“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23. Malu-malu
Matahari mulai naik, tapi alun-alun justru semakin ramai. Anak-anak berlari mengejar balon, pedagang kaki lima berjajar sambil berteriak menawarkan dagangan, aroma gorengan dan jajanan kekinian bercampur di udara.
Arman memarkir motornya di pinggir jalan, lalu menoleh pada Widya yang baru saja turun.
“Pegang tas kamu erat ya, ramai banget soalnya.”
Nada suaranya refleks, seperti refleks seorang suami protektif.
Widya hanya mengangguk. “Iya, Mas.”
Mereka mulai berjalan diantara kerumunan. Arman sengaja melangkah setengah langkah lebih dekat ke sisi Widya, kadang sedikit mencondongkan tubuh agar bahunya menyentuh bahu Widya tanpa sengaja.
Widya sempat melirik, tapi tidak menyingkir. Hanya menahan ekspresi supaya tidak terlihat canggung.
“Wid, mau coba itu nggak?” Arman menunjuk stan es krim yang dihiasi lampu warna-warni. “Es krim gulung. Lagi viral katanya.”
Widya terkekeh pelan. “Mas Arman update banget soal makanan viral, ya?”
Arman nyengir. “Kan harus ngimbangin istri yang masih mahasiswi. Biar nggak keliatan tua-tua amat.” kekeh Arman.
Widya tidak bisa menahan senyum, akhirnya mengangguk. “Yaudah, coba.”
Mereka pun ikut antre. Sambil menunggu, Arman sesekali mencuri pandang ke wajah Widya yang sedang memperhatikan penjual membuat es krim. Ada binar di matanya, polos dan jujur, seperti anak kecil. Pemandangan yang membuat Arman tanpa sadar ikut tersenyum.
Saat es krim itu jadi, Arman buru-buru membayar. “Nih, coba.” Ia menyodorkan cup ke Widya.
Widya mengernyit. “Kok aku duluan?”
“Ya biar aku tau rasanya enak atau nggak dari reaksi kamu.”
Widya mencicip sedikit, lalu tertawa. “Enak ternyata. Mas Arman coba.”
Arman pura-pura ragu. “Tapi aku nggak dikasih sendok?”
Widya mengangkat alisnya. “Pakai sendok plastik satu aja kan cukup. Nih—”
Tanpa sadar, Widya menyodorkan sendok bekas pakaiannya ke Arman. Begitu sadar, wajah Widya langsung memerah.
Arman menatap sendok itu, lalu menatap Widya dengan senyum kecil. “Oh, jadi kita udah sampai tahap ini ya?” senyum Arman terlihat jahil.
“Apaan sih, Mas!” Widya buru-buru memalingkan wajah, tapi Arman sudah menyuap es krim itu sambil pura-pura serius.
“Hmm… iya, enak. Tapi masih kalah manis dibanding—”
“Udah, udah jangan gombal!” potong Widya cepat-cepat, tapi pipinya sudah merona.
Mereka lanjut berjalan. Setiap melewati stan makanan, Arman selalu bertanya, “Mau coba ini nggak? Itu nggak?” Padahal sebenarnya dia sendiri yang lebih penasaran. Widya beberapa kali menggeleng, tapi akhirnya ikut tertawa melihat antusiasme suaminya.
Di tengah keramaian, ada stan penjual gelang rajut. Arman berhenti, memandangi sebentar, lalu mengambil satu gelang sederhana berwarna coklat muda.
“Pas buat kamu ini, Wid.” ucap Arman sambil menoleh ke Widya.
Widya menatap sedikit ragu. “Aku nggak biasa pakai beginian.”
“Coba aja.” Arman langsung menggenggam pergelangan tangan Widya, memakaikan gelang itu pelan-pelan. Sentuhan itu membuat Widya sedikit kaku, tapi ia tidak menepis.
Setelah terpasang, Arman menatap puas. “Nah, cocok. Jadi kalau aku nyari kamu di keramaian, gampang. Tinggal lihat gelang ini aja.”
Widya pura-pura mendengus. “Alasan aja.” Tapi hatinya jelas bergetar.
Hari beranjak semakin siang. Mereka akhirnya duduk di bangku dekat taman, membawa beberapa kantong plastik berisi jajan.
Widya lalu membuka botol minuman dingin, meneguk sedikit, lalu tanpa sadar bersandar pelan ke sandaran bangku. Arman di sampingnya ikut diam, hanya memperhatikan kerumunan. Tapi dari sudut matanya, ia memperhatikan wajah Widya yang tampak lebih rileks dari biasanya.
“Wid.”
“Hm?”
“Kalau tiap weekend kita bisa begini, kayaknya enak ya.”
Widya menoleh sekilas. “Iya, sih. Asal tahan aja dompet kamu cepet jebol. Semua mau di beli.”
“Insya Allah, nggak, Wid. Kan untuk nyenengin istri.” ucap Arman sambil tersenyum, menahan diri untuk tidak spontan meraih tangan Widya. Widya diam saja, tapi sudut bibirnya berkedut juga.
Matahari sudah semakin tinggi, dan meski teduhnya pepohonan cukup membantu, tetap saja peluh kecil membasahi pelipis. Arman menoleh pada Widya yang sibuk menghabiskan minuman dingin di tangannya.
“Yuk, pulang aja. Capek juga, ya? Udah siang juga.” suara Arman pelan tapi tegas.
Widya mendongak, sambil menatap ke arah kerumunan orang. “Padahal masih rame, Mas. Kamu udah capek?”
“Bukan udah, tapi emang capek.” Arman terkekeh tipis. “Dari tadi jalan, muter-muter, nyoba ini itu. Badan butuh istirahat. Lagi pula…” Arman berhenti sebentar, menatap Widya yang justru menunduk menahan senyum. “Aku lebih seneng kalau istirahatnya sama kamu. Di rumah, berdua aja.”
Ciee….Arman mulai menggombal.
Widya pura-pura sibuk melipat tisu bekas, menahan hatinya yang berdegup sedikit lebih cepat. “Alasannya itu, ya? Biar bisa leha-leha.”
Arman mengangguk mantap. “Iya. Kalau leha-lehanya ditemani istri, pasti lebih nikmat.”
Widya mencubit lengan Arman pelan, malu-malu tapi juga gemas. “Ih, kamu ini. Semakin sering gombal.”
Arman menepuk-nepuk tangannya. “Ya kan bener. Kayaknya rebahan malas di rumah lebih enak. Kalau nanti sore kalau kamu mau, kita bisa keluar lagi. Sekarang recharge dulu.”
Mau tak mau Widya menuruti. Mereka berjalan menuju parkiran motor, ujung jari tangan saling bersentuhan, tidak jarang bahu mereka juga saling bergesekan. Baik Arman maupun Widya tidak ada yang mencoba untuk bergeser, mereka berdua membiarkan sentuhan alami itu terus berjalan. Tapi jangan di tanya bagaimana dengan jantung keduanya, beuh….Untung buatan Tuhan, kalau buatan manusia….sudah korslet dari tadi.
Widya menunduk, pura-pura merapikan posisi kerudung yang sebenarnya nggak perlu dirapikan. Pipinya terasa panas sendiri. Ujung jarinya masih sesekali bersinggungan dengan jari Arman, dan ia sama sekali tidak berusaha menarik diri.
“Mas…” suara Widya lirih, nyaris kalah oleh riuh alun-alun.
Arman melirik sekilas. “Hm?”
“Enggak… nggak apa-apa.” Widya buru-buru menggeleng, mencoba menutupi degup yang makin menggila.
Arman tersenyum miring. Ia tahu ada yang ingin Widya katakan, tapi biarlah. Yang penting sekarang, ia bisa merasakan meski tanpa kata bahwa mereka berdua sudah tidak sama lagi. Ada garis tipis yang diam-diam berubah jadi jembatan.
Sesampainya di parkiran, Arman berhenti sebentar. Tangannya meraih helm, lalu dengan santai ia menaruhnya di kepala Widya. “Biar aku yang masang.” Suara Arman terdengar tenang, tapi tatapannya penuh perhatian. Jemari Arman merapikan tali helm, hampir menyentuh dagu Widya.
Widya refleks menahan napas. Ada getaran halus yang merambat dari leher sampai ke ujung kaki. “Udah, Mas… aku bisa sendiri, kok.”
“Biar aku aja.” Arman menatapnya sekilas, dalam, sampai Widya tak kuat membalas dan memilih menunduk. “Lagipula, kapan lagi aku bisa begini?”
Widya tersenyum tipis, pura-pura merengut. “Mas suka bikin aku nggak enak hati.”
“Kenapa?”
“Soalnya… ya gitu.” Widya menunduk lebih dalam.
Arman tertawa pelan. “Kalau gitu, biarin aku aja yang ngerasa enak hati.”
Mereka pun naik motor. Mesin dinyalakan, dan deru suara knalpot seakan jadi kamuflase untuk hati keduanya yang sama-sama berisik. Widya duduk di belakang, kali ini tidak menunggu lama. Ia langsung memegang pinggang Arman…pelan, tapi tetap malu-malu.
Arman menoleh sekilas sambil tersenyum kecil. “Nah, gini dong. Kalau enggak, aku yang deg-degan bawa motor.”
Widya menggumam, “Alasannya aja.” Tapi pegangannya tak juga dilepas.
Motor pun melaju meninggalkan alun-alun yang ramai. Sekarang hanya ada dua hati yang berdetak kencang di atasnya, saling berpacu dengan kecepatan laju kendaraan.
------
Eh... kan memang😂