Ketika Maya, pelukis muda yang karyanya mulai dilirik kolektor seni, terpaksa menandatangani kontrak pernikahan pura-pura demi melunasi hutang keluarganya, ia tak pernah menyangka “suami kontrak” itu adalah Rayza, bos mafia internasional yang dingin, karismatik, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Maksud Nenek… Yoga?" tanyaku pelan. Menyebut namanya saja rasanya udah cukup buat mataku panas.
Rasanya waktu nggak selalu bisa nyembuhin segalanya secepat itu…
"Iya, Yoga..." jawab Nenek, pelan.
"Aku memang sayang sama dia. Tapi aku belum cerita ke Nenek soal semuanya. Setelah 30 hari ini selesai, semuanya bakal balik seperti semula. Percaya deh," kataku sambil tersenyum, meski rasanya berat.
Secara teknis aku nggak bohong. Aku masih cinta Yoga, meski aku nggak tahu dia di mana dan nggak ada kabarnya sejak ninggalin aku. Tapi Nenek nggak perlu tahu semua itu. Nanti malah bikin beliau makin kepikiran.
"Baguslah. Nenek nggak mau ninggalin kamu sendirian pas nanti... kamu tahu sendiri lah..." kata nenekku dengan nada lega.
Ekspresi wajahnya bikin hatiku nyesek. Aku benci banget waktu dia ngomong soal kematiannya sendiri seolah-olah waktunya udah dekat. Meskipun hidupnya udah nggak lama lagi, dia masih aja mikirin aku lebih dari apa pun.
"Jangan ngomong gitu, Nek. Aku bakal baik-baik aja... dan Nenek masih bakal di sini, nemenin aku untuk waktu yang lama," kataku sambil menggenggam tangannya, mencoba menenangkannya.
Mungkin saat itulah aku dapet ide buat menjadikan nenek sebagai subjek lukisan proyekku. Aku pengin mengabadikan beliau dalam lukisanku. Rasanya pas banget aku juga pengin ngabisin waktu bareng nenek, jadi sekalian aja waktu itu kugunakan buat ngelukisnya.
"Aku ada proyek buat bikin lukisan. Gimana kalau aku lukis potret Nenek? Menurut Nenek gimana?" tanyaku ceria.
"Potret... Nenek? Serius?" tanyanya, kaget tapi senang dengan idenya.
"Kalau Nenek nggak keberatan. Menurutku itu ide bagus. Aku bisa sering ke sini, nengokin Nenek sambil ngelukis," kataku dengan yakin.
"Ya udah, ayo kita lakuin!" jawab nenekku sambil tersenyum hangat.
"Besok aku bawain semua perlengkapannya, kita bisa langsung mulai," ucapku semangat.
Kami terus ngobrol sampai akhirnya nenek tertidur. Setelah itu aku balik ke kamar penthouse. Kata-kata nenek tadi masih terngiang-ngiang di kepalaku. Dia benar-benar khawatir soal hidupku setelah dia nggak ada. Aku nggak nyalahin dia. Jujur aja, aku juga khawatir dengan keadaanku sekarang. Tapi yang bisa aku lakuin sekarang adalah bertahan selama 30 hari ini, terus balik ke kehidupan normal, lulus kuliah, dan cari kerja.
Aku bersyukur perjalanan balik ke penthouse malam itu tenang. Para pengawal hampir nggak pernah ngomong kecuali kalau penting. Aku pakai waktu di mobil buat mikir dan merenung. Tapi sekeras apa pun aku coba, pikiran soal Yoga muncul lagi, apalagi setelah nenek nyebut-nyebut namanya.
Udah hampir setahun sejak Yoga ninggalin aku. Sejak saat itu, kami benar-benar berpisah.
Sampai sekarang aku masih nggak ngerti kenapa dia mutusin aku tiba-tiba kayak gitu.
Setelah hari itu, dia ngilang begitu aja dari hidupku. Aku nggak bisa hubungi dia, dan aku nggak tahu dia ke mana. Aku udah tanya semua temen-temennya, bahkan temen-temen kami di kampus, tapi nggak ada yang tahu. Yoga benar-benar hilang. Aku kangen banget sama dia... dan aku masih sayang sama dia. Aku tahu seharusnya aku move on, harusnya aku bisa ngelupain dia... tapi aku nggak bisa.
Di mana pun dia berada, aku cuma berharap dia bahagia dan menjalani hidup yang baik...
"Kita udah sampai," suara pelan membuyarkan lamunanku.
Aku kembali tersadar dan menoleh ke luar jendela mobil. Ternyata kami sudah sampai di apartemen mewah tempatku tinggal. Aku turun dan naik lift ke lantai paling atas bareng para pengawal, tanpa banyak bicara. Begitu sampai, aku menarik napas panjang sebelum memutar gagang pintu dan masuk ke dalam penthouse.
“Oh... selamat datang kembali!” suara Bibi menyambutku dengan hangat begitu melihatku masuk.
"Terima kasih. Semoga harimu menyenangkan juga..." jawabku pelan.
Aku sempat melihat ekspresi ragu di wajah Bibi, seperti ada yang ingin dia tanyakan tapi akhirnya ditahan. Aku paham kenapa dia begitu, apalagi saat aku berjalan ke arah meja makan.
Di sana masih ada sarapan yang kubuat untuk Rayza pagi tadi masih utuh, tidak disentuh sama sekali. Sekarang sudah sore, tentu saja makanannya sudah dingin banget. Aku sempat berharap Bibi sudah membereskannya, tapi ternyata dibiarkan begitu saja. Rasanya sayang banget, mubazir...
"Saya yakin... Tuan Rayza cuma terburu-buru tadi pagi," ucap Bibi pelan, entah untuk menghiburku atau menghibur dirinya sendiri.
Aku cuma mengangkat bahu sambil mengambil piring berisi makanan itu. Sebenarnya aku sudah menduga Rayza nggak akan menyentuhnya. Jadi bukan berarti aku sakit hati atau kecewa banget. Tapi tetap saja, ada rasa nggak enak di hati. Soalnya aku tahu makanan itu enak... dan sekarang bakal terbuang percuma.
"Ya sudahlah. Maaf ya, jadi buang-buang makanan begini..." kataku sambil mencoba tersenyum.
"Oh tidak... ini bukan salahmu," jawab Bibi cepat sambil melambaikan tangan.
"Biar aku bantu beresin, ya," ujarku, lalu berjalan pelan ke dapur.
"Jangan, Nona. Itu tugas saya. Anda nggak boleh ngerjain ini. Anda kan nyonya di rumah ini," Bibi langsung menolak dengan sopan.
"Haha... nggak, Bi. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku cuma di sini karena masih punya utang ke bos. Tapi tenang aja, aku bakal pergi dari sini... pas 28 hari lagi," jawabku sambil tertawa kecil, sedikit menyindir diri sendiri.
Aku? Jadi nyonya rumah? Gila aja!
"Oh... Baiklah, jangan terlalu dipikirkan. Bibi yakin Tuan Rayza menghargai apa yang sudah kamu lakukan untuknya, dia hanya memang nggak terbiasa sarapan. Itu saja..." kata Bibi, meskipun aku tahu nada suaranya terdengar ragu.
"Kamulah yang terlalu banyak mikir. Aku bukan bikin sarapan karena kupikir dia bakal makan, aku cuma pikir dia nggak bakal bangun pagi, jadi kalau aku bikin sarapan, aku nggak perlu ketemu dia," jawabku terus terang.
Begitu aku menoleh ke arah Bibi, raut wajahnya yang sedih dan serius langsung bikin aku menyesal dengan kata-kataku barusan. Meskipun semua itu benar-benar apa yang kupikirkan dan rasakan, mungkin ucapanku terlalu tajam buat didengar Bibi. Aku tahu dia ingin aku dan Rayza bisa bersama, menikah, dan seterusnya. Tapi… itu nggak mungkin.
"Nona Maya…" bisik Bibi sambil menghela napas.
"Selamat malam, Bi," ucapku, mencoba mengakhiri pembicaraan ini.
Aku masuk ke kamar dan mulai menyiapkan beberapa bahan untuk sesi menggambar dan melukis bareng nenek besok. Sambil mengambil beberapa lembar kertas gambar dan pensil, aku mulai bikin sketsa beberapa pose yang mungkin bisa dilakukan, mengingat nenek bakal tetap di ranjang rumah sakit.
Aku begitu tenggelam dalam pekerjaanku sampai-sampai waktu terasa terbang begitu saja. Saat aku meregangkan badan dan menengadah, ternyata sudah larut malam. Aku beresin semua perlengkapan gambar, lalu ke kamar mandi buat mandi air hangat yang nyaman dan menenangkan.