NovelToon NovelToon
Suamiku Berubah

Suamiku Berubah

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / CEO Amnesia / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:758
Nilai: 5
Nama Author: nula_w99p

Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.

Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.

Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.

Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.

Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Clarissa duduk di kursi kecil dan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Hari itu tiba juga, hari pernikahan keduanya lebih tepatnya pernikahan kontrak.

Clarissa tampak cantik dengan gaun putih panjang yang memperlihatkan lehernya, gaun yang dua hari lalu ia kenakan di Mall. Tak di sangka Benjamin serius dengan ucapannya.

Clarissa menatap dirinya dari cermin yang menjulang tinggi, rasa gugup menyelimuti dirinya seperti saat ia melakukan lomba maraton dahulu.

Ini hanya pernikahan kontrak, Clarissa terus mengatakan hal tersebut dalam hatinya. Dia pikir itu bisa meredakan rasa gugup berlebihannya. Namun naas tak ada hasil, ia jadi berpikir apakah Benjamin juga gugup sepertinya. Clarissa menggeleng cepat, ''mana mungkin.''

Seorang laki-laki muda yang mengenakan jas formal memasuki ruangan tempat Clarissa berada, ''Nona, sudah saatnya.''

Clarissa mengangguk pelan. Gaun putihnya menjuntai megah hingga menyapu lantai marmer yang mengilap. Di sekelilingnya, beberapa asisten sibuk merapikan kerudung panjangnya yang bertabur mutiara kecil. Di luar ruangan, denting lembut musik piano mulai terdengar dari ballroom utama—pertanda acara akan segera dimulai.

Pintu dibuka perlahan.

Clarissa berdiri sejenak di ambang pintu. Lorong panjang beralaskan karpet putih membentang di hadapannya, dihiasi kelopak mawar dan cahaya lampu gantung yang berkilau indah. Di ujung lorong itu, berdiri pria yang telah menunggunya sejak tadi, Benjamin menatap ke arahnya saat Clarissa tiba di sana.

Clarissa menarik napas dalam-dalam, tidak ada tangan yang bisa digenggam. Tidak ada lengan ayah, tidak ada senyum ibu.

Clarissa memegang erat bunga di tangannya dan perlahan mulai melangkah. Setiap langkahnya terasa berat namun ia sebisa mungkin tersenyum. Diiringi alunan musik dan tatapan beberapa pasang mata yang menyaksikan momen suci itu.

Hanya ada beberapa orang yang hadir, bahkan bisa dihitung jari. Benjamin sengaja hanya mengundang keluarganya dan beberapa karyawan. Ia tak mau menghebohkan publik dengan pernikahannya.

Anna selaku Ibu Benjamin hadir bersama suaminya, sementara itu Ayahnya pun ikut hadir bersama istri dan anak barunya. Karyawan yang hadir adalah Alan, sebagai asisten dan saksi pernikahan kontrak berlangsung tentu ia akan hadir. Ada dua karyawan lain, Natasha dan Samuel.

Clarissa kini berdiri di hadapan pria yang akan menjadi suaminya. Tangannya gemetar sedikit saat pria itu menggenggamnya. Mereka saling menatap, hanya terpisah beberapa langkah dari pendeta yang berdiri di antara mereka.

Suasana ruangan hening. Musik berhenti. Semua mata tertuju pada dua insan yang akan mengikat janji seumur hidup.

Pendeta membuka suara dengan tenang, suaranya lembut namun jelas.

"Kita berkumpul di tempat ini bukan hanya untuk merayakan cinta, tetapi untuk menyaksikan sebuah perjanjian suci—ikatan yang tak hanya mengikat dua hati, tapi juga dua jiwa."

Ia menoleh ke arah mempelai pria.

"Apakah kamu, saudara Benjamin Hilton, bersedia menerima Clarissa Duncan sebagai istrimu, untuk mengasihi dan menjaganya dalam suka dan duka, dalam kesehatan maupun sakit, hingga maut memisahkan kalian?"

Pria itu menatap Clarissa dan menjawab, "saya bersedia."

Kemudian pendeta menoleh pada Clarissa.

"Dan kamu, saudari Clarissa Duncan, apakah kamu bersedia menerima Benjamin Hilton sebagai suamimu, untuk mengasihi dan menghormatinya, dalam suka dan duka, dalam sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan kalian?"

Clarissa tersenyum pelan, ia menatap sekejap Benjamin dan berucap pelan. "Saya bersedia."

Pendeta tersenyum hangat, lalu membuka Alkitab di tangannya.

"Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Sekarang, sebagai hamba Tuhan dan atas dasar cinta yang telah kalian ikrarkan, aku menyatakan kalian sah sebagai suami dan istri."

Ia menatap keduanya dengan lembut.

"Kamu boleh mencium pengantin wanitamu."

"Hah?" Clarissa terkejut. Ia melupakan hal ini, dan keduanya tak pernah membahas soal ciuman pernikahan. Ia menatap tajam pada Benjamin yang kini mendekat, langkahnya mantap, sorot matanya dalam.

Wajahnya semakin dekat.

"Jangan…" bisik Clarissa, nyaris tak terdengar. Matanya terpejam, tubuhnya sedikit menegang.

Namun Benjamin tak berhenti—bukan karena memaksa, tapi karena ia tahu apa yang harus dilakukan.

Ia mencondongkan tubuh, sedikit miring. Alih-alih bibir, ciuman itu mendarat hangat di pipi Clarissa, lembut dan singkat, nyaris seperti bisikan.

Clarissa membuka matanya perlahan. Rasa hangat masih tertinggal di pipinya.

***

''Ini adalah rumahku dan yang akan kau tinggali selama dua tahun ini,'' Benjamin membuka pintu, bersama Clarissa memasuki rumah pribadi miliknya.

Upacara pernikahan sudah usai tiga jam yang lalu dan kini Clarissa maupun Benjamin berada di rumah bergaya modern yang cukup besar.

Setelah perceraian Orang Tuanya, Benjamin memutuskan tinggal sendiri tentu saja sesekali mengunjungi ataupun menginap di rumah utama keluarga Hilton, yang sekarang di tinggali anggota keluarga barunya.

Benjamin melepas alas kaki dan menatap Clarissa. Ia menunggu Clarissa melepaskan heels yang dikenakannya, ''masuklah, akan ku tunjukkan beberapa tempat.''

Clarissa mengangguk dan mengikuti langkah laki-laki di dekatnya, ''ini adalah ruang tamu, dapur dan meja makannya.'' Benjamin memandang ruangan itu, memang ketiga tempat tersebut tak begitu berjauhan. Jarang ada tamu yang datang, Benjamin hampir tak pernah membawa orang kesini kecuali sahabatnya yang datang sendiri.

''Oh,'' Clarissa mengangguk pelan. Ia melihat sekeliling, rumah ini terlihat seperti baru di tinggali. Tak banyak furnitur maupun pekerja. ''Sepertinya rumah ini sepi sekali!''

''Karena hanya ada aku disini dan sekarang denganmu, rumah ini sudah ku tinggali sendiri selama empat tahun. Tidak orang lain lagi di sini.'' Benjamin menjawab dengan jelas ucapan Clarissa.

''Oh, lalu bagaimana dengan pekerja rumah?'' Clarissa menatap wajah suaminya.

''Tidak ada, biasanya aku menyewa orang untuk membersihkan rumah. Karena aku juga jarang di rumah akibat banyaknya pekerjaan dikantor. Sejujurnya aku suka suasana damai atau sepi seperti ini, tapi kalau kau ingin merekrut pekerja, aku tak masalah.''

Clarissa menggeleng cepat, ''tidak usah begitu. Ini kan rumahmu jadi yang menentukannya harus dirimu.''

''Kalau begitu aku akan tetap menyewa orang setiap seminggu sekali untuk membersihkan rumah ini dan apa kau perlu orang untuk memasak?'' Benjamin menaikan satu alisnya, penasaran dengan kata yang akan keluar dari mulut istrinya.

Clarissa sedang berpikir, sudah empat tahun ia tak memasak dengan benar. Ini membuatnya teringat kembali dengan impian masa lalunya. Mungkin ia bisa-

''Tidak, aku ingin memasak sendiri.''

''Baiklah, ikuti aku. Kamarmu ada di sana,'' Benjamin menaiki tangga perlahan dan di ikuti Clarissa.

''Ini,'' Benjamin menunjuk kamar yang ia maksud. ''Dan ini kamarku,'' ia juga menunjuk kamar di seberang kamar Clarissa. Hanya lim langkah jarak di antara dua kamar tersebut.

Clarissa menatap satu persatu kamarnya dan kamar Benjamin yang sangat dekat, rasanya seperti Clarissa akan selalu di awasi suaminya itu.

''Kenapa? Tunggu, jangan bilang kau sedang menyusun rencana agar bisa menggodaku. Jangan berharap aku akan tergoda, ingat perjanjiannya.'' Benjamin tersenyum mengejek ke arah Clarissa.

''Apaan sih,'' ucap Clarissa pelan yang masih bisa di dengar oleh Benjamin.

''Dan di sebelah kamarku adalah ruang kerja, jangan sembarangan memasukinya. Itu ruang pribadiku,'' Benjamin melanjutkan penjelasan yang tertunda perihal rumah.

''Dan diluar, di lantai satu ada kolam. Kau bebas memakainya.'' Clarissa hanya mengangguk sebagai balasan.

To be continue....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!