjalan cepat. Meninggalkan tempat itu dengan suasana hatinya yang buruk. Bergegas ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan rapat.
Tangis Naya pecah. Dadanya terasa sesak. "Aku tidak mungkin bisa menerimanya. Aku tidak ingin terluka lagi. Aku hanya ingin hidup tenang membesarkan anakku. Maafkan aku dok.. aku hanyalah perempuan hina. Sampai kapan pun aku tidak akan pantas bersanding dengan siapapun."