NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Zega menarik napas dalam-dalam, aroma ikan asin dan solar menusuk hidungnya. Mereka meringkuk di balik tumpukan jaring ikan, hanya beberapa meter dari mobil patroli polisi yang perlahan bergerak di jalan. Wajah Zega tegang, matanya meneliti medan—sebuah warung kopi yang ramai, beberapa sepeda motor tua, dan target mereka: van pikap berwarna biru muda yang tampak usang, terparkir dekat dermaga kecil.

“Kau harus melakukannya di warung kopi,” bisik Zega, suaranya nyaris hilang ditelan hiruk pikuk pagi. “Itu pusat perhatian. Begitu kau membuat keributan, mereka akan bergerak ke sana. Itu memberiku waktu tiga puluh detik, paling lama.”

Sasha mengangguk, jantungnya memompa adrenalin dingin. “Apa yang harus aku lakukan? Menggulingkan meja?”

“Terlalu halus. Mereka mencari buronan siber, bukan pembuat onar lokal. Kau harus menciptakan kekacauan yang membuat polisi merasa ‘berwenang’ untuk campur tangan dengan cepat.” Zega menatap sekeliling. Matanya berhenti pada tumpukan peti styrofoam berisi es dan tangkapan segar yang baru dibongkar dari kapal.

“Lihat peti-peti itu. Kau harus menjatuhkannya, Sasha. Jatuhkan dan pastikan semua ikan yang baru ditangkap berhamburan di jalan. Buat penduduk desa marah. Mereka akan menuntut pertanggungjawaban dari siapa pun yang bertanggung jawab, termasuk polisi yang ‘gagal’ mengawasi jalan.”

Sasha menelan ludah. Ikan segar adalah mata pencaharian utama desa ini. Merusak hasil tangkapan nelayan adalah dosa yang tak termaafkan.

“Lalu aku harus lari ke mana?”

“Ke dermaga. Begitu aku membunyikan klakson dua kali, kau lari secepat mungkin. Aku akan menunggu di sudut gudang es itu. Jangan menoleh ke belakang. Jangan berhenti.”

Zega merogoh ranselnya, memastikan laptop Bara terbungkus rapat di dalam baju kotor. Ia menyerahkan sebuah pisau lipat kecil kepada Sasha. “Bukan untuk berkelahi, hanya untuk membuat dirimu merasa sedikit lebih aman. Dan untuk memotong jaring jika perlu.”

“Aku siap,” kata Sasha, menggenggam pisau itu. Tangan Zega menyentuh pipinya, sentuhan yang cepat, tanpa kata-kata, namun sarat makna. Ia merasakan tekad dan kekhawatiran Zega.

“Hati-hati, CEO,” bisik Zega. “Dan lari cepat.”

Mereka bergerak terpisah. Zega merangkak ke arah dermaga di mana van biru itu terparkir, memanfaatkan bayangan gudang es. Sasha, sementara itu, berjalan menjauh dari jaring ikan, mencoba menormalkan langkahnya meskipun tubuhnya masih berlumuran lumpur bakau.

Ia mendekati warung kopi, di mana beberapa nelayan sedang berdiskusi dengan petugas polisi tentang poster buronan. Para petugas sibuk, punggung mereka menghadap tumpukan peti ikan.

Ini dia. Tidak ada waktu untuk ragu.

Sasha mengambil napas dalam-dalam, berpura-pura terpeleset di jalanan yang licin. Dengan gerakan yang lebih cepat dari yang ia duga, ia menggunakan bahunya untuk menabrak tumpukan peti styrofoam yang menahan puluhan kilogram ikan kakap merah. Dampaknya keras, memekakkan telinga.

Peti-peti itu roboh seperti domino. Es batu berhamburan, dan puluhan ikan segar tumpah ruah di jalanan, beberapa berguling hingga ke kaki polisi.

“Aduh! Mataku!” teriak Sasha, berpura-pura buta karena pecahan es yang masuk ke mata.

Seketika, desa itu meledak dalam kekacauan. Para nelayan, yang melihat hasil kerja semalam mereka hancur, berteriak marah. Mereka segera mengelilingi Sasha, menuduhnya ceroboh.

“Hei! Lihat apa yang kau lakukan, Nak!”

“Siapa kau? Kau bukan orang sini!”

Dua petugas polisi yang tadinya fokus pada poster, segera berbalik. Mereka melihat keributan, melihat ikan-ikan yang berceceran, dan melihat Sasha, yang berpura-pura menangis sambil memegang matanya.

“Bubarkan! Bubarkan!” perintah salah satu petugas, bergegas ke arah kerumunan, tertarik oleh kekacauan sipil yang lebih mendesak daripada poster buronan siber.

Sasha merasakan pandangan mereka tertuju padanya. Ini adalah isyarat. Saat petugas mendekat, Sasha membuka matanya, melirik ke arah dermaga. Zega sudah berada di sisi pengemudi van biru itu, tubuhnya membungkuk ke dalam kabin.

Waktu bergerak lambat. Sasha melepaskan aktingnya. Ia mendorong salah satu nelayan yang menghalanginya dan mulai berlari. Bukan ke jalan setapak, tapi ke arah dermaga.

“Berhenti!” teriak petugas polisi. “Kau buronan!”

Sasha menyadari kesalahannya: mereka langsung mengenali wajahnya dari poster, meskipun ia berlumuran lumpur. Keributan ikan itu hanya mengulur waktu sebentar.

Ia berlari. Tangan kanannya menggenggam pisau lipat yang Zega berikan, meskipun ia tidak berencana menggunakannya. Ia melihat Zega menarik kabel dari dasbor van. Ada kilatan kecil percikan api, lalu suara mesin tua yang berjuang untuk hidup. Mesin itu batuk, tersedak, lalu meraung.

KLAK! KLAK!

Dua bunyi klakson pendek, tepat waktu.

Sasha mendorong badannya lebih jauh. Ia melompati tumpukan tali kapal yang basah. Polisi kini mulai berlari mengejarnya. Nelayan-nelayan yang marah juga ikut berteriak, entah karena ikan mereka atau karena Sasha adalah buronan.

Zega dengan cepat memutar van itu. Ban yang aus berdecit pelan di atas tanah berpasir. Ia membuka pintu penumpang lebar-lebar.

“Cepat, Sasha!”

Sasha melompat ke kursi penumpang tepat saat van itu mulai bergerak. Pintu dibanting tertutup. Zega langsung menginjak gas. Van biru tua itu melaju kencang, meninggalkan asap tebal di belakangnya.

Mereka mendengar teriakan marah dan suara sirene polisi yang kini dihidupkan, meskipun mobil patroli itu terjebak di keramaian warung kopi.

“Kau gila,” Sasha terengah-engah, lumpur dari sepatunya menodai lantai van. Ia memeluk ransel berisi laptop Bara erat-erat.

“Itu adalah pujian yang luar biasa, mengingat betapa gila situasinya,” balas Zega, tangannya mantap di kemudi. Ia mengemudi dengan kecepatan berbahaya, bermanuver melewati jalanan sempit desa yang dipenuhi motor dan pejalan kaki.

“Mereka mengenaliku dari poster, Jaka,” kata Sasha, suaranya sedikit gemetar. “Mereka langsung tahu.”

“Aku tahu. Tapi kita sudah mendapatkan van. Dan kita sudah membuat kekacauan yang cukup besar sehingga butuh waktu bagi mereka untuk mengorganisir pengejaran serius. Sekarang kita harus ke jalan utama. Kita tidak akan ke Mataram.”

“Kenapa tidak?”

“Mataram pasti sudah dikepung. Paman Hadi tahu kita harus menyeberang ke pulau lain. Kita akan ke timur. Ada pelabuhan kecil di Teluk Ekas. Itu pelabuhan nelayan, tidak ada pemeriksaan resmi.”

Zega memutar setir tajam, membawa van itu ke jalan tanah yang berliku, jauh dari jalan utama yang diaspal. Mereka melewati ladang-ladang jagung dan pohon kelapa yang tinggi, pemandangan Lombok Timur yang sunyi.

Setelah lima menit yang menegangkan, kecepatan van menurun. Mereka sudah jauh dari desa. Hanya suara gemuruh mesin tua dan napas mereka yang terdengar.

“Kita aman untuk saat ini,” kata Zega, melirik Sasha. “Kau luar biasa. Kau benar-benar menabrak ikan itu.”

Sasha tersenyum kecil, rasa takutnya mulai mereda, digantikan oleh kebanggaan yang aneh. “Aku belajar dari yang terbaik. Aku hanya tidak menyangka aku akan menjadi pelaku kejahatan siber yang juga seorang perusak properti.”

“Selamat datang di sisi gelap, CEO,” Zega terkekeh, ini adalah tawa santai pertama yang Sasha dengar darinya dalam beberapa hari. Tawa itu menghangatkan atmosfer di dalam van yang pengap.

Sasha mengambil kesempatan itu. Ia mengeluarkan laptop Bara dan meletakkannya di pangkuannya. “Sekarang kita punya waktu sebentar, kita harus tahu apa yang ada di dalam laptop ini. Ini adalah satu-satunya alasan kita menjadi buronan.”

Zega mengangguk. “Aku sudah menembus enkripsi tingkat luarnya. Bara menggunakan sistem enkripsi berlapis, dan lapisan terakhir adalah yang paling sulit. Aku yakin itu adalah kunci yang hanya ia dan mungkin kau yang tahu.”

Sasha menatap layar laptop yang gelap. “Aku tidak tahu kata sandi apa pun. Kami selalu menggunakan sidik jari atau pengenalan wajah untuk semua gadget kami.”

“Dia tidak akan menggunakan kata sandi biasa untuk ini. Ini adalah pengkhianatan terbesarnya, Sasha. Ini adalah data yang bisa menjatuhkan DigiRaya. Kata sandi itu pasti sesuatu yang sangat pribadi, sangat menyakitkan.” Zega melirik Sasha. “Apa yang paling kau tahu tentang Bara yang tidak diketahui orang lain?”

Sasha memejamkan mata, memutar kembali kenangan Bara, bukan sebagai CEO yang visioner, tetapi sebagai tunangannya. Kegembiraan, kesedihan, rahasia kecil mereka.

“Saat kami pertama kali bertemu, kami sedang merayakan kesepakatan besar pertama DigiRaya. Kami minum anggur mahal dan dia memberiku janji. Janji yang dia sebut sebagai ‘Kode Etik’ pribadi kami. Dia bilang, ‘Kita tidak akan pernah menjual jiwa kita demi uang, Sasha. Kode ini lebih berharga daripada semua uang di dunia.’”

Zega mengemudi lebih lambat saat van memasuki jalanan yang lebih terjal. “Kode itu? Apakah itu frasa, tanggal, nama tempat?”

“Itu adalah gabungan. Tanggal kesepakatan besar itu, ditambah lokasi kami minum, ditambah kata sandi favoritnya. Tanggalnya… 12/03/2018. Lokasinya… sebuah bar di Kebayoran bernama The Archive. Dan kata sandi favoritnya adalah ‘Kepercayaan’.”

Zega menghentikan van di bawah pohon mangga besar, jauh dari pandangan jalan utama. Ia mematikan mesin, keheningan segera menyelimuti mereka.

“Mari kita coba, Sasha,” katanya, mencondongkan tubuh ke depan. “Aku akan menggabungkannya. Tiga belas karakter. Enkripsi ini membutuhkan presisi mutlak.”

Zega mengetik cepat. Sasha memperhatikan napasnya. Jika ini gagal, mereka mungkin tidak akan pernah tahu kebenaran di balik kematian Bara atau apa yang Paman Hadi cari.

Zega mengetik: 12032018TheArchiveKepercayaan

Layar laptop Bara berkedip sekali. Jeda yang mencekam terasa seperti semenit. Kemudian, lapisan terakhir enkripsi itu pecah. Layar berubah menjadi desktop yang berisi folder tunggal, bertuliskan huruf kapital tebal:

AKSES_TERLARANG_UNTUK_HADI

Sasha membekap mulutnya. Nama Paman Hadi terpampang di sana. Zega segera mengklik folder itu. Di dalamnya terdapat ratusan dokumen, surel terenkripsi, dan, yang paling mencolok, sebuah berkas video.

“Video ini pasti yang paling penting,” bisik Zega. Ia mengklik dua kali. Video itu mulai diputar. Kualitasnya buram, diambil secara sembunyi-sembunyi, seolah-olah Bara merekamnya dari saku jasnya.

Latar belakangnya adalah kantor Bara di DigiRaya, tetapi yang berbicara di sana bukanlah Bara. Itu adalah Paman Hadi, suaranya tenang, dingin, dan penuh ancaman. Di sampingnya, berdiri seorang pria asing yang sangat formal—jelas seorang perwakilan dari Express Teknologi, pesaing asing DigiRaya.

“Kau sudah tahu konsekuensinya, Bara,” kata Paman Hadi dalam video itu. “Kau menolak tawaran akuisisi yang sangat menguntungkan ini. Kau menolak untuk ‘membersihkan’ jejak data ilegal itu. Sekarang, mereka tidak hanya menginginkan perusahaan, mereka menginginkanmu diam selamanya.”

Bara, yang hanya terlihat sebagian, terdengar menjawab dengan suara rendah, “Aku tidak akan menjual data pengguna kami lagi, Hadi. Itu sudah terjadi sekali, demi modal awal. Aku tidak akan mengulanginya. Dan aku tidak akan menjual DigiRaya kepada entitas asing yang ingin memonopoli pasar.”

Paman Hadi tersenyum sinis. “Sayang sekali. Kau membuat keputusan yang salah, keponakanku. Keputusan yang sangat mematikan.”

Video itu tiba-tiba berakhir. Hanya beberapa detik, tetapi mengandung pengakuan yang mengejutkan. Paman Hadi tahu tentang penjualan data ilegal Bara, dan ia bersekutu dengan Express Teknologi untuk membunuh Bara dan mengambil alih perusahaan.

“Ya Tuhan,” Sasha bergumam, air mata menggenang di matanya, bukan karena kesedihan, tetapi karena kemarahan yang membakar. “Dia membunuh Bara.”

“Dan dia mengakui motifnya: Bara menolak akuisisi dan penjualan data lebih lanjut. Sekarang kita punya bukti yang dia cari,” kata Zega, matanya menyala. “Bukti yang bisa menjatuhkannya dan Express Teknologi.”

Tiba-tiba, suara helikopter yang keras merobek keheningan. Suara itu bukan milik helikopter patroli lokal. Itu adalah deru mesin berat, suara yang mahal dan profesional. Zega dan Sasha saling pandang, horor tercetak di wajah mereka.

“Mereka tidak menggunakan polisi lokal lagi,” Zega mendesis. “Mereka tahu kita lari ke timur. Itu pasti tim keamanan swasta Express Teknologi, yang dibawa dengan helikopter.”

Zega dengan cepat menyalakan mesin van lagi. Helikopter itu terdengar semakin dekat, suaranya bergema di lembah. Mereka harus meninggalkan van dan mencari perlindungan di hutan terdekat.

“Kita harus lari ke semak-semak,” kata Sasha, meraih pegangan pintu.

Zega mengangguk, tetapi saat ia hendak menginjak gas, ia melihat ke cermin samping. Di jalan setapak, tepat di belakang mereka, sebuah mobil SUV hitam mewah muncul entah dari mana, melaju kencang, memotong jalan mereka menuju hutan.

“Tidak mungkin,” gumam Zega. “Itu terlalu cepat. Itu bukan polisi.”

Jendela SUV itu terbuka. Seorang pria bertubuh besar dengan kaca mata hitam dan senapan serbu otomatis muncul, menodongkan senjata lurus ke arah van mereka.

Zega menginjak rem, membuat ban van berdecit dan van terhenti hanya beberapa inci dari SUV hitam itu.

“Mereka memblokir kita. Helikopter di atas, dan pasukan darat di sini,” kata Zega, suaranya rendah dan tegang. Ia meraih Sasha, menariknya ke lantai van. “Mereka tidak ingin kita hidup, Sasha. Mereka hanya ingin laptop itu.”

Sebelum mereka sempat bereaksi, suara tembakan memecah udara. Peluru-peluru itu menghantam kap van, menembus kaca depan dengan suara pecahan yang memekakkan telinga.

“Van ini tidak punya perlindungan!” teriak Sasha. “Kita harus keluar!”

“Tidak. Kita harus melawan—atau kita mati di sini,” balas Zega, mencari jalan keluar, mencari celah. Namun, pria bersenjata itu sudah mendekat, siap melepaskan tembakan berikutnya yang pasti akan membunuh mereka.

Tiba-tiba, dari arah belakang SUV, sebuah motor tua dengan knalpot yang bising melaju kencang. Pengendaranya, seorang pria yang mengenakan helm tertutup dan jaket kulit usang, tanpa ragu menabrak sisi belakang SUV hitam itu.

SUV bergoyang keras. Pria bersenjata itu kehilangan keseimbangan dan senapannya jatuh. Pengendara motor itu, dengan gerakan lincah, memutar motornya dan berteriak, suaranya familiar.

“Jaka! Cepat! Aku bilang aku berutang budi padamu!”

Itu Pak Toha. Nelayan yang lari dari warung kopi, kembali untuk menyelamatkan mereka.

“Dia kembali!” teriak Zega. “Kesempatan kita! Keluar dari sini, sekarang!”

Zega membuka pintu sisi pengemudi. Sasha meraih laptop Bara. Saat mereka merangkak keluar, Pak Toha sudah berputar, siap memberikan pengalihan kedua, mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk mereka.

Zega dan Sasha berlari menuju semak-semak, tetapi di tengah desingan peluru, mereka mendengar teriakan keras dari Pak Toha yang kini terlibat dalam baku hantam brutal dengan pria bersenjata di samping SUV.

Saat mereka berhasil masuk ke dalam rimbunnya pohon, Zega menoleh ke belakang. Ia melihat Pak Toha roboh, dan pria bersenjata itu, kini bebas, mengangkat senapannya lagi. Helikopter di atas kini menukik, sinarnya mencari mereka.

“Mereka ada di mana-mana,” bisik Sasha, tubuhnya gemetar karena kelelahan dan ketakutan. “Kita tidak bisa melarikan diri dari pulau ini.”

Zega menarik napas dalam-dalam. Di tangan mereka ada rahasia yang lebih mematikan daripada bom nuklir. Mereka harus menghilang. Ia melihat ke atas, ke arah perbukitan hijau yang ditutupi kabut tipis.

“Kita tidak akan lari dari pulau ini,” kata Zega, pandangannya tajam. “Kita akan masuk ke jantungnya. Lombok memiliki gunung. Dan di gunung, ada tempat yang mereka tidak akan pernah duga kita akan pergi.”

“Ke mana?” tanya Sasha.

“Rinjani. Kita akan naik. Kita harus bersembunyi di ketinggian untuk mendapatkan waktu. Kita akan menjadi hantu di antara kabut.” Zega menarik tangan Sasha, memulai pendakian yang curam, meninggalkan suara helikopter dan tembakan yang kini mulai memudar di belakang mereka. Pelarian mereka baru saja memasuki fase paling brutal.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!