Demi harta Dirja rela melakukan pesugihan, pesugihan yang katanya aman. Tak perlu menumbalkan nyawa, hanya perlu menikah lagi saja. Semakin Dirja menikah dengan banyak wanita, maka harta yang dia dapatkan juga akan melimpah.
"Ingat, Dirja! Kamu harus menikah dengan wanita yang memiliki hari spesial, seperti wanita yang lahir pada malam satu suro. Atau, wanita yang lahir pada hari Selasa Kliwon."
"Siap, Ki! Apa pun akan saya lakukan, yang terpenting kehidupan saya akan jadi lebih baik."
Akan seperti apa kehidupan Dirja setelah melakukan pesugihan?
Benarkah pesugihan itu aman tanpa tumbal?
Gas baca, jangan sampai ketinggalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejadian Aneh
Damar terpaku di tempatnya, dia menatap Dea yang tiba-tiba jatuh terduduk di tanah karena ulahnya. Bukan karena hilang cinta, tapi amarah masih terasa membara akibat pertengkaran mereka, apa yang terjadi masih membelit dadanya.
Bibirnya mengeras saat mengingat kata-kata Dea yang menusuk, seolah hinaan itu melekat dalam dirinya. Ya, dia memang tinggal numpang di rumah ayah mertuanya sekarang, tapi itu bukan pilihannya.
Dia sudah punya pekerjaan di kota, tapi dipaksa berhenti oleh Dea, dia terperangkap dalam belenggu aturan yang tak adil bagi dirinya.
Namun, tatapan Damar segera berubah. Mata itu membesar saat menatap darah yang mengalir deras dari inti tubuh Dea. Panik mulai merayap ke dada.
Teriakan kesakitan istrinya pecah di udara. Hal itu membuat dirinya yang sedang berdiri seperti patung sekolah disadarkan, dia langsung menghampiri istrinya yang saat ini sedang tergeletak di atas lantai.
"Cepat bawa aku ke rumah sakit!"
Suara itu terdengar menggema mengguncang gendang pendengaran Damar. Damar langsung menggendong Dea dengan terburu-buru, dia menembus jalan berdebu ke Puskesmas terdekat.
Sesampainya di sana, perawat langsung mengarahkan Damar untuk segera masuk ke ruang IGD. Setelah masuk ke ruang IGD, Dea langsung ditindak oleh dokter. Sementara Damar hanya bisa berdiri terpaku, dia menahan rasa takut yang mencengkeram erat.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya dokter yang melakukan tindakan kepada Dea keluar dari dalam ruang IGD. Dokter itu mengajak Damar untuk masuk agar bisa melihat kondisi istrinya, dokter mengerutkan kening, suaranya pelan tapi tegas saat memberi kabar.
"Kandungan nyonya Dea lemah. Untung masih bisa diselamatkan.”
Damar menatap wajah Dea yang pucat, dadanya sesak. Walaupun hatinya masih diliputi amarah, tetapi tetap saja rasa sayang mengalahkan segalanya.
"Kamu dan nyonya Dea harus benar-benar jaga kesehatan. Kalau sampai tertekan atau kecapean, nyonya Dea bisa-bisa benar-benar keguguran.”
Dea mengangguk lemah, tubuhnya yang ringkih seolah mengingatkan bahwa ia harus ekstra hati-hati. Sayangnya, puskesmas itu belum punya ruang rawat inap.
Dokter memberikan selembar rujukan ke rumah sakit di kota. Namun, menatap kondisi Dea yang terlihat lemas, wanita itu menolaknya. Dengan suara serak wanita itu berkata.
"Aku--- aku minta rawat jalan saja.”
Damar menggenggam tangan Dea erat, dia menahan kekhawatiran yang merambat di dadanya. Dia merasa khawatir sekali melihat kondisi i istrinya yang sangat lemah.
"Aku janji akan jaga kamu, Dea.”
Dea menarik napas dalam-dalam, dia berusaha meyakinkan diri.
"Aku juga akan rawat diri sebaik mungkin. Supaya nggak ada hal buruk terjadi. Selain itu, kita tidak boleh bertengkar lagi."
Damar menatap Dea dengan tatapan serius, napasnya sedikit berat.
"Makanya, lain kali jangan ngomong yang aneh-aneh lagi. Biar aku nggak perlu marah.”
Dea mendongak, sorot matanya tajam. “Tapi kamu juga jangan kasar kayak tadi, ya. Aku nggak mau diperlakukan seperti itu.”
Damar mengangguk pelan, nada suaranya jadi lebih lembut. “Iya.”
Sore itu, mereka berdua pulang ke kediaman lurah Sukarta, dengan langkah yang pelan Dea mengayunkan kakinya. Begitu tiba, Srini segera mengambil alih putrinya, wajahnya penuh cemas saat menatap Dea yang tampak lemah.
Walaupun wanita itu begitu menyebalkan, tetapi tetap saja yang namanya seorang ibu selalu saja mencintai putrinya. Ia membelai rambut putrinya pelan, suara suaranya terdengar begitu lembut saat berbicara.
"Kamu tidur sama ibu saja, biarkan Damar di kamar tamu. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang ibu, ya."
Dea mengangguk pelan, matanya masih setengah tertutup. Damar menatap kamar tamu dengan ragu, sesekali melirik Srini yang sibuk memanjakan Dea. Ia tak berani mengeluh, takut kalimat sepatah pun dapat menimbulkan amarah mertuanya.
Malam menjelang, Dea sudah terlelap dalam tidurnya. Sepertinya obat dokter mengandung obat tidur, makanya wanita itu dengan mudahnya bisa terlelap.
Wajahnya tenang sekali. Srini pun ikut terlelap, dia memeluk putrinya erat di atas ranjang yang sama, seperti menjaga dunia kecil mereka agar tak terganggu.
Di saat keduanya sedang terlelap, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar yang dibuka perlahan. Pelan sekali, tetapi tetap saja meninggalkan bunyi dari pintu yang terbuka itu.
kriet!
Namun, baik Dea maupun Srini masih tenggelam dalam mimpi, tak terganggu oleh suara itu. Suara itu seperti tidak ada artinya untuk keduanya.
Wussh!
Angin malam berhembus kencang, menggoyang-goyangkan gorden tipis yang menutupi jendela kamar. Hawa dingin merayap masuk, membuat Dea segera menarik selimut sampai menutupi tubuhnya yang menggigil.
"Dingin," ujarnya lirih, hampir tak terdengar.
Namun, tiba-tiba selimutnya terasa tertarik. Dea membeku, matanya menyipit, tangan dengan cemas meraba ke bawah. Ketika jari-jarinya menyentuh bagian bawah selimut, ternyata gulungan kain itu tergeletak di kaki tempat tidur.
Dengan buru-buru ia menariknya kembali untuk menutupi tubuhnya, tapi lagi-lagi selimut itu seolah punya kehendak sendiri, tertarik dari ujungnya.
Dea membuka mata lebar, hatinya berdebar. Sekilas ia berharap melihat sosok suaminya, tapi kamar tetap hening dan gelap. Hanya suara napas ibunya yang tertidur di di atas ranjang miliknya.
"Aneh, siapa coba yang narik-narik selimut?" bisiknya penuh dengan tanda tanya.
Rasa panik mulai menyusup. Pikiran lain langsung terlintas. Mungkinkah suaminya bersembunyi di bawah ranjang? Mungkinkah suaminya masih merasa kesal dan ingin mengerjai dirinya?
Perlahan, Dea turun dari tempat tidur, tubuhnya menunduk, langkahnya seolah enggan mengundang perhatian. Ia berjongkok dan menatap ke dalam kegelapan kolong ranjang dengan detak jantung
"Nggak ada siapa-siapa," ujarnya lirih.
Karena ingin meyakinkan, dia kembali menunduk untuk melihat kolong ranjang. Kali ini dia melihat bulatan cahaya berwarna putih kekuningan di kolong ranjang itu, Dea mengulurkan tangannya untuk menyentuh cahaya itu.
"Argh!" teriak Dea karena dia merasa tangannya ada yang menarik dengan begitu kencang.
punya pikiran tidak sih Dea ini.
Egois, judes dan emosian
iblis kalau di turuti semakin menjadi membawamu makin dalam terperosok dalam kehinaan .
Dirja ,ringkih banget hatimu ,baru di katain begitu kau masukkan ke dalam hati terlalu jauh ,hingga punya pikiran melenyapkan kehidupan insan tidak bersalah yang baru berkembang.
semangat teh Ucu