Anindita (40), seorang istri yang berdedikasi, menjalani kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna bersama Bima, suaminya, seorang insinyur. Namun, semua ilusi itu runtuh ketika ia mencium aroma sirih dan parfum vanila murahan yang melekat di pakaian suaminya.
Bima ternyata menjalin hubungan terlarang dengan Kinanti, seorang siswi SMP yang usianya jauh di bawahnya dan merupakan teman sekolah putra mereka. Pengkhianatan ini bukan hanya merusak pernikahan yang sudah berjalan delapan belas tahun, tetapi juga melukai harga diri Anindita secara telak, karena ia dibandingkan dengan seorang anak remaja.
Dipaksa berhadapan dengan kenyataan pahit ini, Anindita harus memilih: berjuang mempertahankan kehormatan keluarganya yang tercoreng, atau meninggalkan Bima dan memulai hidup baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansan Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keheningan yang Mematikan
Tiga minggu setelah kesepakatan damai yang dipaksakan oleh GEI, suasana di rumah Bima dan Anindita terasa seperti gencatan senjata di lahan ranjau. Perceraian berjalan mulus di atas kertas: hak asuh bersama, aset 50:50. Namun, keheningan di antara mereka jauh lebih mematikan daripada ledakan kemarahan. Anindita, yang selalu menjadi master pengontrol, kini lumpuh oleh rasa dipermalukan dan ancaman dari GEI. Ia bekerja dari rumah, ponselnya selalu disadap dan gerak-geriknya diawasi.
Bima menjalani hidup dalam ketakutan laten, sadar bahwa ia telah selamat dengan mengkhianati istrinya kepada entitas yang jauh lebih jahat.
Sore itu adalah jadwal Rayhan bersama Anindita. Bima mengantar Rayhan ke rumah. Saat Bima pergi, ia melihat Anindita mencium kening Rayhan dengan kehangatan yang langka, seolah takut melepaskannya.
Tragedi di Kolam Renang
Pukul 8 malam, Bima sedang rapat daring dengan Dani saat ponselnya berdering. Itu adalah nomor Anindita. Biasanya, Anindita hanya mengirim pesan singkat, tidak pernah menelepon.
"Halo?"
Suara yang terdengar di ujung telepon bukanlah Anindita yang dingin dan terkontrol, melainkan teriakan histeris yang menyayat hati, penuh kepanikan yang luar biasa.
"Bima! Cepat! Rayhan!"
"Ada apa? Ada apa dengan Rayhan?" Bima melompat berdiri, menjatuhkan kursinya.
"Dia... dia tidak bernapas! Dia di kolam! Ya Tuhan, Rayhan! Rayhan!"
Panggilan itu terputus.
Bima tidak sempat bertanya lagi. Ia mengambil kunci mobil dan melaju dengan kecepatan gila, membunyikan klakson tanpa henti.
Penemuan yang Menghancurkan
Ketika Bima tiba di rumah yang kini terasa asing, lampu di halaman belakang menyala terang. Sirene ambulans sudah meraung dari kejauhan.
Bima berlari ke kolam renang. Anindita sedang duduk di pinggir, tubuhnya basah kuyup, memeluk erat tubuh kecil Rayhan yang pucat. Paramedis segera menarik Rayhan dan melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP), tetapi sudah terlambat. Wajah Rayhan membiru, dan air kolam masih menetes dari seragam renangnya.
"Dia baik-baik saja, kan? Dia hanya tidur! Bima, katakan dia baik-baik saja!" Anindita berteriak, air mata dan air kolam bercampur di wajahnya.
Seorang petugas paramedis menggelengkan kepala dengan sedih kepada Bima. "Maaf, Tuan. Kami sudah terlambat."
Dunia Bima runtuh. Suara sirene, teriakan histeris Anindita, dan keheningan di tubuh Rayhan menyatu menjadi satu jeritan keputusasaan.
Pertanyaan yang Tak Terjawab
Setelah polisi datang dan tubuh Rayhan dibawa pergi, Anindita tidak menangis lagi. Ia duduk diam di ruang tamu, pakaian basahnya meneteskan air ke lantai marmer. Matanya kosong, tetapi raut wajahnya menunjukkan tekad yang membara.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Ndita?" Bima bertanya, suaranya serak. "Kolamnya dangkal! Rayhan sudah bisa berenang!"
Anindita menoleh perlahan ke Bima. Ada kilatan dingin di matanya—kilatan yang bukan hanya kesedihan, melainkan kecurigaan murni.
"Aku meninggalkannya sebentar," Anindita berbisik, suaranya mengerikan dalam ketenangannya. "Aku sedang menelepon Purbaya di dapur. Aku pergi hanya lima menit. Saat aku kembali, dia... sudah di bawah permukaan."
Polisi mencatat insiden itu sebagai kecelakaan murni. Anak kecil, kolam renang, kelalaian sesaat.
Tetapi Bima ingat sesuatu. Anindita adalah ibu yang paranoid, yang bahkan memasang alarm deteksi gerakan di sekitar kolam renang.
"Alarm kolamnya, Ndita! Kenapa tidak berbunyi?" Bima menuntut.
Anindita menatap Bima. "Alarmnya... mati. Aku mematikannya pagi ini, untuk membersihkan filter."
Dia kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan. "Atau... mungkin seseorang mematikannya untuk memastikan Rayhan berada di sana sendirian."
Anindita tidak menuduh Bima, tetapi tatapannya menyiratkan pertanyaan: Siapa musuh yang tersisa yang begitu berkuasa hingga bisa menyentuh anak kita?
Bima tiba-tiba teringat ancaman GEI. Ia telah mengkhianati Anindita kepada mereka, dan mereka menjamin Anindita akan "diurus".
Anindita berdiri. Ia memandang Bima dengan kebencian yang melampaui perceraian. "Kau menghancurkan pernikahanku. Kau menghancurkan reputasiku. Dan sekarang, kau menghancurkan putraku. Ini adalah balasan atas semua rahasia yang kau jual, Bima."
Kematian Rayhan bukan lagi kecelakaan. Itu adalah balasan brutal dari entitas gelap yang Bima libatkan dalam permainan mereka.