Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10 -- aruna yang ceria
Suara jarum jam terdengar begitu jelas di ruangan itu—tik… tak… tik… tak—seolah mengukur kesabaran yang kian menipis dalam dada Naya.
Udara rumah sakit yang steril beraroma obat membuat dadanya terasa sesak. Ia duduk di kursi roda di sisi ruangan, menatap kosong ke arah jendela yang separuh tertutup tirai putih.
Tubuhnya masih lemah, kakinya terbalut perban, dan luka di pelipis kirinya belum sepenuhnya kering. Namun yang paling sakit bukan luka di tubuhnya—melainkan amarah yang terbungkus rapat di balik senyum pucatnya.
Tangannya mencengkeram lengan kursi roda, jari-jarinya gemetar karena menahan emosi. “Semua ini gara-gara dia…” bisiknya nyaris tak terdengar, tapi penuh dengan kebencian yang mendidih.
Nama itu berputar di kepalanya seperti mantra terkutuk—Aruna.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi setiap kali ia mencoba melupakan, potongan kenangan malam itu kembali datang.
Jeritan ban, dentuman keras, dan pandangan sekilas dari balik kaca depan mobilnya sebelum semuanya gelap.
Mobil merah.
Ia masih ingat—warna menyala yang berhenti beberapa meter dari tempat kejadian. Mobil itu tak bergerak sedikit pun. Hanya diam. Menatap.
Dan sebelum kepalanya terbentur keras dan kesadarannya menghilang, ia yakin melihat seseorang di balik kemudinya. Seseorang yang menatap mereka dengan pandangan dingin… nyaris tanpa ekspresi.
“Mobil itu…” gumamnya pelan. Matanya menyipit, berusaha mengingat lebih jelas.
Bayangan samar wajah perempuan itu mulai terbentuk di pikirannya—senyum tenang, mata yang dalam, dan sorot yang membuat darahnya membeku.
Aruna.
Naya mendadak membuka mata, napasnya terengah. Tapi pikirannya menolak, menepis keras-keras kemungkinan itu.
Tidak mungkin… tidak mungkin itu dia. Aruna bersamaku malam itu. Ia bahkan berpamitan di depan semua orang, dan pulang bersama orang tuanya.
Namun, semakin ia mencoba menolak, semakin kuat perasaan itu menggigit pikirannya. Sebuah bisikan halus muncul di relung hatinya—bagaimana kalau selama ini Aruna hanya berpura-pura?
Naya memalingkan pandangan ke arah ranjang di sisi ruangan.
Andrian terbaring di sana, wajahnya pucat di bawah cahaya lampu putih. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, menandakan betapa parahnya kecelakaan itu.
Ada sedikit rasa iba yang melintas, tapi lenyap seketika ketika Naya teringat siapa yang menyebabkan semua ini.
Tatapannya melunak sesaat—lalu mengeras.
Ia mengulurkan tangannya, menyentuh ujung ranjang tempat Andrian berbaring. “Andrian… aku janji, aku akan mencari tahu siapa yang membuat kita seperti ini,” bisiknya dengan nada getir.
Namun saat kata-kata itu keluar, dalam benaknya hanya ada satu nama.
Aruna Surya.
Ia menegakkan punggungnya pelan. Tatapannya kini tajam, menusuk, dan dingin seperti bilah kaca.
“Kalau benar itu kau, Aruna…” katanya lirih, nyaris seperti bisikan iblis, “aku akan pastikan kau merasakan hal yang sama. Aku akan hancurkan semuanya—satu per satu.”
Hening kembali menyelimuti ruangan. Hanya suara alat monitor jantung Andrian yang berdetak tenang.
Namun di mata Naya, yang kini berkilat gelap, terpatri tekad yang tak akan pernah padam.
Ia tahu dirinya masih lemah sekarang. Tapi begitu kakinya mampu berdiri lagi…
...----------------...
“Aruna, Sayang, coba angkat sedikit bagian bawah gaunnya—ya, begitu. Jangan sampai terseret lantai, nanti kotor sebelum hari H.” Suara lembut Ny. Surya terdengar khawatir, sambil berjongkok memegangi sedikit ujung gaun itu.
Aruna tertawa kecil, memutar matanya gemas. “Ibu, ini baru fitting, bukan hari pernikahan sungguhan. Kalau sedikit kotor pun masih bisa dicuci, kok,” ujarnya sambil menahan tawa.
Ny. Adikara ikut tersenyum, menepuk pelan tangan Ny. Surya. “Biarkan saja, Ny. Surya. Anak muda memang begitu, kalau terlalu dijaga justru makin penasaran ingin berlari-lari dengan gaun sepanjang itu.”
“Iya, betul sekali, Ny. Adikara,” timpal Aruna sambil menoleh genit ke ibunya. “Lihat kan, Ibu, aku dapat pembelaan.”
“Dasar bawel!” Ny. Surya mencubit manja lengan putrinya, tapi tidak bisa menahan tawa saat melihat ekspresi kocak Aruna yang berpura-pura meringis kesakitan.
Ruangan butik itu terasa hangat oleh canda dan tawa. Di antara deretan gaun putih, aroma lembut parfum bunga bercampur dengan suara lembut musik klasik yang mengalun dari speaker. Para staf butik tersenyum melihat interaksi dua keluarga yang begitu akrab dan penuh kehangatan.
“Aruna, sayang, boleh putar sekali lagi? Aku ingin memastikan lipatan bagian belakangnya jatuh sempurna,” kata salah satu penjahit senior butik sambil membawa pita ukuran.
“Baik, Bu.” Aruna berputar pelan, membiarkan gaunnya mengembang. “Bagaimana? Aku sudah seperti putri kerajaan belum?”
Nada suaranya penuh percaya diri, matanya berkilat usil.
Tuan Surya, yang dari tadi duduk membaca katalog bunga pernikahan di sudut ruangan, hanya mengangkat alis. “Putri kerajaan tidak sebanyak itu bicara, Aruna.”
“Yah, Ayah ini… kenapa tidak memuji saja sih?” Aruna menatapnya protes, kedua tangannya di pinggang. “Biasanya ayah selalu bilang aku cantik.”
Ny. Surya tertawa geli. “Ayahmu sedang menahan diri supaya tidak dimarahi calon besannya nanti. Nanti dibilang terlalu memanjakan anak perempuan.”
“Tidak apa-apa,” sahut Ny. Adikara dengan tawa lembut. “Justru itu hal paling indah—melihat seorang ayah yang begitu menyayangi putrinya. Saya sendiri jadi teringat masa muda dulu saat menyiapkan pernikahan.”
Tatapan Aruna melembut. Ia berjalan mendekati Ny. Adikara dan menggenggam tangannya pelan. “Terima kasih, Ny. Adikara. Saya benar-benar merasa diterima dengan sangat hangat oleh keluarga Adikara.”
“Tidak perlu memanggil saya terlalu formal begitu,” ujar Ny. Adikara lembut, menepuk tangan Aruna. “Panggil saja ‘Ibu’, seperti anak sendiri.”
Sekilas mata Aruna bergetar. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya—perasaan diterima, sesuatu yang dulu jarang ia rasakan bahkan ketika hidupnya penuh pujian palsu. Kali ini, kehangatan itu nyata.
“Ibu…” ucapnya pelan, lalu tersenyum malu-malu. “Baiklah, Ibu.”
“Bagus.” Ny. Adikara tersenyum lebar. “Sekarang aku resmi punya satu anak perempuan lagi.”
“Wah, Ayah, dengar itu!” Aruna menoleh ke Tuan Surya dengan gaya dramatis. “Aku punya dua ibu sekarang. Siap-siap saja kalau aku makin manja!”
“Jangan ditambah lagi kebiasaan manjamu, Nak,” sahut ayahnya dengan tawa menahan kesal. “Satu ibu saja sudah cukup membuat rumah ramai setiap pagi.”
Semua tertawa serentak. Bahkan salah satu pegawai butik menutup mulutnya menahan tawa.
Aruna tertawa paling keras, lalu tanpa sadar menepuk-nepuk dadanya sambil berkata, “Ya ampun, Ayah! Aku ini calon pengantin! Jangan membuatku tertawa terus, nanti make up-ku bisa luntur sebelum dipakai!”
Tuan Adikara, yang selama ini hanya memperhatikan dengan mata tenang, tersenyum samar. “Rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat suasana sehangat ini. Kalian memang keluarga yang menyenangkan.”
“Tentu, Tuan Adikara,” jawab Tuan Surya sambil tersenyum. “Kami hanya berusaha agar hari bahagia ini tak terasa menegangkan. Lagipula, Aruna memang anak yang tidak bisa diam.”
“Benar itu,” sela Ny. Surya cepat. “Dari kecil mulutnya seperti mesin yang tidak pernah berhenti berbicara.”
“Ibu!” Aruna memprotes, tapi kemudian tertawa lagi. “Aku kan cuma aktif! Itu tanda cerdas!”
Semua yang mendengar ikut tertawa. Bahkan asisten dari keluarga adikara—yang baru saja masuk membawa beberapa dokumen dari mobil keluarga Adikara—nyaris tidak bisa menahan senyum di balik sikap profesionalnya.
Setelah sesi fitting selesai, Aruna duduk di sofa empuk di sudut ruangan, melepas sepatunya sambil menghela napas lega. “Akhirnya selesai juga! Rasanya berdiri tiga jam dengan gaun sepanjang ini lebih melelahkan daripada rapat direksi,” ujarnya sambil memijat pergelangan kakinya sendiri.
“Lihatlah,” goda Ny. Surya. “Kau baru jadi calon pengantin saja sudah mengeluh.”
“Ibu, ini bukan mengeluh, tapi refleksi diri!” sahut Aruna cepat, nadanya menggelitik. “Aku hanya menyadari betapa sulitnya menjadi pengantin yang terlihat anggun di depan semua orang.”
“Kalau begitu, latihanlah mulai sekarang,” kata Ny. Adikara tersenyum. “Kau harus membiasakan diri. Dunia akan menatapmu nanti, Aruna.”
Kata-kata itu membuat Aruna terdiam sejenak. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Ny. Adikara dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Ya, Ibu. Saya akan belajar.”
Ada kesungguhan di suaranya—tanpa kesan pura-pura. Di dalam hatinya, Aruna benar-benar berjanji untuk menghormati nama Adikara. Ia tahu, keluarga itu tidak sekadar kaya, tapi juga penuh martabat dan tanggung jawab besar.
Tuan Surya mendekat, menepuk pundak putrinya. “Kau akan melakukannya dengan baik, Nak. Kami semua tahu itu.”
Aruna menatap ayahnya, senyumnya lembut tapi matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Ayah. Aku akan membuat Ayah bangga.”
...----------------...
Beberapa saat kemudian, mereka semua berjalan keluar butik. Cahaya matahari sore menyambut, hangat dan lembut. Jalanan kota tampak ramai, namun entah kenapa, bagi Aruna, semuanya terasa indah.
“Ibu, lihat deh,” katanya sambil menunjuk ke arah toko bunga di seberang jalan. “Bunga peoni di sana warnanya cantik sekali. Cocok kalau dijadikan dekorasi pelaminan.”
Ny. Surya memandang arah yang ditunjuk putrinya. “Kau memang tidak pernah berhenti bicara, Nak. Baru keluar butik saja sudah memikirkan dekorasi.”
“Yah, pernikahan itu momen sekali seumur hidup, Ibu!” Aruna merangkul lengan ibunya manja. “Aku harus memastikan semuanya sempurna, dari bunga sampai warna taplak meja.”
Ny. Adikara terkekeh. “Kau benar-benar calon menantu yang detail, Aruna. Aku senang melihat semangatmu.”
Tuan Adikara menatapnya dengan tatapan ayah yang bangga. “Leo akan beruntung memilikinya.”
“Bukan hanya Leo,” tambah Ny. Surya lembut. “Kita semua beruntung melihat Aruna tumbuh sekuat ini.”
Aruna menatap mereka bertiga, lalu tersenyum malu-malu. “Sudah, ah. Nanti aku nangis. Padahal aku sudah dandan cantik.”
asisten keluarga adikara yang berdiri tak jauh dari sana sempat berdeham kecil, menahan senyum. “Mobil sudah siap, Nona Aruna.”
“Baiklah,” jawab Aruna sambil berbalik cepat, melangkah ke arah mobil dengan semangat. “Ayo, ayo semua! Aku sudah lapar, kita makan dulu! Hari ini aku traktir!”
“Traktir?” Tuan Surya mengangkat alis. “Kau yakin tidak ingin aku yang bayar?”
“Tidak, tidak,” jawab Aruna cepat. “Hari ini aku yang jadi pusat perhatian, jadi aku yang bayar. Aku harus menunjukkan kalau calon istri Adikara juga bisa mandiri dan dermawan!”
“Kalau begitu, aku pesan menu paling mahal,” celetuk Ny. Adikara sambil tertawa.
“Silakan, Ibu! Asal jangan pesan restoran seluruhnya!” balas Aruna dengan gaya bercanda, membuat semua orang kembali tertawa.
Restoran yang mereka datangi sederhana tapi elegan—nuansa kayu hangat dan aroma teh melati memenuhi udara. Aruna duduk di tengah, memesan makanan dengan gaya riang khasnya.
“Dua porsi steak, satu salad, tiga teh hangat… oh! Dan satu dessert cokelat. Untuk siapa ya dessert-nya?” Ia berpura-pura berpikir, lalu menunjuk dirinya sendiri. “Untukku, tentu saja!”
Ny. Surya menepuk dahi. “Anak ini benar-benar tidak berubah.”
Ia memang masih bawel, masih suka bercanda dan membuat suasana ramai. Namun di balik semua keceriaan itu, ada hati yang penuh tekad. Ia memilih jalan barunya dengan tulus—bukan karena terpaksa, tapi karena ia benar-benar ingin memulai hidup baru yang damai.
Dan sore itu, di tengah kehangatan keluarga dan cahaya matahari yang lembut menembus jendela restoran, Aruna tersenyum.
Untuk pertama kalinya, ia tidak memikirkan masa lalu.
Yang ia pikirkan hanyalah masa depan—dan seseorang yang terbaring diam, menunggu dalam hening.
Leo Adikara.