Gadis yang tidak pernah bahagia di hidup nya satu kali saja pun tidak pernah
Di rumah?di sekolah? sama saja! tidak ada yang mau membahagiakan dirinya
bahkan seolah olah dunia ikut mendukung ketidakberdayaan diri nya,semua...SEMUA SAMA SAJA!! tidak ada yang peduli ! Tidak ada yang mengasihani diri nya, punya keluarga namun seperti hidup sebatangkara
MAURA ZAFINA AMORA, gadis yang mencoba untuk mencari secercah kebahagiaan walupun mustahil bagi diri nya
"Gue ada di sini karna gue masih hidup" Fina mengulas senyum kecil pada sudut bibir nya.
"Tapi gue bisa bikin lo sembuh"
Fina menggeleng pelan dengan senyuman manis nya. "Gua sendiri aja gak pernah bisa, apa yang bikin lo yakin banget bisa nyembuhin gua??"
"Hidup gua udah terlalu rumit dan sial, jangan terlalu deket sama gua atau lo juga bakalan rusak, ini juga demi diri lo sendiri"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alwayscoklat_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
musuh Lama
Arkan dan Rey memasuki "Tania Bakery" setelah balik dari makam nara tadi yang mereka kunjungi. Niatnya malam ini ingin melihat Fina yang tengah bekerja di hari pertama nya. Keduanya memarkirkan motor tepat pada parkiran yang tersedia di depan toko roti milik mamah arkan itu.
aroma roti dan mentega yang baru dipanggang menghimbau Arkan dan Rey begitu mereka melangkah masuk ke Tania Bakery.
Lonceng kecil di atas pintu berdenting pelan, mengumumkan kedatangan mereka. Dari balik etalase kaca yang memamerkan aneka kue dan juga pastri. Arkan bisa melihat Fina, dengan apron berwarna krem, sedang sibuk melayani seorang pelanggan. Senyumnya begitu cerah, kontras dengan raut wajahnya yang biasanya kaku di kelas. Ini adalah hari pertama Fina bekerja, dan melihatnya begitu luwes membuat hati Arkan menghangat.
Rey menepuk bahu Arkan sambil terkekeh pelan. "Tuh kan, gue bilang juga apa, Fina pasti cocok kerja di sini," bisiknya.
Arkan mengangguk, matanya tak lepas dari sosok Fina yang kini tertawa renyah. Di tengah hiruk pikuk suara obrolan dan denting sendok, Arkan merasa seolah waktu berhenti sejenak. Ia bukan lagi melihat Fina, si gadis pendiam yang sering menyimpan luka sendirian itu, melainkan Fina, sang penakluk dunia barunya, yang kini berdiri dengan bangga di balik etalase, memancarkan pesona yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Fina yang selesai melayani seorang pelanggan itu memandang Arkan dan Rey yang baru masuk dengan semangat.
"Haloo, kok kalian bisa datang??" tanya nya dengan heran.
"Sengaja, nyemangatin orang yang kerja hari pertama" jawab Rey dengan nada bercanda. Membuat Fina langsung tersenyum, menganggap itu adalah jawaban yang cukup lucu untuk dia dengar.
"Nyaman kerja nya?" tanya Arkan lembut, mengalihkan pembicaraan antara Rey dan Fina.
Fina lagi lagi mengangguk semangat dan tersenyum. "nyaman banget, thankyouu" ucap nya dengan nada yang terdengar ceria.
Arkan mengembangkan senyum nya, lalu mengangguk kan kepala nya. "Syukur lah kalo nyaman." jawab nya.
"Kita ke sana dulu, ada pelanggan tuh." Sela Rey, sedikit menarik tubuh Arkan untuk segera duduk pada kursi kursi yang di sediakan setelah melihat ke arah luar ada beberapa pelanggan yang akan masuk ke dalam toko.
Tentu saja kalo mereka berdua tetap berdiri di dekat Fina membuat gadis itu tidak bisa bekerja.
Di sisi lain, Arkan dan Rey duduk di meja, menikmati aroma manis yang memenuhi udara. Membiarkan Fina bekerja dan mereka juga menghabiskan waktu dengan bersantai di sana.
Di balik etalase, Fina sibuk menata kue-kue cokelat dan red velvet, sementara Arkan dan Rey duduk di meja, menyesap kopi dan menikmati aroma manis yang memenuhi udara. Lonceng pintu berdering pelan, suara yang seharusnya membawa suasana baru, justru membeku di udara. Langkah kaki yang tak asing memasuki ruangan, diikuti oleh tawa yang terlalu keras. Mata Arkan dan Rey terarah ke pintu, dan seketika, senyum Rey memudar sementara wajah Arkan mengeras.
Mereka adalah Bima dan Arya. Bima berjalan dengan langkah santai, sementara Arya menunjuk-nunjuk etalase dengan ekspresi sombong yang tak berubah.
Tanpa kata, Arkan memalingkan wajahnya, matanya terpaku pada cangkir kopi di depannya, menolak untuk mengakui keberadaan mereka. Rey hanya menepuk pelan bahu Arkan, sebuah gestur tanpa kata yang dimengerti Arkan.
Mereka berdua hanya duduk diam, membiarkan kenangan lama kembali menghantui, sementara dua dunia yang berbeda itu tetap berada dalam satu ruangan. Di antara aroma kopi dan manisnya pastry, ada ketegangan yang tak terlihat, menciptakan jarak tak terucap di antara mereka.
Tangan Fina bergerak lincah, mengambil pesanan Bima. Senyum ramahnya tak luntur, meskipun ia sedikit bingung dengan tatapan dingin dari Arya yang berdiri di samping Bima. Bima memilih beberapa roti dan kue, ia terlihat santai, sementara Arya hanya berdiri, mengamati Fina dengan intens. Fina merasa sedikit tak nyaman, tapi ia berusaha mengabaikannya. Fina merasa tak asing dengan kedua wajah pelanggan di depan nya ini.
"Totalnya..." kalimat Fina terhenti saat Arya mengambil langkah maju, mendekati etalase.
"Kerja di sini?" tanya Arya, suaranya pelan dan rendah, namun terdengar menusuk.
Suara itu...Fina ingat! Itu suara laki laki yang dia tabrak sebelum masuk ke toko kue pagi tadi. Yah! Suara itu tampak begitu familiar di telinganya.
"Iya," jawab Fina singkat, berusaha menjaga profesionalitasnya. Sedikit gugup, dan jucga canggung mengingat kejadian pagi tadi.
Arya menyeringai, menampilkan senyum sinis yang tak sampai ke matanya. "Pantas aja," gumamnya.
matanya menelusuri setiap gerak-gerik Fina, dari tangannya yang terampil hingga senyum yang selalu ia berikan. Ada ketertarikan aneh di matanya, seperti seorang pemburu yang menemukan mangsa baru, tercampur dengan ekspresi dingin yang ia tunjukkan.
Fina merasa merinding, tapi ia tetap tersenyum. "Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya Fina, suaranya sedikit bergetar.
Arya tak menjawab, ia hanya mencondongkan tubuhnya sedikit, membuat Bima menoleh. "Ada," jawab Arya, dengan matanya tak lepas dari Fina.
"Senyum lo, gue suka!," bisiknya pelan, hanya untuk didengar Fina.
Fina lantas terdiam, kaku.
Bima yang melihat itu dengan cepat menepuk bahu Arya. "Udah nih, lo bayar dulu," ucapnya.
Arya tertawa pelan, lalu mengeluarkan dompetnya, tak mengalihkan pandangannya dari Fina. Fina segera memproses pembayaran, berharap interaksi ini segera berakhir. Jujur, Fina merasa tak nyaman ada di situasi seperti ini.
Dari tempatnya duduk, Arkan melihat semua itu. Ia melihat Arya yang maju, melihat senyum sinis yang mengembang di bibir Arya, dan yang paling membuat darahnya mendidih, ia melihat Fina yang terdiam kaku.
Cengkeraman Arkan pada cangkir kopinya mengeras, buku-buku jarinya memutih. Amarah yang sudah lama ia pendam kini meledak, tak lagi bisa ia kendalikan. Rey yang duduk di depannya bisa merasakan aura gelap yang tiba-tiba mengelilingi Arkan.
"Kan..." Rey mencoba memperingatkan, tapi Arkan tak peduli. Matanya hanya tertuju pada Fina dan Arya, pada pemandangan yang membuat perutnya terasa mual.
Ia tahu betul tatapan Arya itu, tatapan seorang pemburu. Hatinya berteriak, ingin berdiri, menghampiri, dan menarik Fina menjauh dari sana. Namun, kakinya terasa berat, seolah terpaku pada lantai. Arkan mengepalkan tangan, amarahnya sudah mencapai puncak. Ia merasa ingin menghancurkan sesuatu.
Malam yang tadinya terasa tenang kini berubah menjadi medan perang di dalam benaknya, dan ia merasa kalah, bahkan sebelum pertempuran dimulai.
Kenapa setelah sekian lama dia harus melihat keberadaan Arya lagi? dan naas nya, akan lebih rumit dari pada terakhir kali.
Karna tampaknya Arya, sudah menandai seorang Fina.
"Lebih bahaya kalo dia tau gue suka sama Fina rey." gumam Arkan pelan. Dia yakin jika Arya dan Bima tidak menyadari kehadiran nya di dalam toko ini.
"Itu bakalan lebih rumit, Bahaya buat Fina." ucap Rey yang setuju.
Mata kedua lelaki itu terus menatap ke arah interaksi Arya dan Fina yang berakhir ketika arya dan Bima berjalan keluar dengan beberapa kantong paperbag keluar dari toko.
Yang menyisakan Fina, yang tampak jelas di mata mereka tengah menghela nafas sambil memegang dada nya.
Mereka yakin, pasti fina merasa tidak nyaman.