NovelToon NovelToon
Renjana Senja Kala

Renjana Senja Kala

Status: tamat
Genre:Romantis / Contest / Romansa / Tamat
Popularitas:19.3M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

SEGERA TERBIT CETAK

"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".

***

Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.

Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.

Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.

Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35. The Love I Never Knew

The Love I Never Knew

(Cinta yang tak pernah kuketahui)

-diambil dari lirik lagu berjudul "Since I Found You" yang dinyanyikan oleh Christian Bautista-

***

Jakarta

Tama

Pocut terdiam seraya menundukkan pandangan, "Saya tidak bisa berjanji."

Ia tersenyum, "Nggak harus janji. Kamu tinggal datang ke rumah mama saya."

"Anytime ...." Tambahnya. "Maksud saya ... kapanpun kamu bisa."

"Oya, berapa nomor ponsel kamu? Begitu kamu ada waktu, saya langsung minta Pak Cipto untuk jemput ke rumah."

Sada pasti akan terpingkal-pingkal jika berada di sini. Menertawakan wajah tegangnya sebab khawatir mendapat penolakan.

Yeah, benar-benar di luar nalar dan kewajaran. Perihal sesimple meminta nomor ponsel saja bisa membuat kepalanya cenat cenut tak karuan. Memiliki intensitas ketegangan yang selevel dengan membongkar kasus rumit tanpa petunjuk memadai.

Damned!

Beginilah nasib menjadi orang yang tak pernah mengalami penolakan, batinnya menghibur diri. Tentu dengan sejumput selipan rasa percaya diri akut. Begitu bertemu dengan pribadi yang berbeda seperti Pocut, nyali langsung menciut. Seperti kerupuk yang disiram air.

"Saya bisa pergi sendiri," jawab Pocut jelas menghindar. "Tidak perlu repot-repot meminta Pak Cipto untuk menjemput."

"Saya tetap perlu nomor ponsel kamu .... Meski kamu pergi sendiri ke rumah mama saya."

Pocut mengernyitkan dahi mendengar modus pemaksaannya yang terlalu kentara. Kalau Sada bilang, kurang main cantik.

Whatever (terserah). Saat ini ia sedang tak ingin mengulur waktu, "Saya minta ke Cakr ...."

"Kosong delapan satu tiga ...."

Ia mengu lum senyum. Buru-buru memasukkan sederet angka yang disebutkan Pocut ke dalam daftar kontak. Definisi dari usaha takkan mengkhianati hasil.

"Kamu mau pesan apa?" Tanyanya dengan penuh kepuasan, sembari melihat buku menu. Usai berhasil memperoleh nomor keramat. "Menu andalan di sini adal ...."

"Saya belum salat Maghrib."

Ia melirik pergelangan tangan kanan, "Baru lewat sedikit."

Tapi embusan halus napas Pocut bahkan terdengar begitu jelas di telinganya.

"Oke," ia mengangguk mengerti. "Kita pesan dessert saja," lanjutnya seraya memanggil pelayan. Sama sekali tak memberi Pocut pilihan.

"Burnt cheesecake ... karamelnya pisah." Ia mulai menyebut pesanan yang diinginkan. "Pandan gula merah ...."

Dari sudut mata, ia bisa menangkap kerutan di kening Pocut yang tak kunjung menghilang. Tanda alami jika Pocut sebenarnya merasa sangat keberatan dengan keputusan sepihaknya memesan dessert.

Alih-alih memprotes tindakannya. Pocut memilih untuk diam dan menunduk. Menyimpan ketidaksetujuan seorang diri. Lain daripada yang lain. Teramat berbeda dari semua tipe wanita yang selama ini dijumpainya.

"Since I found you, my world seems so brand new

(Sejak aku menemukanmu, duniaku tampak baru)

You've shown me the love I never knew

(Kamu telah menunjukkan padaku, cinta yang tak pernah kuketahui)

Your presence has sparked my whole life through"

(Kehadiranmu menyemangati seluruh hidupku)

(Christian Bautista, Since I Found You)

Ia hanya mengu lum senyum mendengar sayup-sayup lagu yang menghiasi keseluruhan ruangan. Memandangi Pocut yang selalu nampak gugup. Dan kini tengah bersusah payah menelan burnt cheesecake.

"Musholla di lantai tiga," gumamnya begitu mereka keluar dari Sweetest House.

Pocut hanya mengangguk. Berjalan dengan sangat perlahan. Selalu berusaha menjaga jarak dengannya.

"Silakan ...." Ia tersenyum mempersilakan Pocut untuk berjalan mendahuluinya di depan.

Tapi Pocut justru mengernyit, "Saya nggak tahu di mana Mushollanya."

"Nanti di depan," jawabnya tetap mempersilakan Pocut untuk berjalan lebih dulu.

Begitu Pocut masuk ke toilet wanita, ia segera menggulung celana. Bersiap untuk mengambil air wudhu.

Ini menjadi yang pertama baginya. Menyegerakan melaksanakan ibadah meski sedang berada jauh di luar rumah. Hal yang tak pernah dilakukannya.

Ia bukanlah tipikal taat. Ibadah wajib harian dikerjakan saat memungkinkan. Jika memang tak sempat, hampir bisa dipastikan akan terlewat begitu saja.

Beruntung sudah ada seseorang yang berdiri di tempat imam. Menghindarkannya dari menjadi imam untuk Pocut. Hal yang memang dijauhinya. Sebab tak ingin Pocut mengetahui kelemahannya.

"Kita beli oleh-oleh untuk Sasa," ujarnya ketika menekan tombol LG (lower ground) sebagai pilihan lantai tujuan.

Tapi Pocut menggeleng, "Terima kasih. Saya harus segera pulang."

"Sebentar ini cuma ...." Ia mengembuskan napas panjang karena Pocut dengan tegas memberi tatapan tak sepakat.

"Tanpa oleh-oleh?" Gumamnya pada diri sendiri. Terpaksa mengiyakan keinginan Pocut untuk segera pulang.

Dan sepanjang perjalanan, sama seperti sebelumnya, Pocut selalu melempar pandangan ke arah samping kiri. Sama sekali tak menghiraukannya.

"Mungkin nanti ... kamu bisa bantu mama untuk melupakan kesedihan karena kehilangan ...." Ia berusaha memecah kesunyian dengan membuka pembicaraan.

"Mungkin kamu bisa ceritakan pengalaman kamu melupa ...."

"Sebenarnya ... saya bukan orang yang tepat untuk membantu Bu Niar," sergah Pocut memotong kalimatnya.

"Kalian berdua sama-sama ...."

"Saya juga belum bisa," Pocut kembali memotong ucapannya.

Ia menoleh ke arah Pocut dengan kening mengerut.

Pocut menatapnya gugup, "Saya sendiri belum bisa melupakan ...."

Ia tersenyum mengangguk, "Saya mengerti. Pasti berat buat kamu."

"Bukan hanya berat, tapi menyakitkan ...."

Ia kembali menoleh ke arah Pocut. Hingga pandangan mereka saling bersua.

Ia pun tersenyum mengangguk, "Kamu tahu ... jika ada dua orang penakut yang bersama, maka mereka bisa menjadi pemberani. Jadi ... jika ada dua orang patah hati karena maut ...."

Ia mengembuskan napas panjang sebelum kembali berkata, "Maka ... mereka bisa menjadi kuat dalam waktu yang sama."

Helaan napas panjang yang nampak berat terdengar dari samping kirinya.

"Kalau kamu khawatir tentang saya ...." Kali ini ia tersenyum tipis.

"Saya nggak akan berada di rumah selama kamu menemani mama."

"Karena ada banyak kasus yang belum terselesaikan. Banyak orang yang harus saya buru. Waktu saya benar-benar habis untuk mengurusi urusan orang lain yang bahkan nggak saya kenal ...."

Pocut menatapnya dengan kening berlipat. Namun sedetik kemudian mendesah tak percaya, "Itu memang sudah menjadi tugas ...."

"Tugas saya?" Ia makin mengu lum senyum. Pocut selalu terlihat kesulitan saat hendak menyebutkan namanya.

Tapi Pocut kembali memalingkan pandangan ke arah samping kiri. Sama sekali tak berkomentar.

Membuatnya mengangguk setuju, "Memang tugas saya."

"Semoga kamu mulai terbiasa ...." imbuhnya sungguh-sungguh. "Kalau saya nggak punya banyak waktu."

Pocut menoleh ke arahnya dengan tatapan menuduh, "Nggak punya banyak waktu tapi jalan dan makan di Mall di jam sibuk."

Ia langsung tertawa, "Oh ... kalau yang ini beda. Demi tugas negara membahagiakan orangtua."

Tapi Pocut tak menanggapi jurus berkelitnya. Kembali melemparkan pandangan ke arah samping dengan tanpa ekspresi.

Pocut baru bersuara ketika ia berniat menepikan kemudi memasuki pekarangan H. Murod.

"Saya turun di depan gang saja."

"Nggak ada tempat parkir," gelengnya tak setuju. Jenis kendaraan berukuran besar miliknya jelas akan mengganggu arus lalu lintas jika diparkir di pinggir jalan.

"Nggak perlu parkir," Pocut balas menggeleng. "Bisa langsung pulang."

Ia hampir tertawa, "Saya antar sampai ke rumah."

"Terima kasih. Tapi nggak perlu. Saya bisa jalan sendiri," jawab Pocut bersikeras. "Tak akan tersesat."

Ia tersenyum seraya menggelengkan kepala mendapati keteguhan hati Pocut.

"Baiklah. Gimana mau kamu ...." Gumamnya, kembali melajukan kemudi melewati pekarangan milik H. Murod. Menghanguskan kesempatan bertemu dengan gadis cilik nan ceria, yang selalu membuat dirinya merasa diakui dan dibutuhkan.

***

Pocut

Pak Raka berkali-kali meminta maaf. Perihal tentang bagaimana cara ibu Pak Raka memperlakukannya saat bertemu di rumah Anjani.

"Tolong maafkan mama saya. Beliau nggak bermaksud demikian. Harap maklum kalau orangtua bicara kadang suka begitu ...."

Ia tersenyum mengerti. Ibu Pak Raka sama sekali tak bersalah. Beliau hanya menginginkan kebahagiaan untuk putra dan cucunya. Sama seperti ibu-ibu lain di seluruh penjuru bumi.

Kebahagiaan yang diukur menurut pengalaman hidup. Bahwa hubungan akan berhasil jika para pelakunya berada di strata yang sama. Alias sederajat. Tak ada perbedaan mencolok bak langit dan bumi yang bisa menjadi sumber masalah atau pertikaian.

Sama seperti yang dirasakannya. Saat melihat seorang wanita cantik menghambur ke dalam pelukan Tama. Kinanti sang mantan adalah gambaran nyata dari kesempurnaan. Cantik, terpelajar, santun. Paket lengkap mimpi hampir semua pria di muka bumi.

Berbanding terbalik dengan dirinya yang cukup seadanya. Tanpa kelebihan yang bisa dibanggakan. Apalagi gelar dan sederet prestasi cemerlang.

Sebab hidup bukanlah tentang dirinya. Tapi tentang Icad, Umay, Sasa, juga Mamak. Tentang bagaimana mereka berlima bisa tetap melambungkan asa. Berbahagia di tengah hiruk pikuk dan hingar bingar kehidupan.

"Saya berat melepas kamu, Cut," keluh Pak Raka di hari terakhirnya bekerja. "Kerjaan kamu makin bagus. Saya sudah klik sama kamu."

"Kemarin saya sempat ngobrol sama Tama ...."

Orang itu lagi, keluhnya merasa tak nyaman.

"Tentang nempatin kamu di QC."

Tapi keputusan sudah bulat. Ia akan kembali ke tempat semula. Dunia miliknya. Dunia yang selama ini membersamainya. Dunia penuh kedamaian sebagai menantu, ibu dan juga tukang masak. Terasa lebih menentramkan sekaligus menenangkan.

"Kalau suatu saat kamu berubah pikiran dan memerlukan pekerjaan ...." Pak Raka memandangnya sungguh-sungguh. "Jangan ragu untuk hubungi saya."

"Tempat ini selalu terbuka untuk kamu ...."

Ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

"Oya ... kapan-kapan kita play date dong. Shaina sama Sasa biar main bareng," Pak Raka tersenyum menatapnya.

"Kita jadwalkan sekarang. Kapan kamu bisa? Weekend ini?"

Weekend ini adalah libur panjang. Dan kemarin Anjani menelepon hanya untuk memintanya datang.

"Kak, besok aku ke Bandung. Kakak main ke rumah ya ...."

Sejak bertemu dengan Tama hampir seminggu lalu, ia belum pernah sekalipun mengunjungi Bu Niar.

Selain karena masih bekerja, ia juga bingung harus mengemukakan alasan apa jika tiba-tiba harus datang berkunjung.

Dan sekarang ada alasan kuat, yaitu Anjani yang memintanya datang. Sebab ia merasa sungkan jika harus menjadikan permintaan Tama sebagai alasan utama.

Jam sembilan pagi ia sudah bersiap untuk berangkat dari rumah.

"Katanya Mama udah berhenti. Sekarang tanggal merah masih kerja?" Selidik Icad.

"Mama ada urusan sebentar, Bang. Bukan kerja," jawabnya sambil menyiapkan bahan-bahan untuk membuat pulut kuning yang hendak dibawa.

Ia memilih untuk memasak pulut kuning. Karena Bu Niar pernah menanyakan resepnya saat pernikahan ulang Anjani dan Agam dulu.

"Aroma dan rasanya beda dengan pulut kuning yang pernah saya makan," gumam Bu Niar. "Ini harum dan lezat sekali. Apa resepnya?"

Icad tak bertanya lagi. Tapi wajah cemberut putra sulungnya itu tak luput dari pengawasan matanya.

"Sasa boleh ikut nggak, Ma?" Sasa menggelayuti lengannya yang sedang memasukkan bahan-bahan ke dalam tote bag.

Ia menggeleng, "Nggak ada yang ikut. Semua di rumah."

Sasa langsung memasang wajah merajuk. Sementara Umay hanya menggaruk-garuk kepala di depannya. Memperhatikan kesibukannya memasukkan barang-barang ke dalam tote bag.

"Ini acara ibu-ibu," terangnya sambil mengedarkan pandangan ke arah Sasa, Umay, juga Icad yang berlagak acuh.

"Nggak ada yang menarik," lanjutnya. "Nanti kalau ikut ... di sana pasti bosan menunggu Mama."

"Nanti pada minta pulang sebelum acara selesai," ia pura-pura mengeluh. "Terus Mama gimana?"

Bibir Sasa mengerucut seraya terus menggelayuti lengannya. Sementara Umay mulai terlihat tak peduli. Sama seperti Icad yang sudah asyik menggambar di atas selembar kertas.

"Sasa mau ikut sama Nenek?" bujuk Mamak yang baru muncul dari arah dapur.

"Hari ini ada acara masak-masak di rumah Pak Ustadz," sambung nenek seraya mengusap kepala Sasa.

"Oiya, nyembelih kambing!" Teriak Umay antusias. "Aku ikut, Nek!"

Nenek mengangguk, "Pak Ustadz mau aqiqah adik bayi yang baru lahir."

"Adeknya Aira?" Tebak Sasa mulai merasa tertarik dengan ajakan mamak.

"Adeknya Aira, Tsabita, Hana ...." Ia ikut menambahkan dengan menyebut nama putri Ustadz Arif.

"Adeknya Abdur sama Zubair juga," sahut Umay yang sudah duduk memelototi layar televisi.

Sasa mengangguk mantap, "Mau ikut sama Nenek."

Ia pergi ketika Sasa sudah ceria kembali. Umay asyik menonton televisi. Sementara Icad serius menggambar.

Sekitar jam sepuluh lebih barulah ia sampai di depan pintu gerbang rumah Anjani. Dan langsung disambut oleh sekuriti yang berjaga di depan.

"Sendirian aja, Bu?" Sapa Pak Wardi sambil membukakan pintu gerbang untuknya. "Nggak ada yang mengantar?"

"Iya, Pak," ia tersenyum mengangguk. "Mari ...."

Sepanjang perjalanan dari rumah hingga sampai di halaman depan rumah Anjani, pikiran di kepalanya terus berputar. Sibuk merencanakan topik obrolan yang kira-kira menyenangkan dengan Bu Niar.

Rupanya bukan topik obrolan yang harus dikhawatirkan. Tapi kehadiran tamu lain yang sudah datang terlebih dahulu sebelum dirinya.

"Wah ... rame nih, seru nambah personel," ujar Bu Rita, ibunda Adipati, teman Anjani yang rumahnya tepat berseberangan. Begitu melihatnya datang. "Acara baking kita jadi makin asyik."

"Iya, Tante ...." Sahut seorang wanita cantik bernama Samara.

"Teman spesial Mas Tama ...." Terang Samara dengan senyum merekah, saat mereka berdua diperkenalkan oleh Bu Niar.

Dan Samara sama sekali tak canggung. Samara bahkan terlihat begitu luwes dan akrab saat berada di antara Bu Niar dan Bu Rita.

"Udah nggak sabar nih saya ...." Sambung Samara dengan senyum sumringah. "Baking ... baking ...."

"Yuk ... kita langsung eksekusi ...." Bu Rita melenggang masuk ke dapur. Diikuti oleh Samara yang menggamit lengan Bu Niar. Sementara ia tertinggal di belakang memandangi isi tote bag dengan bingung.

"Mara sayang ... sukanya bikin kue apa?" Tanya Bu Rita yang sedang menyiapkan peralatan.

"Aduh, aku masih newbie, Tante," jawab Mara seraya tertawa renyah. "Paling cookies gitu ... yang simple simple deh."

"Kalau Pocut ... wah, pasti jago nih bikin kuenya?" Bu Rita mengerling ke arahnya.

"Saya su ...."

Tapi ucapannya terpotong di udara karena Samara keburu berkata.

"Eh, Tante Niar ... kalau kue favorit Mas Tama apa, Tan?"

Tanpa berpikir Bu Niar langsung menjawab, "Tama paling suka Nastar."

"Wah ... kalau gitu kita bikin nastar aja gimana, Tan?" seru Samara antusias ke arah Bu Rita.

"Boleh," Bu Rita mengangguk. "Kita bikin kue kesukaan calon jenderal kesayangan kita semua ...."

Samara tertawa sambil menutup mulut mendengar sebutan Bu Rita untuk Tama.

"Nastar sama pandan cake with caramel custard puding ...." Imbuh Bu Rita yang dengan cekatan menyiapkan wadah dan bahan-bahan.

Sambil menelan ludah ia menyimpan tote bag di bawah kitchen set. Tapi Bu Niar memergokinya.

"Pocut bawa apa?"

Ia tersenyum dan menggeleng, "Bukan apa-apa, Bu ...."

"Jangan disimpan di lantai," Bu Niar menggeleng tak setuju. "Nanti kotor. Simpan di atas saja."

Ia mengangguk. Segera memindahkan tote bag ke tempat yang ditunjuk oleh Bu Niar.

"Pocut ini master chef, Ceu," ujar Bu Niar seraya tersenyum ke arahnya. "Semua masakan yang dimasak Pocut rasanya enak."

"Wah?" Bu Rita ikut tersenyum ke arahnya. "Mau dong ... kapan-kapan kita short course (kursus singkat) masakan Aceh sama Pocut."

"Tan, tahu nggak kenapa kalau aku bikin cookies tuh kadang suka berongga?" Sambar Samara sebelum ia sempat menjawab selorohan Bu Rita.

"Di mixed aja kaleng merah sama merk pasaran," jawab Bu Rita. "Tapi harus banyak latihan meracik biar nggak cepat leleh."

"Kalau cookies jadi hancur gimana tuh, Tan?" Samara kembali bertanya.

Sementara ia mulai menyibukkan diri membantu Bu Rita menyiapkan adonan.

"Menteganya kebanyakan tuh," jawab Bu Rita. "Tambahin putih telur biar nggak hancur."

Samara mengangguk-angguk.

"Selainya pakai yang instant aja, Ceu?" Tanya Bu Rita.

Bu Niar menggeleng, "Nggak akan kemakan sama Tama. Biar Jaja suruh beli ganas (nanas) dulu."

Ia sudah bersiap untuk mengocok adonan, tapi keburu Samara meraih mixer dari tangannya.

"Sini ... biar aku aja," ujar Samara tanpa melihat ke arahnya.

Entahlah, ia merasa bingung mengapa bisa berada di tempat ini. Sepertinya ia memilih waktu yang keliru. Atau ... ia merasa lupa diri dengan permintaan Tama dan Anjani untuk menemani Bu Niar? Tak pernah mempunyai pikiran, jika Tama juga meminta hal yang sama pada wanita lain.

Wanita kenalan Tama yang sederajat. Memiliki status sosial yang sama. Persis seperti yang didengungkan oleh ibunda Pak Raka tempo hari.

Ia hanya bisa menggelengkan kepala menertawakan kebodohan diri sendiri. Bagaimana bisa benteng pertahanannya runtuh hanya gara-gara seorang pria meminta untuk datang ke rumah, dengan dalih menghibur sang mama agar tak lagi berduka?

Benar-benar menggelikan. Seperti bukan dirinya. Padahal selama ini bentengnya begitu kokoh meski banyak orang datang silih berganti. Namun ia bisa tetap bergeming.

Kini, ia sedang memarut nanas untuk dibuat selai. Sambil sesekali memperhatikan keakraban antara Samara dengan Bu Niar juga Bu Rita. Kemudian mengembuskan napas panjang mendengar Samara yang tertawa-tawa riang.

Mungkin, penilaiannya tentang Tama selama ini keliru. Bahkan salah besar.

Sayang sekali.

Syukurlah, ia belum terlalu jauh melangkah.

Masih bisa berbalik dan melangkah pergi.

***

1
Yulistiani Hamid
keren habis
Bibah Jung
Part ini yang selalu bikin mewek, padahal udah baca entah yg ke berapa😭
Naumi
anak tua ya saa 😂 🤣
Lugiana
eakkk...eaaakk /Facepalm//Facepalm/
Athalla✨
penjahat pencuri hati dan pikiran kak 🥰
Furia
Karya Luar Biasa 😍😍
Ri_viE
aku slalu melewati bab yg Reka dan sasa di culik itu 🥺🥺 ngga tega bgt. kenapa konfliknya sekeras itu.
Athalla✨
nah ini support system datang juga akhirnya
Athalla✨
kak Pocut serasa lagi diomongin gk sih 😅
Athalla✨
untung gk ada mas Sada,, udah di ceng²in yang ada nanti 🤣🤣
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭
Athalla✨
harus dong, biar nggak salah paham kedepannya kan repot jadinya
Athalla✨
cegil juga nih samara
Athalla✨
jadi penasaran sama cerita temen²nya mas Tama hmm
Athalla✨
jadi salah paham kan 🤦🏻‍♀️
Athalla✨
bukan lagi gosong malah
Athalla✨
nantangin ini namanya... cuz halalin dong mas 🤭
Athalla✨
panas dingin campur salting pastinya kak Pocut
Athalla✨
tuh kan mana mau mas Tama nolak, orang dapet rejeki nomplok wkwk
Athalla✨
udah jelas ini mah mas Tama mau lah tanpa paksaan 🤣
Athalla✨
udah dapat lampu hijau dari mamak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!