NovelToon NovelToon
Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:20.2k
Nilai: 5
Nama Author: Shaa_27

“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”

Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.

Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.

Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.

Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

spam wa?

Malam itu di sebuah klinik kecil pinggir kota, suasana terasa tegang. Bau obat-obatan menusuk hidung, sementara suara monitor detak jantung terdengar samar. Di dalam salah satu ruang periksa, Bu Marni terbaring lemah di ranjang pasien. Selang infus menempel di tangannya, dan wajahnya tampak pucat pasi.

Seorang dokter paruh baya berseragam putih keluar dari ruang periksa sambil mencatat sesuatu di clipboard. Ia kemudian menghampiri Andi, yang sejak tadi mondar-mandir di depan ruang periksa dengan wajah gelisah.

“Mas Andi, ya?” tanya sang dokter.

“Iya, Dok… gimana keadaan Ibu saya?” suara Andi terdengar cemas.

Dokter itu menarik napas panjang lalu menatap Andi dengan nada serius, “Tekanan darah Ibu Anda sangat tinggi. Kalau tidak segera dijaga, ini bisa berbahaya—bisa menyebabkan komplikasi serius, termasuk stroke.”

Andi membeku. Tangannya mengepal, matanya menatap Ibu yang terbaring lemah dari balik kaca jendela kecil di pintu ruang periksa.

“Untuk sementara, kami beri obat penurun tekanan darah dan harus rawat inap satu malam,” lanjut dokter.

“Iya… iya, Dok. Tolong rawat Ibu saya baik-baik.”

Begitu dokter pergi, Andi mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tertekan. Namun belum sempat ia duduk, ponselnya bergetar keras di dalam saku celana.

Andi merogoh ponsel itu dengan geram.

“Siapa lagi malam-malam begini…” gumamnya.

Begitu layar menyala, Andi mengerutkan kening. Puluhan pesan dari nomor tak dikenal membanjiri notifikasi. Dengan jantung berdegup cepat, ia membuka salah satu pesan:

 [Tagihan Hutang]

Nama: Marni S.

Jumlah: Rp 37.000.000,-

Status: TERTUNGGAK 2 minggu. Mohon segera melakukan pembayaran.

Andi terdiam sesaat. Alisnya semakin berkerut ketika ia menggulir layar dan membaca pesan-pesan lain.

 “Kami menunggu pelunasan utang Anda sebesar Rp 15.000.000,- sebelum tanggal jatuh tempo.”

“Jika pembayaran tidak dilakukan, kami akan melakukan penagihan langsung.”

“Total tagihan Ibu Anda mencapai Rp 150.000.000,-. Mohon segera konfirmasi.”

Andi tercekat. “Apa-apaan ini…”

Telapak tangannya mulai berkeringat. Sejak kapan Ibu punya utang sebanyak ini? pikirnya kalut. Ia mencoba menelepon salah satu nomor itu, tapi tidak diangkat.

Ia memandangi Ibu yang terbaring dengan selang infus. “Ibu… sebenarnya Ibu ngelakuin apa?” gumam Andi lirih dengan suara bergetar.

Ponselnya kembali bergetar, kali ini bukan hanya pesan—tapi juga telepon dari debt collector. Jantung Andi berdetak makin cepat. Ia melangkah ke lorong yang lebih sepi dan menjawab dengan suara pelan.

“Halo…”

“Selamat malam. Ini kami dari pihak penagihan hutang Ibu Marni. Kapan kalian bisa melunasi? Sudah lewat tenggat waktu,” suara di seberang terdengar tegas dan dingin.

Andi menelan ludah. “Tunggu… ini pasti salah. Ibu saya nggak pernah—”

“Tidak salah, Pak. Semua atas nama Marni dan ada tanda tangannya. Kalau sampai besok tidak ada pembayaran atau kejelasan, kami akan menempuh jalur hukum.”

Tut… tut… Telepon diputus sepihak.

Andi terduduk di bangku lorong klinik, kedua tangannya menutupi wajahnya. Dadanya sesak. Beban yang sebelumnya sudah berat kini semakin menumpuk.

“Utang… ratusan juta… dari mana Ibu dapat semua ini?” gumamnya lirih.

Ponselnya kembali bergetar. Kali ini pesan masuk semakin banyak, notifikasi demi notifikasi membuat Andi benar-benar kehilangan arah.

Di ruang perawatan, Bu Marni mulai bergerak pelan. Andi menatap Ibunya dengan campuran rasa bingung, kecewa, dan takut.

★★★★

Pagi itu, mentari baru naik dari ufuk timur. Udara desa masih sejuk dan embun belum sepenuhnya menguap. Suasana tenang itu mendadak terusik ketika tiga orang pria berbadan besar melangkah masuk ke gang menuju rumah Bu Marni. Tubuh mereka tegap, pakaian serba hitam, dan cara mereka berjalan membuat warga desa langsung menoleh satu per satu.

“Eh… eh, itu siapa ya?” bisik seorang ibu kepada tetangganya.

Bu Lastri—wanita paling kepo se-RT—langsung berdiri dari bangkunya dan menyipitkan mata. “Waduh… itu kayak debt collector! Gayanya udah mirip banget!” gumamnya.

Warga mulai berdatangan, pura-pura menyapu atau menyiram tanaman, padahal semua mata tertuju ke tiga pria itu. Mereka berhenti tepat di depan pagar rumah Bu Marni.

Pria berkepala plontos yang sepertinya pemimpin dari ketiganya, mengetuk pagar. Suaranya berat dan dingin.

“Permisi. Ini rumah Bu Marni?”

Bu Lastri mendekat, tangannya bertolak pinggang. “Iya, ini rumah Bu Marni. Emang ada perlu apa, ya?”

Pria itu membuka map dari tas kecilnya. “Kami dari pihak penagihan aplikasi pinjaman online. Ini kunjungan pertama kami. Bu Marni tercatat menunggak pembayaran selama satu bulan dengan jumlah total tunggakan mencapai seratus lima puluh juta rupiah beserta bunga dan denda keterlambatan. Kami datang untuk menyampaikan peringatan awal.”

Seratus lima puluh juta. Angka itu meluncur dari mulut pria tersebut begitu tenang… tapi membuat semua orang di sekitar mendadak terkejut dan ribut.

“Seratus lima puluh juta?!” seru Bu Lastri refleks, lalu buru-buru menutup mulutnya tapi sudah terlambat—warga lain ikut heboh.

“Gila, banyak banget!”

“Utang pinjol segitu?!”

“Wah… parah ini mah…”

Dari dalam rumah, Maya dan Melati yang mendengar suara ribut langsung keluar. Maya masih dengan rambut acak-acakan, sementara Melati mengenakan daster kusam dan wajah bingung.

Melati membuka pintu pagar. “Ada apa, Pak?”

Pria plontos itu menatap mereka tajam. “Kalian keluarga Bu Marni?”

“Iya, saya anaknya,” jawab Melati gugup.

“Kalau begitu, tolong sampaikan ke ibu kalian. Kami datang untuk peringatan resmi pertama. Ini bukan main-main. Total tunggakan utang beliau saat ini Rp150.000.000. Jika dalam tujuh hari ke depan tidak ada itikad pembayaran atau kejelasan, maka kami akan naikkan kasus ini ke jalur hukum, dan ada kemungkinan penyitaan aset.”

“APAAA?!” Maya terpekik kaget.

Warga yang sedari tadi memperhatikan langsung tambah ramai.

“Waduh, tujuh hari doang tuh!”

“Pantes akhir-akhir ini Bu Marni keliatan murung.”

“Ya ampun… seratus lima puluh juta!”

Melati mulai panik, air matanya menggenang. “Tapi… ibu nggak ada di rumah, Pak. Ibu lagi di klinik…”

Pria itu tetap tenang, “Silakan sampaikan pesan ini. Kami akan datang lagi minggu depan. Kalau tidak ada perkembangan, kami tidak segan menempuh jalur hukum.”

Maya mengatupkan kedua tangannya gemetar. “Tapi Pak… kami nggak tahu soal utang ini…”

“Itu urusan keluarga kalian. Kami hanya menagih sesuai data dan perjanjian yang sudah ditandatangani oleh ibu kalian sendiri,” jawab pria itu tegas.

Para tetangga semakin riuh dan mulai mencibir.

“Pantes aja rumahnya sekarang sepi, rupanya lagi dikejar pinjol.”

“Dulu sombong banget sama Rani… sekarang kena batunya.”

“Kalau nggak bisa bayar, rumah bisa disita tuh!”

“BU LASTRI! Jangan asal ngomong!” bentak Maya dengan mata merah menahan malu.

Tapi Bu Lastri malah menaikkan dagu. “Lho, saya cuma bilang yang bener! Utang pinjol itu bukan main-main. Jangan bikin masalah di kampung ini!”

Pria-pria debt collector itu kemudian meninggalkan rumah Bu Marni setelah menyerahkan surat peringatan pertama. Maya terduduk di kursi depan rumah dengan tubuh lemas, sementara Melati mulai menangis sesenggukan sambil memegangi perutnya yang mulai sensitif.

“Gimana ini, Mel? Seratus lima puluh juta… dari mana kita dapet uang sebanyak itu?” bisik Maya dengan suara serak.

Melati terisak. “Aku… aku juga nggak tahu, May… Ibu nggak pernah cerita soal utang sebanyak itu…”

Warga masih saja bergosip di luar pagar.

“Kasihan sih… tapi ya salah sendiri.”

“Makanya jangan main pinjol.”

“Gimana Andi sekarang? Udah cerai pula sama Rani…”

Pagi itu, rumah Bu Marni yang dulunya ramai kini menjadi pusat perhatian penuh aib. Maya dan Melati hanya bisa saling pandang, menyadari hidup mereka baru saja masuk ke badai masalah besar.

1
Nur Hafidah
kasihan sekali,makanya jadi orangg jangan sombong,jaga ucapan
Nur Hafidah
Bu marni tidak tahu malu
Tini Uje
gila..gila sekalian aja buk marni nya thor kasian juga anak nya 😄..masukin rsj aja bukmar nya
penulis_pena: 🤣 masalahnya RSJ nya penuh 🤣
total 1 replies
Ayudya
terima Rani dari pada ntar kamu di nganggu terus ma nenek lampir🤣🤣🤣🤣
riya chan
Kok aneh ya awalnya si rani nggak ada anak tiba" ada anak aja thor nggak nyambung deh trus si rani nabungnya di kaleng kok tiba" ada di buku tabungan sih sebenarnya yg mana yg benar ,, thor maaf semoga bisa di rev
penulis_pena: 😭kak maaf kayaknya aku lupa deh
total 1 replies
Ayudya
lah emak nya Andi Uda gila tu
Ayudya
hancur hancur deh kamu andy
Aether
awokawok sampai tukang cilok pun kaget
Ayudya
lah mang urat malunya keluarga Andi Uda putus ya
penulis_pena: 😭 keluarga kek gitu gak pernah ada malunya kak
total 1 replies
Ma Em
Semoga Rani selalu bahagia dan Dion benar2 tulus mencintai Rani dan segera kan niat baiknya jgn ditunda tunda .
Ayudya
bahagialah kamu rani
Ma Em
Rani terima saja lamaran Dion dan setelah lepas masa idah bisa langsung nikah .
Sulfia Nuriawati
tenag hdup mu Rani drpd bela cinta batin tersiksa, lbh baik buang cinta beracun jd bs hdup tenang
Ayudya
nikmati kehancuran mu andi
Nur Hafidah
capek bgt punya suami dan mertua yang bisanya nuntut
Ayudya
semangat kak.cerita buat kita bisa belajar akan arti sebuah keluarga
penulis_pena: 🥹huaaa makasih kak 😍
total 1 replies
Ma Em
Semoga Rani semakin sukses serta Andi dan keluarga benalunya semakin terpuruk .
Ma Em
Bagus Rani kenapa tdk dari dulu kamu pergi dari Andi si mokondo dan keluarga benalu , semoga Rani bisa bertemu dgn lelaki yg baik yg tulus mencintai Rani bkn dijadikan ATM berjalan untuk suami dan keluarganya .
AlikaSyahrani
semoga memdapatkan jodo sang bisa menerima kamu apa adanya
bukan ada apanya🤲🤲🤲
Wanita Aries
Semangat membuka lembaran baru rani
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!