NovelToon NovelToon
MONOLOG

MONOLOG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:460
Nilai: 5
Nama Author: Ann Rhea

Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.

Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.

Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malaikat Kecil

Lyodra jatuh pingsan di kantor tadi. Ia langsung dilarikan ke klinik terdekat untuk diperiksa. Begitu sadar, suara bentakan Merin langsung menyambutnya penuh emosi yang bercampur cemas.

"Bagaimana bisa kamu hamil, tapi gak tahu kalau kamu hamil? Itu tubuh kamu, Ly! Kenapa kamu bisa seceroboh ini?"

Dahi Lyodra berkerut. Ia mencoba bangkit dari brankar, namun tubuhnya terasa berat.

"Jangan bergerak! Diam di situ!" sentak Merin lagi, kali ini suaranya serak, seperti menahan air mata. "Segitu hancurnya kamu sampai lupa jaga diri kamu sendiri?"

Tatapan Lyodra kabur. Kelopak matanya basah. "Aku... aku gak tahu, Ma," bisiknya. "Aku kira aku telat haid karena stres jadi... a-aku hamil?"

Suasana hening sejenak. Merin menutup mulutnya dengan tangan, kaget sekaligus tersayat melihat putrinya menangis tanpa suara.

Lyodra menunduk, bahunya bergetar. "Aku gak ngerasain apa-apa, Ma. Cuma kadang pusing... suka gak enak badan, tapi aku pikir cuma capek kerja."

Merin menghela napas panjang, namun suaranya bergetar. "Kamu telat berapa bulan?"

Lyodra menggeleng lemah. "Gak tahu... aku bahkan gak ingat kapan terakhir..."

Merin tertegun. Matanya berkaca-kaca. "Ken udah hilang dua bulan lalu, Ly... Kamu... kamu gak mungkin sama laki-laki lain, kan?"

Lyodra langsung mengangkat wajahnya, meski air mata terus jatuh. "Enggak, Ma... Aku gak pernah... Aku cuma... aku cuma..." suaranya patah di ujung kalimat.

Hening lagi. Merin menatap putrinya lama, lalu tanpa berkata apa-apa, ia duduk di sisi ranjang. Perlahan, ia meraih tangan Lyodra yang dingin, menggenggamnya erat.

"Ma..." suara Lyodra nyaris tak terdengar.

"Ssst... Mama di sini." Bisikan Merin lembut, berbeda sekali dari nada marahnya sebelumnya. "Maaf... Mama cuma takut kehilangan kamu, Nak."

Tepat saat itu, dokter masuk. "Oh, Mbak Lyodra sudah siuman ya?" sapanya lembut. Tapi Lyodra dan Merin masih saling menggenggam, seolah tak ingin lepas.

"Dok... sebenarnya saya kenapa?" tanya Lyodra dengan suara bergetar, matanya masih merah.

Dokter tersenyum lembut, berusaha menenangkan. "Mbak hanya kelelahan. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, ya. Itu bisa berdampak pada kesehatan Mbak... dan juga pada tumbuh kembang janinnya. Untuk memastikan usia kandungan, saya sarankan ke rumah sakit besar, lakukan USG. Ini saya berikan vitamin dan obat sakit kepala yang aman untuk ibu hamil."

Lyodra terdiam. Kata janin bergema di kepalanya. Dadanya terasa sesak, matanya mulai panas. Tiba-tiba, air mata jatuh begitu saja, membasahi pipinya. Bahunya berguncang pelan.

"Ken..." bisiknya lirih, seakan memanggil seseorang yang jauh. "Kita... kita mau jadi orang tua."

Ia menatap ibunya dengan tatapan rapuh, lalu meraih Merin dan memeluknya erat, seolah takut terjatuh. "Ma... tolongin aku. Aku... aku mau jadi mama," suaranya pecah.

Merin tertegun. Dadanya perih mendengar suara putrinya yang begitu tulus sekaligus tersakiti. Perlahan, ia membalas pelukan itu, mengusap punggung Lyodra lembut. Salahkah aku? batinnya menjerit. Salahkah aku yang memisahkan kalian? Salahkah aku yang merenggut kebahagiaanmu?

Air mata menggenang di mata Merin, namun ia buru-buru menahannya. Ia tidak boleh terlihat rapuh. Ia tidak boleh membiarkan Lyodra tahu. Kalau Lyly tahu kebenarannya... dia pasti akan membenciku. Dan aku... aku tidak sanggup kehilangannya juga.

"Tenang, Sayang..." bisiknya nyaris tak terdengar. "Mama di sini. Mama akan selalu di sini buat kamu."

Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuhnya. "Mama akan kabari Berlin. Dia harus tahu cucunya sedang tumbuh di perut kamu."

Merin merogoh tasnya, menghubungi Berlin dengan tangan sedikit gemetar. Butuh beberapa saat sebelum sambungan terhubung.

"Berlin, Lyly hamil. Bisa datang ke Rumah Sakit Emerald? Saya dan dia mau ke sana sekarang. Ditunggu," ucapnya cepat, lalu menutup telepon.

Sunyi. Lyodra masih memeluk perutnya, jemarinya bergerak lembut, seolah tengah menyentuh kehidupan mungil di dalamnya.

"Kamu..." gumamnya dengan senyum tipis yang penuh air mata. "Kamu bukan pengganti Ken. Kamu... cahaya buat Mama."

Merin menutup mulutnya rapat, menahan isak yang hampir pecah. Dalam hati ia berjanji: Apapun yang terjadi, aku akan lindungi kamu dan bayi itu. Walau harus berdusta selamanya.

--✿✿✿--

Begitu mendengar kabar itu, Berlin nyaris tak percaya. Senyumnya merekah, tapi air mata menetes begitu saja. Ada rasa hangat yang menelusup ke dadanya, rasa yang lama tak ia rasakan sejak Ken pergi.

"Hyra... ayo cepat kita ke sana!" serunya tergesa, suara bergetar menahan haru. "Saya mau lihat Lyly... ayo!" Ia menarik tangan Hyra tanpa menunggu jawaban.

Mereka melesat menuju rumah sakit. Berlin tak datang dengan tangan kosong ia membawa keranjang penuh buah, vitamin, hingga minyak angin. Semua yang menurutnya bisa membuat Lyly merasa diperhatikan.

Begitu sampai di ruang tunggu, matanya langsung tertuju pada sosok putri yang tengah duduk dengan wajah pucat. "Sayang!" serunya, lalu berlari memeluk Lyodra erat, seolah takut kehilangan lagi.

Lyodra berdiri dan membalas pelukan itu. Tubuhnya bergetar. "Ma... aku hamil, Ma," bisiknya lirih di telinga Berlin.

Berlin melepas pelukan sedikit, menatap putrinya lekat-lekat. Air mata berlinang, tapi senyumnya lembut. Ia mengusap pipi Lyodra. "Jangan nangis lagi, Nak. Ini kabar bahagia. Mungkin... mungkin ini cara Tuhan bilang kita harus belajar ikhlas melepas Ken, tapi tetap menyimpannya di hati. Sekarang kamu harus kuat, harus sehat. Demi bayi ini."

Lyodra terisak, suaranya pecah. "Ma... aku masih berharap dia pulang. Dia pasti seneng banget mau jadi papa. Dia pernah janji, Ma... dia mau jadi papa yang baik untuk anak kita. Tapi pas anak itu datang... dia malah gak ada."

Berlin menariknya ke dalam pelukan lagi, mengusap punggung putrinya dengan lembut. "Aku yakin, kalau Ken lihat dari sana, dia akan bangga. Kamu harus tetap jalan, Lyly... demi dia."

"Sudah, yuk kita masuk. Dokternya nunggu," sela Merin pelan, matanya juga basah namun ia sembunyikan. Ia menggandeng Lyodra masuk ke ruang periksa.

Lyodra berbaring di atas brankar. Dokter mulai memeriksa dengan alat USG. Di layar, muncul gambar kecil berdenyut pelan.

"Ini dia," ucap dokter dengan senyum hangat. "Usia kandungan baru lima belas minggu. Tapi janinnya agak lemah. Ibu harus rajin minum susu hamil, vitamin, dan yang terpenting jangan terlalu banyak pikiran. Bayi ini butuh kebahagiaan ibunya."

Lyodra menatap layar itu lama, air matanya kembali jatuh karena keajaiban yang ia lihat. "Ken... lihat, ini anak kita," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Berlin menggenggam tangan Lyodra kuat-kuat. "Kamu gak sendiri, Sayang. Mama di sini. Kita semua di sini."

Sejak hari itu, Berlin kerap datang, bahkan sering menginap. Ia menyuapi Lyodra, menemaninya jalan-jalan ringan, memperlakukan putrinya bak anak kecil yang berharga. Di sela kesepian dan kehilangan, Lyodra perlahan menemukan alasan baru untuk bertahan, sebuah kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya, dan cinta yang tetap mengelilinginya.

Merin tak masalah, selama Lyodra bahagia, ia pun ikut bahagia. Namun, jauh di dalam hati, ada rasa getir yang tak bisa ia bohongi, rasa iri halus karena putrinya terlihat lebih nyaman dengan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.

Suatu hari, saat ia pergi arisan bersama teman-teman lamanya, ia mendengarkan cerita hidup mereka satu per satu. Yang awalnya ia kira hanya akan menjadi ajang pamer dan sindiran, justru berubah menjadi sumber kekuatan.

Ia mendengar seorang teman yang harus membesarkan anaknya seorang diri setelah suami pergi tanpa kabar. Ada pula yang rela bekerja siang malam demi biaya pengobatan anak yang sakit. Dan Jane perempuan yang dulu selalu ia anggap saingan, justru mendekatinya dengan tulus.

"Kadang aku juga sedih, Mer," kata Jane lembut, menepuk tangannya. "Aku khawatir setiap hari sama anakku. Apalagi dia cuma satu. Tapi aku belajar... kita gak boleh terlalu larut dalam takut. Anak kita butuh kita kuat. Kamu pun gitu, Mer. Lyly pasti berat jalanin ini sendirian. Dia butuh kamu."

Merin terdiam. Matanya panas. Ia tak pernah mengira Jane yang dulu ia pandang dengan curiga akan menjadi orang yang menguatkannya hari ini.

Ia menunduk, suaranya lirih. "Aku... aku khawatir kehilangan dia, Jane. Aku takut kalau suatu hari aku benar-benar sendirian."

Jane meremas tangannya erat. "Selama kamu berusaha jadi ibu yang ada buat dia, kamu gak akan sendirian."

Ucapan itu menghujam hati Merin. Sepulang dari arisan, ia menatap rumahnya, menatap foto Lyodra kecil di meja ruang tamu. Dadanya terasa sesak namun hangat.

Di dalam hati, ia berjanji akan menjadi orang baik, sebaik yang ia bisa. Agar putrinya tahu, meski ia pernah salah, ia tetap ada untuknya. Agar ia bisa terus bersama orang-orang yang ia sayangi… sebelum semuanya benar-benar meninggalkannya.

Merin mulai menatap dirinya sendiri dengan cara yang berbeda. Setiap luka yang ia timbulkan pada Lyodra kini terasa menyesakkan dadanya. Ia menyesali sikap keras kepala dan kata-kata tajam yang dulu begitu mudah ia lontarkan.

Malam-malamnya diisi dengan renungan tentang betapa berharganya Lyodra, tentang bagaimana seharusnya ia menjaga, bukan justru melukai. Sejak itu, ia perlahan berubah. Ucapannya kini lebih lembut, tindakannya lebih tulus, dan setiap langkahnya seolah diarahkan hanya untuk satu tujuan: membuat Lyodra merasa berarti, bahkan jika itu berarti mengorbankan egonya sendiri.

Sementara itu, Berlin menjalani hari-harinya dengan rasa rindu yang menahun pada Kenziro, rindu yang kadang menyakitkan hingga membuat dadanya sesak. Namun di balik rindunya pada Kenziro, ia tak bisa mengingkari perasaan yang perlahan tumbuh untuk Lyodra, perasaan yang berbeda, lebih dalam, lebih hangat.

Setiap senyum Lyodra, setiap keteguhan hatinya, semakin menjerat Berlin tanpa ia sadari. Cinta itu hadir diam-diam, menyusup di sela kerinduannya pada masa lalu, sampai pada titik di mana ia tak tahu lagi, mana yang lebih ia dambakan pelukan Kenziro yang tak pernah kembali, atau kesempatan untuk melindungi Lyodra yang kini menjadi segalanya baginya.

1
douwataxx
Seru banget nih cerita, aku gk bisa berhenti baca! 💥
Ann Rhea: makasihh, stay terus yaa
total 1 replies
menhera Chan
ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!
Ann Rhea: wahh selamat menemani waktu luangmu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!