Lady Seraphine Valmont adalah gadis paling mempesona di Kekaisaran, tapi di kehidupan pertamanya, kecantikannya justru menjadi kutukan. Ia dijodohkan dengan Pangeran Pertama, hanya untuk dikhianati oleh orang terdekatnya, dituduh berkhianat pada Kekaisaran, keluarganya dihancurkan sampai ke akar, dan ia dieksekusi di hadapan seluruh rakyat.
Namun, ketika membuka mata, ia terbangun ke 5 tahun sebelum kematiannya, tepat sehari sebelum pesta debutnya sebagai bangsawan akan digelar. Saat dirinya diberikan kesempatan hidup kembali oleh Tuhan, mampukah Seraphine mengubah masa depannya yang kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celestyola, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran
...**✿❀♛❀✿**...
“Keuntungan bahwa putranya, Wilhelm, kini naik takhta tanpa halangan. Dengan itu, ia akan menjadi Ibu suri, yang kedudukannya makin tak tergoyahkan. Semua kekuasaan akan mengalir ke pihak mereka. Sedangkan Anda, Yang Mulia…” Seraphine menatap Frederick dengan sorot mata serius, “…akan semakin tersudut dan terpinggirkan.”
Frederick terdiam lama. Lalu ia mendengus, namun jelas bukan karena tidak percaya—melainkan karena amarah yang dipendam.
"Aku memang sedikit menduganya. Namun, setelah mendengar penjelasanmu, Aku semakin yakin, Sera," ujar Frederick pelan.
Ia mengepalkan tangannya hingga buku jarinya memutih, "Aku tidak bisa diam saja," geramnya.
Seraphine mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya hampir berbisik, seolah takut ada mata-mata yang mendengar.
“Kita tidak boleh gegabah, Yang Mulia. Jika benar ini permainan busuk mereka, maka orang-orang di sekitar Putra Mahkota pasti sudah disusupi. Dinding istana ini bukan hanya punya telinga, tapi juga lidah yang pandai berbohong.”
Frederick memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Saat ia membuka mata kembali, kilatan tekad yang dingin sudah terpatri di sana.
“Kau benar, Seraphine. Kita harus mencari kebenarannya. Jika Wilhelm dan Permaisuri benar-benar terlibat… aku bersumpah, aku akan menyeret mereka keluar dari balik mahkota itu hingga mereka berpikir lebih baik mati.”
Seraphine menatapnya lama. Ada keteguhan sekaligus ketakutan di matanya, karena ia tahu jalan yang mereka pilih bukanlah jalan yang aman.
“Kalau begitu,” katanya lirih, “kita harus memulai penyelidikan dengan hati-hati. Dari hal-hal kecil, dari orang-orang yang tampaknya tak penting, karena terkadang kebenaran bersembunyi di tempat yang paling sepi.”
Frederick menunduk pelan, lalu mengangguk. “Kau akan membantuku, bukan?”
Seraphine tersenyum samar. “Saya sudah melangkah sejauh ini, Yang Mulia. Mana mungkin saya mundur?”
Keduanya saling menatap dalam diam, seolah saling memberi kekuatan. Langkah mereka kian berbahaya, karena seorang Kaisar pun terjatuh karena ambisi akan tahta.
Di luar, awan gelap menggulung semakin pekat. Hujan akhirnya turun deras, seperti tirai langit yang menutupi rahasia besar yang baru saja mereka bisikkan.
......................
"Kau melakukannya dengan baik, Risse," puji Duke Armand dengan seringai tipis.
Gadis yang dipanggil Risse itu tersenyum cerah. Ia menatap Duke dengan pandangan harap yang kentara.
"Kali ini, Kau harus berhati-hati, tunggu kesempatan yang pas, lalu racuni salah satu dari mereka. Aku tak peduli, entah itu ayahnya atau anaknya, yang penting bunuh salah satu anggota keluarga itu!" perintah Duke Armand dengan tegas.
Pandangan pria paruh baya itu menggelap, di matanya terselip dendam pada orang-orang yang tadi ia sebutkan.
Risse menunduk sopan, namun senyum itu masih menghiasi wajahnya. “Tentu saja, Yang Mulia Duke,” jawabnya ringan, nyaris seperti gumaman, tetapi cukup untuk membuat Armand tahu bahwa ia tidak keberatan dengan perintah itu.
Duke Armand menyandarkan tubuhnya ke kursi tinggi berlapis beludru, jari-jarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan ritme penuh kesabaran.
“Jangan gegabah. Mereka bukan orang sembarangan. Sekali kau gagal, semua rencana kita hancur.”
Risse menatapnya lama, tatapannya berkilat bagai bayangan yang menari di permukaan kaca. Ada ketundukan, tapi juga sekelebat api yang sulit ditebak dari mana asalnya.
“Kesempatan tidak pernah datang dua kali,” lanjut Duke Armand dengan suara dingin.
“Jangan sampai gagal!” peringat Duke dengan tatapan tajam.
Kali ini Risse hanya tersenyum samar. Ia menunduk sedikit lebih dalam, menyembunyikan ekspresi yang tak ingin ia tunjukkan di hadapan Duke.
Ketika Duke Armand mengangkat cawan anggur dan meneguknya, Risse menggeser pandangannya ke arah jendela besar.
Hujan deras menetes di balik kaca, memantulkan cahaya lilin. Seolah hujan itu berbisik tentang rahasia yang tak terucap.
Dalam hati, ia membisikkan sesuatu yang tak terdengar—apakah itu sumpah setia pada Duke, atau janji pada dirinya sendiri? Tak ada yang tahu.
Yang jelas, saat ia berpaling kembali, senyum tipis masih bertahan di wajahnya. Senyum yang bisa berarti apa saja.
......................
Seraphine akhirnya menyelesaikan pembicaraan dengan Frederick. Ia berhasil mengutarakan semua spekulasi yang membanjiri benaknya.
Kini, ia melangkah menuju kamar yang telah dipersiapkan untuknya. Tak terlalu jauh dari kamar pribadi sang pangeran, karena memang kamarnya masih terletak di Prince's Quarters atau kediaman pangeran Frederick di Istana.
Di luar hujan turun dengan deras menghantarkan hawa dingin yang merayap dalam kegelapan. Seraphine menggosok lengannya berharap dapat mengusir hawa dingin yang menusuk kulit.
Begitu sampai, Ia membuka pintu kamarnya.
Lalu Ia duduk di tepi ranjang, pandangannya menerawang jauh menembus kegelapan. Dadanya terasa sesak.
"Masa depan…" pikirnya getir.
"Segala yang kuketahui, semua yang selama ini kujadikan pegangan… kini telah berubah."
Dalam ingatannya, Kaisar seharusnya masih hidup bertahun-tahun lagi—baru wafat setelah ia resmi menjadi tunangan Wilhelm selama empat tahun.
Tetapi kini, garis waktu seolah dipelintir tanpa ampun. Kaisar telah tiada jauh lebih cepat dari yang ia ingat.
“Kalau begini…” bisiknya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh hujan, “…aku tidak bisa lagi mengandalkan pengetahuan masa depan.”
Tangannya meremas erat kain gaun hitamnya. Dulu ia merasa tenang karena mengetahui apa yang akan terjadi, siapa yang akan berkuasa, kapan tragedi datang. Tapi sekarang, semua itu runtuh. Masa depan yang ia tahu bukan lagi jaminan.
"Apakah semua sudah melenceng? Apakah aku masih bisa melindungi Orang-orang yang ingin kulindungi? Atau justru aku akan terseret arus yang tak bisa kuhadapi?"
Matanya perlahan memanas. Ia tidak menangis, tapi kegelisahan itu menekan, membuat tubuhnya bergetar halus.
"Aku bahkan belum memulai membalas mereka yang menyakitiku dengan setimpal, tapi kini masa depan bahkan telah berubah, apa yang harus kulakuan?" gumamnya frustasi.
"Andai saja... aku bisa berbagi kekhawatiran ini dengan seseorang. Tapi, itu mustahil, tak akan ada yang percaya perkataanku."
Gadis itu menunduk, ia meremat tangannya kuat.
Di luar, petir menyambar, cahayanya menyusup sekejap ke kamar. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang. “Aku tidak boleh rapuh. Tidak sekarang.”
Namun jauh di lubuk hatinya, satu pertanyaan terus menghantuinya. "Jika masa depan yang kukenal sudah berubah… apakah aku masih punya kendali atas takdirku?"
...**✿❀♛❀✿**...
...TBC...
bikin dadas dikit thur creakter ceweknya biar semangat bacanya
ya sampah
bisa buat sedikit badas biar semangat bacanya😂😅