NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:392
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 — Simbol Umbral

SELAMA beberapa saat suasana di antara mereka diliputi keheningan yang mencekam. Rasanya mereka tak percaya bahwa mereka melihat makhluk dari alam sebelah. Tapi apa yang baru saja mereka alami bukan sekedar permainan imajinasi. Buan ilusi. Mereka benar-benar melihat sosoknya. Mereka jelas mendengar suaranya.

Davin berdiri mematung. Matanya masih terpaku pada layar tablet di tangan Sasha. Lonjakan medan elektromagnetik perlahan kembali stabil. Napasnya sedikit lebih cepat dari biasanya. Sejenak dia menatap kelima temannya satu per satu. Mereka masih tampak tegang—sama seperti dirinya.

Rayan terus menyinari sudut buntu di mana lelaki baya tadi menghilang. Cahaya LED drone tak menemukan apa pun.

Tari cepat-cepat menyalakan senter LED—dan cahayanya yang begitu terang membuat sudut itu terasa lebih terang dari siang hari. Namun tak tampak apa pun. Di depan mereka hanya dinding beton berlumut.

“Nggak ada jalan keluar di situ,” gumam Rayan. Seringai kecut membayang samar di wajahnya. “Terus terang, gue nggak takut. Tapi orang tua tadi beneran creepy.”

“Ray, dia bukan orang,” potong Elisa dengan suara bergetar. “Kita barusan ngomong sama….,” dia tidak mampu melanjutkan kalimatnya.

Naya menelan ludah. “Aku barusan ngomong sama dia…. Aku pikir dia manusia kayak kita….”

Sasha melirik Davin—berharap ada penjelasan yang logis.

Davin sempat menangkap lirikannya. Tapi apa yang bisa dikatakannya, jika mereka semua punya kesimpulan sederhana yang sama? Jelas bahwa lelaki baya itu datang dari dimensi lain.

“Kita harus pergi dari sini,” pinta Elisa dengan cemas dan putus asa. “Sekarang juga!”

“Sebentar, Lis,” sahut Davin. Dia mengerutkan kening sambil mengamati sesuatu dekat dinding beton. “Ada yang aneh di situ.”

Dia melangkah ke dinding beton. Tari menyerahkan senter LED pada Naya, lalu bergegas mengikuti langkah Davin.

Rayan mendaratkan drone. Dia mematikan power drone dan RC. Lalu dia kembali berdiri dekat Sasha, Naya dan Elisa—seolah dia bertugas menjaga ketiga gadis itu. Sasha dan Naya tampak masih tegar. Masih mampu menutupi kegugupan mereka. Hanya Elisa, menurut Rayan, yang harus ditanggulangi secara serius.

Davin mengamati lantai di sisi dinding beton. Tatapan Tari juga tertuju ke arah yang sama. Simbol itu terasa ganjil ada di sana. Tampak seperti baru dibuat. Sebuah lingkaran tak sempurna, dengan beberapa garis seperti gelombang dan sebuah noktah tegas di tengahnya.

Davin tiba-tiba merinding. Simbol itu... mirip seperti gambar yang dilihatnya di buku catatan rahasia ayahnya.

Tapi nggak mungkin.

Davin dan Tari saling bertukar pandang. Dia tak bisa bohong pada Tari. Tatapan Tari kerap tampak seperti menelanjangi dirinya.

“Kamu tau itu simbol apa?” tanya Tari lirih.

“Kenapa lo nyebut itu simbol?”

“Karena itu memang simbol, dan baru aja muncul.”

“Rasanya aku pernah liat simbol itu, Ri. Tapi aku nggak yakin.”

“Hei, kalian ngomong apa?” sela Rayan. “Jangan ada rahasia, please!”

Davin menatapnya sebentar, lalu menunduk lagi ke lantai. “Nggak ada rahasia, Bro.”

Rayan melangkah mendekat. Gambar di lantai itu terlihat jelas. “Lingkaran, garis-garis… titik di tengah… apaan coba? Grafiti gagal?”

“Itu bukan grafiti, Bro,” sahut Davin. “Gue pernah liat simbol itu. Sangat mirip.”

“Liat di mana?”

“Di buku catatan Papa.”

“Wow,” cetus Rayan seakan tanpa sadar. Ada riak gelisah yang gagal dia sembunyikan di matanya. “Kalau lo liat itu di buku catatan Prof A, artinya simbol itu nggak main-main. Tapi apa lo yakin?”

“Tadinya gue agak ragu. Tapi sekarang gue yakin.”

Sasha menatapnya dengan lekat. “Itu simbol apa?”

“Simbol Umbral. Entah apa arti simbol itu. Tapi itu salah satu simbol yang aku liat di buku catatan Papa.”

“Sekarang aku mulai takut, Dev,” gumam Sasha pelan. “Coba liat rangkaian kejadiannya. Tadi Tari bilang kamu diinginkan di sini. Lalu muncul lelaki serem tadi. Dan sekarang muncul lagi simbol aneh itu.”

Elisa menarik napas dalam. “Guys, kelas kuliah gratis udah bubar. Udah cukup, ya… please. Kita keluar sekarang. Gue nggak peduli pada simbol aneh itu. Gue mau pulang.”

Davin tidak langsung merespons. Dia mengeluarkan kamera saku dari ranselnya untuk memotret simbol itu. Layar kamera berkedip sebentar saat mengambil gambar—dan hasilnya terlihat aneh. Lingkaran di layar tampak sempurna—jauh lebih simetris daripada yang tampak secara kasatmata di lantai.

Tari merasa bulu kuduknya berdiri lagi. “Kamu liat itu?”

Davin mengangguk pelan. “Iya. Ini… nggak normal.”

Rayan melipat tangan di dada, berusaha terdengar santai. “Oke, Prof. Dari tadi semua udah nggak normal. Tapi emang itu tujuan kita ke tempat ini, kan? Kita bukan pengen studi wisata di sini.”

Sasha menatapnya sebentar, lalu menoleh ke arah Davin. “Jadi, gimana ini?”

“Hei, nanti dulu,” sergah Rayan protes. “Kita belum bikin video.”

Sasha, Tari, Naya dan Elisa menatapnya nyaris dengan ekspresi yang sama. Bukan sekedar jengkel. Muak. Tapi sekaligus seperti dibauri kesan benci.

Rayan menyeringai masam. “Oke, oke, nggak usah natap gue kayak gue ini kelewat selfish.” Dia menoleh ke arah Davin. Ekspresinya tenang dan nyaris tanpa emosi. “It’s your call, Bro. Gue manut aja.”

Davin melirik keempat gadis yang sekarang menatap dirinya. Dalam keadaan biasa pun, dia pasti akan memilih untuk mundur. Dia tak tahu apa yang terjadi di kolam renang angker ini. Dia sama sekali belum mengerti apa sebenarnya entitas yang bernama Umbral itu. Dia terlalu cerdas untuk mengambil risiko.

Tapi, sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, lampu indikator di SRD tiba-tiba berkedip lebih cepat.

Oh, shit!

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!