Sekuel ke empat Terra The Best Mother, sekuel ke tiga Sang Pewaris, dan sekuel ke dua The Big Families.
Bagaimana kisah kelanjutan keluarga Dougher Young, Triatmodjo, Hovert Pratama, Sanz dan Dewangga.
Saksikan keseruan kisah pasukan berpopok dari new generasi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LAMARAN
Sore hari, mansion Bart dipenuhi seluruh keluarga. Satrio memeluk adiknya Dimas.
"Kamu udah sebesar ini ternyata," ujarnya bangga.
"Mas kira, aku kecil terus?" sengit Dimas cemberut.
"Eh, calon pengantin nggak boleh cemberut!" peringat Arimbi.
"Mba," Dimas juga dipeluk Arimbi.
"Mas Sat bener. Kamu udah gede, kamu pantas menikah, Seroja adalah pilihan yang terbaik!" ucap perempuan itu lembut.
Dewa dan Dewi ikutan memeluk, keberadaan Dimas tentu sangat berarti. Dimas yang pendiam, tak pernah marah pada adik-adiknya, bahkan ketika Dewi yang selalu berbuat ulah.
"Jangan kabur-kaburan lagi ke markas Daddy!" peringat Dimas. .
"Itu seru loh! Mas aja yang nggak pernah ke sana!" sahut Dewi antusias.
'Baby!" tegur Dimas dan Dewa.
Dewi hanya nyengir kuda, Kean memeluk Dimas. Pria muda itu memakai baju koko warna biru laut, lengkap dengan celana panjang katun warna senada. Kakinya dilapisi sepatu pantofel warna hitam.
Semua orang berkumpul di ruang utama. Herman duduk berdampingan bersama istrinya, Khasya. Anak-anak ikut duduk dengan rapi. Azizah, Daniyah dan Indah mengelus perut mereka yang makin besar.
Ruangan itu dipenuhi rangkaian melati. Wangi bunga dan cahaya matahari yang masuk. Membuat suasana makin syahdu.
Dimas duduk di sisi Khasya, pria itu duduk tenang. Lalu seluruh saudaranya duduk di belakang Herman dan Khasya. Adiba juga duduk bersama dengan Reno adik iparnya.
"Baiklah, bismillahirrahmanirrahim, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," sahut Haidar membuka acara.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," balas salam dari semua yang hadir.
Bart duduk di sofa single, wajahnya tenang tetapi matanya berembun, satu lagi perkawinan akan berlangsung dan dia masih hidup menyaksikan salah satu keturunan terbaiknya melepas masa lajangnya.
"Hari ini kita kembali berkumpul untuk mempersatukan kembali anak-anak kita ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu pernikahan. Kali ini, Dimas Aria Triatmodjo ingin melamar Seroja atau Wu Mingyue," lanjut Haidar.
Seroja datang diapit Terra dan Kanya. Tadinya Maria yang ingin mengantarkannya, tetapi Kanya bersikeras. Maria pun mengalah.
Seroja dengan balutan kebaya syar'i warna pink, dengan hijab yang menjulur menutupi dada. Ia begitu cantik walau riasan sangat sederhana
Seroja duduk di sisi Bart, ia menunduk, kedua tangannya saling meremas. Jantungnya pun berdetak menggila.
"Ananda Seroja, apa kamu siap?" satu tetes bening jatuh di pelupuk matanya.
"Insyaallah, siap," jawabnya dengan bibir bergetar.
Haidar menyerahkan mikrofon ke Bart. Suasana sontak hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar samar di tengah harumnya melati.
Bart menarik napas dalam. Pria tua itu berdiri perlahan, kedua tangannya bergetar, tapi matanya teduh menatap cucu-cucunya.
“Dimas, Seroja…” suaranya berat tapi jelas, “Aku tak pernah menyangka bisa menyaksikan hari ini. Hari di mana dua anak yang tumbuh dalam kasih, akhirnya saling menemukan arah.”
Dimas menunduk hormat. Seroja menatap lantai, dadanya berdebar kencang.
“Aku ini mungkin sudah tua,” lanjut Bart, tersenyum kecil. “Tapi setiap kali melihat kalian, aku tahu… cinta yang baik selalu menemukan jalannya. Dimas, kau bukan hanya melamar seorang gadis. Kau melamar keluarga, melamar masa depan, melamar takdir yang sudah lama menunggu kalian berdua.”
Seroja menggigit bibir, air mata jatuh lagi. Kanya menepuk bahunya lembut.
Bart menatapnya. “Dan kamu, Nak Seroja… Jangan pernah takut jadi bagian dari kami. Rumah ini bukan hanya milik yang lahir di sini, tapi juga mereka yang membawa cahaya untuk meneranginya.”
Beberapa anggota keluarga mulai terisak. Khasya memejamkan mata, menahan haru. Herman menggenggam tangan istrinya.
Bart menatap Haidar dan mengangguk. “Silakan lanjutkan.”
Haidar tersenyum hangat, lalu menatap Dimas.
“Baik, Dimas Aria Triatmodjo, dengan niat suci dan restu keluarga besar, apakah kamu bersedia meminang Seroja binti Wu Mingyue dengan mahar yang telah disepakati?”
Dimas menatap ke arah Seroja, senyumnya lembut tapi tegas.
“Bismillah… Saya bersedia!”
Ruangan seketika dipenuhi ucapan Alhamdulillah. Tangis bahagia pecah. Dewa dan Dewi saling berpelukan, Kean bersorak kecil, sementara Seroja hanya bisa menunduk, air matanya jatuh satu per satu, membasahi kebaya yang ia kenakan.
Bart menghapus setitik air mata di sudut matanya.
“Selamat datang di keluarga kita, Seroja,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membuat Seroja mengangkat wajah—dan tersenyum di antara tangisnya.
Suasana berubah riuh setelah acara lamaran usai. Tawa, candaan, dan aroma masakan memenuhi udara. Meja panjang di ruang makan sudah disiapkan penuh: sate maranggi, sup buntut, ayam goreng kremes, hingga es buah segar yang disukai Dewa dan Dewi.
"Mas, tolong suapin aku dulu," rengek Dewi manja pada Dimas
"Oke Baby" sahut Dimas tak masalah.
"Huh manja sama calon pengantin!" ledek Kean.
"Kak Kean, kamu juga belum nikah, jangan ikut nyinyir!" balas Dewi, membuat semua yang mendengar tertawa pecah.
Kean cemberut, tapi usianya sudah masuk tiga puluh tahun, belum ada satu lawan jenis pun yang ia pilih.
Seroja duduk di samping Dimas. Pipinya masih bersemu, tapi senyumnya tak lepas. Sesekali ia melirik Bart yang kini tampak lega, tertawa kecil saat Haidar bercerita tentang masa kecil Dimas yang pernah kabur dari sekolah demi memungut anak kucing.
“Lihat tuh, calon imamku dulu ternyata aktivis kucing jalanan,” bisik Seroja pelan, membuat Dimas salah tingkah.
“Jangan ungkit masa lalu di depan umum,” sahut Dimas pura-pura marah.
Semua tertawa lagi. Arimbi sampai terpingkal, sementara Khasya sibuk menyiapkan piring tambahan. Anak-anak kecil berlarian di bawah meja, saling kejar sambil menggenggam sate yang hampir jatuh dari tusuknya.
“Eh, pelan-pelan! Itu baju pengantin belum dicuci!” tegur Maria pada salah satu bocah, tapi suaranya kalah oleh riuhnya suasana.
Di tengah kegembiraan itu, Daniyah—yang duduk di ujung meja dengan perut besarnya—tertawa kecil sambil memegangi punggung.
Serrr! Daniyah menatap air yang keluar. Bima melihatnya langsung teriak.
"Amah Dulu ... nompol!"
Semua menoleh, Daniyah mencengkram ujung sofa. Tiba-tiba kontraksi hebat datang.
"Subhanallah, Mama Guru pecah ketuban!" seru Nai heboh, Arimbi mematung, Saf masih memegang sate menatap Daniyah yang pucat.
"Astaghfirullah, kok kalian bengong!" seru Herman kesal pada anak-anaknya.
Barulah semua sibuk, Ken langsung sigap, menyiapkan mobil untuk membawa istrinya ke rumah sakit.
"Coba Sat lihat dulu!" ujar Saf yang meraba perut Daniyah.
"Nggak sempat ke rumah sakit!" gelengnya.
"Erli, Dita, Lani. Siapkan perlengkapan persalinan!' seru Saf pada adik-adiknya yang bidan dan sebagian perawat.
Nai membuka kamar, Arimbi berlari ke kamarnya membawa alat-alat persalinan. Erli membawa baju ok yang memang telah disiapkan Semua bayi sibuk.
"Muma .. Atuh wawu pihat!" teriak Ali.
"Jangan mending jagain pintu aja. Siapa tau baby-nya langsung kabun!" larang Faza.
"Jadhain bintu?" semua bayi menoleh padanya.
'Wiya ... Eh, iya! Kita jaga pintu bial bayinya nggak lali pas keluan!" angguk Sabila membenarkan.
Semua bayi menjaga pintu kamar, dua jam berlalu. Teriakan Daniyah bersamaan dengan tangisan kencang seorang bayi. Bart menangis haru, begitu juga semua keluarga.
"Alhamdulillah!"
"Wuyuy, yang lahir bayi perempuan cantik!"
"Loh ... Payina bana?" tanya Jamila sambil melongok ke dalam kamar.
Ken menggendong bayinya yang sudah bersih. Issa menatapnya.
"Hawo salon sistlituh!" sapanya pada sang bayi.
Bersambung.
Uluh ... Uluh ... Baby Issa. Masih pakai popok udah nyapa calon istri katanya.
Next?
keren banget meski msh kicik
salut.....
tegang eh di gantung