NovelToon NovelToon
Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak
Popularitas:15.9k
Nilai: 5
Nama Author: riena

“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”

Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.

Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 32. Gantian sakit

Matahari pagi menembus tirai tipis, membuat kamar itu terasa lebih hangat. Di atas ranjang, Arman membuka mata perlahan. Tubuhnya sudah lebih ringan, kepala tidak lagi berputar. Tapi begitu menoleh, ia melihat Widya duduk di meja rias, sedang mengikat rambut sambil bersiap-siap.

“Udah bangun?” tanya Widya tanpa menoleh.

Arman mengangguk malas. “Udah, tapi masih agak pusing,” ucapnya dengan suara serak.

Widya berdiri, menatapnya sambil menyilangkan tangan di dada. “Kemarin sore udah nggak panas, Mas. Jangan lebay.”

Arman tersenyum kecil. “Tapi masih lemas.”

Widya mendekat, menempelkan punggung tangannya ke kening Arman. “Normal. Nggak panas. Cuma males aja itu.”

Arman meringis kecil. “Ya, males juga termasuk gejala sakit kan?”

Widya memutar bola matanya. “Gejala manja.”

Arman terkekeh pelan, lalu menarik selimut sampai ke dada. “Manja sama kamu boleh, kan? Katanya kemarin boleh.”

Widya menahan tawa, tapi ekspresinya tetap datar. “Kemarin kamu sakit, sekarang nggak.”

“Tapi masih dalam masa pemulihan,” sahut Arman cepat.

Widya menghela napas panjang. “Mas Arman, kalau pemulihan kayak gini terus, bisa-bisa kamu nggak sembuh-sembuh.”

“Emang niatnya gitu,” jawab Arman santai. “Biar diperhatiin terus.”

Widya meliriknya tajam, tapi bibirnya tak bisa menahan senyum. “Sarapan dulu. Aku udah buatin bubur ayam. Mau di sini atau di meja makan?”

“Di sini aja. Masih lemes banget buat jalan.”

Widya berjalan ke dapur, membawa nampan. Tak lama kemudian, ia kembali dengan mangkuk bubur hangat dan segelas air putih.

“Nih, suapan pertama,” ucapnya sambil menyodorkan sendok.

Arman menatapnya seperti anak kecil. “Disuapin beneran nih?”

“Ya disuapin biar cepat habis,” ucap Widya singkat.

Arman membuka mulut dengan gaya berlebihan. “Ahh—”

Widya mendecak, tapi menahan tawa. “Mas, kamu tuh bukan balita.”

“Ya tapi enak juga dilayanin begini,” ujar Arman setelah menelan bubur. “Kayak dirawat bidadari.”

Widya pura-pura cuek. “Bidadari nggak ngomel.”

“Ya biar realistis aja, bidadari versi dunia nyata,” jawab Arman santai.

Setelah beberapa suapan, Arman berhenti. “Wid, boleh minta tambah telur rebus nggak?”

Widya menatapnya, separuh jengkel. “Dari tadi bilang lemas, tapi mintanya tambah lauk.”

“Lemesnya cuma separuh, yang separuh lagi lapar.”

Widya menggeleng pelan, tapi akhirnya beranjak juga. “Tunggu, aku ambilin.”

Begitu Widya keluar kamar, Arman tersenyum sendiri. Ia tahu betul istrinya ngomel karena sayang, bukan kesal sungguhan.

Beberapa menit kemudian, Widya kembali dengan telur rebus yang sudah diiris. “Nih, tambahan biar kuat.”

Arman menatapnya dengan senyum puas. “Wid, kamu tuh calon perawat terbaik yang pernah ada.”

Widya duduk di sisi ranjang. “Aku bukan perawat, Mas. Aku istri yang kebetulan sabar ngadepin suami yang lagi manja.”

Arman tertawa kecil. “Itu malah lebih bagus.”

Setelah selesai makan, Widya beranjak hendak membawa nampan keluar. Tapi baru dua langkah, Arman memanggil pelan, “Wid…”

“Hm?” Widya menoleh.

“Boleh minta tolong satu lagi?”

Widya mengerutkan kening. “Apa lagi?”

“Pijitin dikit bahu sama leher. Rasanya pegel banget.”

Widya menarik napas panjang. “Mas, aku udah dari tadi berdiri, sekarang suruh mijit juga?”

“Cuma sebentar,” pinta Arman, nada suaranya dibuat lirih. “Tadi malam aku mimpi digigit nyamuk raksasa, mungkin efeknya sampai ke otot.”

Widya menatapnya lama. “Alasan kamu makin aneh.”

“Yang penting efektif.”

Widya akhirnya mendekat, duduk di tepi ranjang, mulai memijat pelan bahu Arman. “Udah gini aja ya, jangan manja lagi habis ini.”

Arman memejamkan mata. “Oke. Tapi kalau manja lagi, anggap aja efek samping kesembuhan.”

Widya hanya menggeleng tanpa suara, tapi senyum di bibirnya jelas terlihat.

Beberapa menit kemudian, pijatan selesai. Widya berdiri, hendak keluar kamar. “Aku mau nyuci dulu. Kamu istirahat.”

Arman cepat menarik ujung daster Widya, membuat wanita itu berhenti. “Wid, jangan lama-lama, ya?”

Widya menoleh, separuh heran, separuh geli. “Mas, aku cuma ke belakang, bukan ke luar negeri.”

Arman nyengir. “Tetep aja, rumah jadi sepi kalau kamu nggak di kamar.”

Widya menatap suaminya lama, lalu melepaskan pegangannya dengan lembut. “Kalau sepi, tidur. Sembuh beneran, baru boleh rewel.”

“Baik, Bu Dokter,” sahut Arman, menirukan nada Widya semalam.

Saat Widya akhirnya keluar kamar, Arman bersandar di bantal, masih tersenyum kecil. Ia menatap pintu yang tertutup, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri.

“Kalau tiap sakit bisa dirawat begini, kayaknya aku nggak keberatan sakit tiap minggu.”

Dari dapur, terdengar suara Widya, “Aku denger tuh!”

Arman terkekeh pelan, lalu menutup mata. Dingin dan panas sudah pergi, yang tersisa hanya rasa hangat yang aneh—bukan dari jahe, bukan dari selimut, tapi dari perhatian sederhana yang membuat rumah itu terasa benar-benar hidup.

—---

Sudah dua hari sejak Arman sembuh total. Suhu tubuhnya normal, batuknya hilang, dan nafsu makannya malah naik dua kali lipat.

Namun, pagi ini ada pemandangan berbeda di rumah itu.

Widya terbaring di ranjang, wajahnya pucat. Rambutnya berantakan, dan matanya tampak sayu. Di meja nakas, segelas air putih tinggal separuh, belum disentuh sejak subuh.

Arman berdiri disisi tempat tidur, masih memakai kaos oblong dan celana rumah. Tangannya membawa termometer dan handuk kecil.

“Wid, panasnya masih tinggi,” ucap Arman setelah melihat angka di layar. “Tiga puluh delapan koma lima.”

Widya memejamkan mata. “Cuma kecapekan, Mas. Nanti juga turun.”

Arman duduk di tepi ranjang, meletakkan handuk di kening istrinya. “Kemarin aku cuma demam biasa, kamu merawat aku yang rewel. Sekarang kamu yang panas malah santai.”

Widya tersenyum kecil. “Aku kan nggak drama kayak kamu, Mas.”

Arman menatapnya dengan ekspresi pura-pura tersinggung. “Oh, jadi aku drama?”

Widya membuka mata setengah. “Banget. Nggak usah dibantah.”

Arman menghela napas panjang, lalu bangkit. “Oke, Bu Dokter yang keras kepala. Sekarang waktunya saya balas jasa.”

Arman melangkah ke dapur, membuat minuman yang bisa diminum tanpa rasa gosong. Tapi semangatnya lebih besar dari logikanya.

Beberapa menit kemudian terdengar suara sendok jatuh, diikuti aroma jahe yang sedikit terlalu gosong.

Arman keluar dari dapur dengan nampan berisi segelas jahe hangat dan piring kecil berisi roti panggang.

“Nih, aku buatin jahe sama roti. Rasa jahenya mungkin... sedikit petualangan,” ucapnya sambil menaruh nampan di meja.

Widya melirik lemah. “Petualangan apaan?”

Arman menggaruk kepala. “Ya... agak beda dikit dari buatan kamu.”

Widya menyeruput perlahan. Seketika wajahnya berubah. “Mas, ini jahe apa kopi?”

“Jahe kok! Cuma aku kira makin banyak makin manjur, jadi aku masukin empat potong,” jawab Arman polos.

Widya mendesah. “Empat potong? Mas, itu bukan jahe anget, itu rebusan api.”

Arman tertawa kecil. “Yang penting niatnya tulus.”

Widya menatapnya setengah malas, tapi ujung bibirnya terangkat juga. “Tulusnya kebanyakan juga bisa bikin perut panas, Mas.”

Arman mengangkat bahu. “Nanti aku buatin ulang deh. Tapi roti panggangnya aman kok. Aku cuma gosongin sebelah sisi.”

Widya menatap roti itu. Separuh cokelat tua, separuh hitam. “Mas, itu bukan gosong sebelah. Itu gosong total separuh.”

Arman terdiam sesaat, lalu ikut tertawa. “Ya udah, berarti separuh lainnya masih bisa dimakan.”

Meski lemas, Widya akhirnya makan sedikit. Arman duduk di samping, memperhatikan tanpa berhenti memberi komentar.

“Pelan-pelan aja. Jangan buru-buru. Minumnya abis makan, jangan kebalik.”

Widya melirik. “Mas, aku sakit, bukan anak SD.”

“Ya tapi biar kayak dulu waktu kamu ngurus aku. Biar adil.”

Widya mendengus, tapi diam saja. Dalam hatinya, ia tidak bisa menolak. Melihat Arman begitu sibuk dan serius patut dihargai.

Setelah sarapan, Arman membantu merapikan selimut, lalu duduk di kursi dekat ranjang sambil membaca petunjuk di bungkus obat. “Dosisnya dua kali sehari. Oke, nanti sore aku kasih lagi. Sekarang kamu tidur.”

Widya menatapnya lembut. “Mas, kamu boleh banget jadi perawat kalau udah pensiun dari kerja kantoran.”

Arman menatap balik. “Asal pasiennya cuma kamu.”

“Romantisnya keterusan,” gumam Widya pelan.

“Efek ikut-ikutan gaya kamu waktu jagain aku,” balas Arman cepat.

Widya menutup mata, berusaha menahan senyum. “Udah, aku mau tidur.”

Arman berdiri, menepuk pelan selimut istrinya. “Tidur yang nyenyak. Aku jagain.”

“Jagainnya jangan sambil main HP,” bisik Widya setengah sadar.

Arman terkekeh. “Siap, Bu Dokter versi pasien.”

Beberapa menit kemudian, Widya tertidur. Arman duduk tenang di kursi, memperhatikan wajah istrinya. Tangannya sesekali merapikan helaian rambut yang jatuh ke dahi.

Dalam hati, ia bergumam pelan.

“Kalau dulu aku tahu rasanya dijagain sama kamu, mungkin aku nggak akan separah itu waktu sakit. Sekarang gantian aku yang jaga.”

Siang itu rumah terasa tenang. Tidak ada suara TV, tidak ada obrolan panjang. Hanya bunyi jam dinding dan sesekali napas lembut dari ranjang.

Arman tidak ke mana-mana. Sesekali ia menyiapkan air hangat baru, memeriksa suhu Widya, memastikan obatnya diminum tepat waktu. Dan sore harinya, ketika Widya membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah suaminya tertidur di kursi dengan posisi miring, handuk masih di tangan.

Widya tersenyum kecil.

“Giliran dia yang capek sekarang,” gumamnya pelan.

Ia mengulurkan tangan, menarik selimut menutupi tubuh Arman sampai ke bahu.

Untuk pertama kalinya dalam dua hari, rumah itu benar-benar tenang. Bukan karena sehat, tapi karena dua orang di dalamnya sama-sama belajar cara mencintai lewat hal-hal kecil: obat, air jahe, dan gosong setengah sisi yang tak pernah diributkan lagi.

---

1
Safitri Agus
terimakasih kak Riena updatenya 🙏🥰
Mam AzAz
terimakasih up nya 😊
Mam AzAz
begitulah perempuan kalau lagi sakit inginnya tiduran dan butuh ketenangan,kalau laki laki cuma demam aja sudah seperti sekarat dan sangat drama😂😂😂
Safitri Agus: setuju 👍😊
total 1 replies
Mam AzAz
terimakasih up nya 😊
Mam AzAz
gantian jadi pasien 🤭🤭
Enisensi Klara
Manja si Arman 😂😂
Safitri Agus
terimakasih kak Riena updatenya 🙏🥰
Safitri Agus
semoga rukun dan damai RT mereka
Safitri Agus
pasti rasanya pedes
Safitri Agus
ketularan demamnya Arman
Safitri Agus
eh ngelunjak ya🤭
Enisensi Klara
Modus Àrman 🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Lebay Arman 🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Makasih up nya kk Riena 😍😍
Ratu Tety Haryati
Perasaan laki2 klo sakit berasa sudah paling tak berdaya, malah buat istri double repotnya.
Ratu Tety Haryati
Klo Arman sudah ingkar janji berarti, ia bukan pria yang baik untukmu.
Ratu Tety Haryati
Klo sudah begini ada rasa iba dan tak menyalahkan Priya sepenuhnya, karena Arman sendiri yang memberikan janji untuk minta ditunggu.
Ratu Tety Haryati
Memangggg😂
Mam AzAz
terimakasih up nya 😊
Mam AzAz
begitulah laki laki, cuma demam aja seperti lagi sekarat 🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!