Erlin, gadis mandiri yang hobi bekerja di bengkel mobil, tiba-tiba harus menikah dengan Ustadz Abimanyu pengusaha muda pemilik pesantren yang sudah beristri.
Pernikahan itu membuatnya terjebak dalam konflik batin, kecemburuan, dan tuntutan peran yang jauh dari dunia yang ia cintai. Di tengah tekanan rumah tangga dan lingkungan yang tak selalu ramah, Erlin berjuang menemukan jati diri, hingga rasa frustasi mulai menguji keteguhannya: tetap bertahan demi cinta dan tanggung jawab, atau melepaskan demi kebebasan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Kyai Abdullah mengajak Abi Husein untuk ke rumah Abimanyu.
Ia sudah meminta para santri untuk membantunya mencari rekaman cctv di rumah sakit.
Sementara itu Billy juga mencari bukti kalau umi Farida dan Riana yang sudah melakukannya.
Ibu Mina menemani Erlin yang masih belum sadarkan diri.
"Lin, buka matamu nak. Ibu disini," ucap Ibu Mina.
Erlin mengigau memanggil nama suaminya dan sesekali tubuhnya menggeliat.
"Lin, bangun nak. Jangan menakuti Ibu seperti ini."
Ibu Mina berharap mereka lekas membawa Abimanyu kesini.
Sesampainya di rumah Abimanyu, Kyai Abdullah melihat putranya yang sedang duduk di atas sajadah.
"Abimanyu, kemarilah nak. Kita bicara soal ini." ucap Kyai Abdullah.
"Apalagi, Kyai? Bukti sudah jelas kalau Erlin dan Billy melakukan hal yang sama seperti Riana lakukan."
Abimanyu menunduk, wajahnya kusut, matanya merah karena terlalu banyak menangis dan bingung.
“Abi, apa aku ini memang suami yang gagal? Kenapa setiap kali aku berusaha menjaga rumah tangga, justru muncul bukti-bukti yang menghancurkan keyakinanku? Dulu Riana, sekarang Erlin. Aku nggak kuat lagi, Abi.”
Kyai Abdullah melangkah mendekat, duduk di samping putranya, lalu menepuk bahunya lembut.
“Anakku, ketahuilah bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Jangan mudah percaya pada apa yang kasat mata sebelum engkau benar-benar memastikan dengan hati yang jernih. Ingat, setan akan selalu mencari jalan untuk merusak rumah tangga.”
“Benar, Nak. Justru saat seperti inilah engkau diuji, apakah engkau memilih bersabar, tabayyun atau justru terburu-buru mengambil keputusan yang bisa menghancurkan segalanya.” ucap Abi Husein.
Abimanyu mengangkat kepalanya, menatap kedua orang alim itu dengan mata berkaca-kaca.
“Tapi yang mereka lakukan sangat jelas, Abi. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.”
"Bi, mereka berdua dijebak dan memang rencana mereka untuk kamu datang ke gudang. Mereka yang haus kekuasaan dalam rumah tangga, bisa melakukan apa saja untuk menjerumuskanmu. Ingat, Umi dan Riana sudah berkali-kali menebar fitnah. Apakah engkau lupa?”
Abimanyu terdiam, hatinya berperang antara rasa cinta dan rasa sakit.
Di saat itu, Billy masuk tergesa, napasnya terengah.
Tangannya membawa sebuah flashdisk dan beberapa kertas hasil cetakan.
“Kyai! Abi! Abimanyu! Aku punya buktinya!”
Semua mata tertuju padanya. Abimanyu berdiri cepat, menahan bahu sahabatnya.
“Apa maksudmu, Bil?”
Billy mengatakan kalau di dalam rekaman cctv rumah sakit ada sosok Umi Farida dan Riana yang menyewa dia preman untuk membius nya dan Erlin.
Abimanyu membeku, matanya terbelalak. Kyai Abdullah memejamkan mata, menarik napas berat dengan rasa kecewa yang mendalam.
“Naudzubillah, Farida. Sampai sejauh ini kau berani menodai kebenaran.”
Abi Husein menoleh ke arah Abimanyu dengan tatapan tegas.
“Nak, inilah bukti yang sebenarnya. Jangan terburu-buru menyalahkan Erlin. Kebenaran Allah pasti akan terbuka.”
Abimanyu memegang kepalanya, tubuhnya gemetar hebat.
“Ya Allah, aku hampir menuduh istriku sendiri." ucap Abimanyu.
Disaat mereka sedang mengobrol tiba-tiba ponsel Abi Husein berdering.
"Abi, lekas ke rumah sakit. Erlin kejang dan sekarang Ibu sedang dalam perjalanan kesana." ucap Ibu Mina sambil menangis sesenggukan.
Abimanyu yang mendengarnya langsung mengambil kunci mobilnya.
Ia segera menuju ke rumah sakit dimana istrinya mengalami kejang gara-gara dirinya.
"Ya Allah, maafkan hambamu yang sudah menuduh istriku. Jangan ambil dia, Ya Allah."
Di perjalanan, hatinya campur aduk antara rasa bersalah, takut, dan doa yang tak henti. Setiap lampu merah membuatnya menahan napas, khawatir keadaannya semakin parah.
Sesampainya di rumah sakit, Abimanyu langsung berlari menuju UGD, melewati perawat dan dokter yang sedang bersiap.
Ia melihat Erlin yang terbaring, tubuhnya masih kejang, wajahnya pucat dengan kedua tangan dan kakinya diikat oleh dokter.
"Kenapa dia diikat? Dokter, kenapa dia diikat seperti itu?"
Perawat mendorong tubuh Abimanyu dan memintanya untuk menunggu di luar ruang UGD.
Abimanyu berdiri di luar UGD, napasnya terengah dan tangannya gemetar. Hatinya dipenuhi rasa bersalah karena hampir menuduh istrinya sendiri, sekaligus panik melihat kondisi Erlin yang kejang.
Ia menundukkan kepala, memejamkan mata sejenak, dan berdoa,
“Ya Allah, tolong kuatkan aku, jangan biarkan istriku terluka. Ampuni hamba yang hampir salah menuduhnya. Lindungi Lin dan anak kami. Amin.”
Di dalam UGD, dokter terus memantau kondisi Erlin.
"Kejang-kejangnya sudah mulai mereda, tapi ia masih tidak sadar sepenuhnya."
Dokter meminta perawat untuk selalu memantau kondisi Erlin.
“Stabilisasi pasien ibu hamil ini harus dilakukan hati-hati. Kejang bisa terjadi karena stres yang tinggi atau kelelahan ekstrem. Terus pantau tekanan darah dan denyut jantungnya.”
Perawat menganggukkan kepalanya dan mereka kembali memantau Erlin.
Abimanyu masih berdiri di luar ruang UGD, menahan napasnya.
Tubuhnya gemetar hebat, hatinya campur aduk antara rasa bersalah, panik, dan doa yang tak henti.
Ia menundukkan kepala, menggenggam tangannya, dan berbisik lirih:
“Ya Allah, aku hampir menuduh istriku sendiri. Ampuni hamba, lindungi istri dan anak kami, jangan biarkan mereka terluka.”
Tak lama kemudian, Ibu Mina tiba di lorong UGD, wajahnya pucat tapi tetap berusaha tegar. Ia menepuk bahu Abimanyu lembut.
“Nak, jangan terlalu larut dalam rasa bersalah. Lin masih di sini, dan kita semua harus fokus agar dia bisa pulih. Abi harus kuat untuknya.”
Abimanyu mengangguk perlahan, menatap tangan istrinya yang masih terbaring di dalam UGD melalui jendela kaca. Setiap detik terasa panjang, napas Erlin yang masih tak stabil membuat hatinya semakin sesak.
Di dalam ruang UGD, dokter menatap monitor dengan serius.
“Kejang sudah mulai mereda, tapi pasien masih belum sadar sepenuhnya. Tekanan darahnya stabil, tapi jangan lengah. Ibu hamil sangat rentan terhadap stres, dan ini bisa memengaruhi janin.”
Perawat sibuk mencatat setiap parameter, sementara satu perawat lain menenangkan Erlin dengan lembut.
Abimanyu menunduk, memejamkan mata, dan mulai membaca doa pelan, tangannya seakan ingin menembus kaca untuk menenangkan istrinya.
“Ya Allah, selamatkan Lin, kuatkan dia, berikan kesembuhan pada tubuh dan jiwa. Jagai anak kami juga, Ya Allah. Jangan biarkan kami kehilangan satu pun dari mereka.”
Ibu Mina menepuk punggung Abimanyu dengan lembut.
“Nak, tetaplah di sini. Lin butuh ketenangan, dan dia pasti merasakan doa serta kasih sayangmu. Abi, jangan tinggalkan dia.”
Abimanyu menatap wajah ibunya, lalu menoleh ke arah pintu UGD.
Beberapa menit kemudian, dokter keluar dan memberi isyarat kepada Abimanyu dan Ibu Mina.
“Pasien mulai sadar perlahan. Tetap tenang, jangan panik, dan jangan membuatnya terlalu lelah. Kami akan terus memantau kondisinya.”
Abimanyu menarik napas panjang, wajahnya masih pucat, tapi ada secercah lega.
Ia segera masuk ke ruang UGD, meraih tangan Erlin, dan menempelkan dahinya di tangan istrinya.
“Abi di sini, Lin. Abi nggak akan kemana-mana. Kita akan lewati ini bersama, InsyaAllah.”
Erlin membuka matanya dan seperti orang kebingungan.
"K-kamu siapa? A-aku dimana?"
"Lin, ini aku Abi.Suami kamu."
Erlin menggelengkan kepalanya dan mengatakan kalau ia tidak mengenal Abimanyu