Vivian Shining seorang gadis dengan aura female lead yang sangat kuat: cantik, baik, pintar dan super positif. Dia tipe sunny girl yang mudah menyentuh hati semua orang yang melihatnya khusunya pria. Bahkan senyuman dan vibe positif nya mampu menyentuh hati sang bos, Nathanael Adrian CEO muda yang dingin dengan penampilan serta wajah yang melampaui aktor drama korea plus kaya raya. Tapi sayangnya Vivian gak sadar dengan perasaan Nathaniel karena Vivi lebih tertarik dengan Zeke Lewis seorang barista dan pemilik coffee shop yang tak jauh dari apartemen Vivi, mantan atlet rugbi dengan postur badan bak gladiator dan wajah yang menyamai dewa dewa yunani, juga suara dalam menggoda yang bisa bikin kaki Vivi lemas sekita saat memanggil namanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon whatdhupbaby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32 LIBURAN DI TENGAH KEKACAUAN
Tirai gazebo terbuka, memperlihatkan Noah yang tersenyum dan Nathanael yang terpana di belakangnya.
Mia dan Mini-Vivi, yang masih dalam mode kaget total, refleks melakukan gerakan yang kompak. Mereka melompat berdiri, lalu dengan wajah garang seolah-olah baru menemukan penyusup di benteng rahasia mereka, mereka menunjuk bergantian ke Nathanael dan Noah.
Bersama-sama: "NO BOYS ALLOWED!!!" teriak mereka kompak, suara mereka nyaris membelah angin laut.
Yah, meskipun geramnya Mini-Vivi tak dapat dilihat oleh dua pria itu. Dia metafora dari isi hati Vivian, meskipun semangat membara buat marah pun, kemarahan itu tidak terlihat oleh dua pria di depannya.
Noah hanya tertegun, lalu tertawa ringan, mengira itu adalah lelucon. Tapi Nathanael? Wajahnya langsung pucat. Matanya membelalak, teringat pesan tegas yang pernah dikirimkan Vivian—atau lebih tepatnya, Mia yang menyamar sebagai Vivian—lewat ponselnya.
"Tunggu, Vivian, ini bukan seperti yang kau pikirkan!" Nathanael langsung membela diri, tangannya terangkat seperti sedang menyerah, menatap panik ke arah Vivian yang berdiri bingung. Suaranya terdengar panik dan tulus. "Aku bersumpah, aku tidak bermaksud mengganggu liburan kalian! Aku benar-benar ada urusan bisnis di sini. Noah menghubungiku untuk membahas partnership kontrak dengan perusahaan kita. Aku sama sekali tidak tahu kalian akan ada di sini!"
Noah, yang baru menyadari dinamika aneh di antara mereka, mengernyit. "Jadi... kalian saling kenal?" tanyanya, pandangannya bolak-balik antara Nathanael yang panik dan Vivian yang masih merah padam.
Vivian, yang merasa perlu mengendalikan situasi yang semakin kacau ini, menarik napas dalam-dalam. "Iya, Noah. Ini Nathanael." Ia berhenti sebentar, mencari kata-kata. "...Bos-ku."
Mia, yang masih emosi karena privasi liburan mereka diserbu, tidak bisa menahan diri. Dengan mata menyala, dia menyambung dengan suara nyaring, " DAN ORANG YANG LAGI NGEJAR-NGEJAR VI— MMMPPPHHHH!"
Sebelum Mia bisa menyelesaikan kalimat mautnya, tangan Vivian sudah bergerak seperti kilat, membekap mulut Mia erat-erat. Senyum palsu yang sangat tidak meyakinkan merekah di wajah Vivian, sementara matanya melirik nervous ke arah Nathanael, yang sekarang tampak sangat, sangat penasaran.
"Haha! Jangan... jangan pikirkan Mia! Dia lagi... ngelindur! Kepanasan kali ya! Sudah minum, Mi? Minum dulu!" ucap Vivian dengan cepat dan canggung, sambil mendorong gelas smoothie ke arah Mia yang matanya masih melotot penuh protes.
Suasana menjadi sangat canggung. Noah tampak bingung sekaligus tertarik. Nathanael memandang Vivian dengan tatapan tajam dan penuh pertanyaan, seperti sedang mencoba memecahkan kode dari insiden yang baru saja terjadi. Sementara itu, Mia mengeluarkan suara gerutu yang tertahan di balik tangan Vivian.
_________
Entah bagaimana caranya—mungkin karena desakan Noah atau kebingungan kolektif oleh semuanya—keempatnya sekarang duduk berhadapan di dalam gazebo yang awalnya diduduki Vivian dan Mia. Dua gelas smoothie berhadapan dengan dua cangkir kopi yang belum disentuh. Suasana begitu kental dan canggung hingga bisa dipotong dengan pisau.
Tiba-tiba, udara dingin dari AC gazebo atau mungkin dari deburan angin laut membuat hidung Vivian geli.
"Hatchii!"
Bersin kecil itu memecah kesunyian yang tegang.
Nathanael, yang duduk di seberangnya, langsung refleks menyandarkan tubuh ke depan, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang tulus dan sangat personal. "Kamu masih sakit, Vi? Obat dan vitaminnya masih kamu minum kan?" tanyanya dengan suara rendah yang penuh perhatian, seolah melupakan sepenuhnya kehadiran dua orang lainnya.
Noah, yang duduk di sebelah Nathanael, mengangkat alisnya. Senyum tipis yang penuh arti muncul di bibirnya. Dia menyeruput kopinya sebentar sebelum berkomentar, nada suaranya berbaur antara rasa ingin tahu dan sedikit sindiran. "Wah, kamu sangat... detail mengkhawatirkan karyawanmu ya, Nat? Luar biasa." Kalimatnya menggantung di udara, sarat dengan makna ganda yang ditujukan untuk Nathanael.
Vivian langsung merasa darahnya naik ke wajah. Pipinya memerah padam, membara oleh rasa malu, panik, karena ucapan Noah menjadi pengingat betapa perhatiannya Nathanael padanya.
Nathanael tidak langsung menjawab. Dia menatap Noah selama beberapa detik yang terasa sangat lama, wajahnya kembali ke mode "bos" yang dingin dan tak terbaca. Saat akhirnya bicara, suaranya datar dan profesional, seperti sedang memberi penilaian kinerja.
"Tentu saja. Sebagai atasan, adalah hal yang wajar untuk memastikan karyawannya dalam kondisi kesehatan prima, terutama setelah izin sakit yang dia ajukan minggu lalu. Itu berdampak pada produktivitas tim." Jawabannya sempurna, logis, dan membangun tembok tinggi yang langsung meredam segala spekulasi dari Noah.
Namun, alih-alih mencairkan suasana, jawaban itu justru membuat hawa menjadi semakin beku.
Dingin.
Sekarang yang terasa bukan hanya keheningan yang canggung, melainkan sebuah embun beku yang menyelimuti gazebo itu. Vivian menunduk, Mia menghela napas panjang, dan Noah hanya tersenyum sinis, tidak percaya sedikit pun.
Mini-Vivi berteriak panik." VI, KAKI KU UDAH BEKU VI!!. KAKI KU MEMBEKU!!."
Mia akhirnya tidak tahan lagi. Dia membanting sendok logam untuk makan fruit salad-nya ke atas meja hingga berdentang.
"ARGH! SUDAH CUKUP DENGAN KALIAN BERDUA!!" teriaknya, membuat ketiga orang lainnya tersentak.
Dia berdiri, menunjuk ke arah Noah dan Nathanael secara bergantian dengan wajah yang sangat frustasi.
"Mana bagian dari kalimat 'NO BOYS ALLOWED' yang nggak kalian mengerti?! Kalian berdua ini mengganggu waktu kami di sini! Ini gazebo KAMI. Ini liburan KAMI. Cari gazebo kalian sendiri! SEKARANG!"
" USIR MEREKA MIA!!." Teriak Mini-Vivi yang geram.
Teriakan Mia menggema, memenuhi seluruh sudut gazebo dan mungkin terdengar hingga ke gazebo lain. Tatapannya tajam, tanpa kompromi, memberi ultimatum pada kedua pria yang telah merusak kedamaian mereka.
Untuk sepersekian detik, Noah dan Nathanael hanya saling memandang, seolah mengukur situasi. Akhirnya, dengan anggukan halus dan sangat profesional dari Nathanael, kedua pria itu pun berdiri.
"Kami meminta maaf telah mengganggu waktu kalian," ucap Nathanael dengan suara datar, namun nadanya sopan. Noah, yang masih terlihat sedikit tersinggung, hanya menghela napas dan mengikuti Nathanael tanpa bicara.
Mereka berjalan meninggalkan gazebo. Punggung mereka yang tegap terlihat agak lesu, dikalahkan oleh kemarahan dua wanita yang sedang berlibur. Mia masih mengawasi mereka dengan tatapan sangsi, seperti menjaga agar mereka benar-benar pergi.
Saat sudah hampir melewati tirai, Nathanael tiba-tiba berhenti. Dia menoleh sekali lagi ke arah Vivian. Ekspresi dinginnya mencair, digantikan oleh sebuah kerutan halus di dahi dan kelembutan yang hanya bisa ditangkap oleh Vivian. Ada kerinduan dan pengertian di matanya.
"Oh, iya," katanya, seolah baru teringat sesuatu yang remeh. "Jika kalian ingin membeli sesuatu, kafe ini menyediakan biji-biji kopi berbagai jenis. Mereka memang punya supplier langsung dari petani lokal."
Dia berhenti sejenak, memastikan Vivian memerhatikannya. "Mungkin..." ucapnya, dan untuk sesaat, suaranya terdengar hampir seperti bisikan, "...kamu bisa membelinya untuk oleh-oleh, Vi."
Vivian membeku. Matanya membesar. Dunia seolah bergerak dalam slow motion. Kalimat itu... Itu bukan sekadar saran untuk membeli oleh-oleh. Itu adalah sebuah kode. Sebuah pesan yang hanya dia dan Nathanael yang mengerti. Itu adalah pengingat akan seseorang, seseorang yang kecanduan kopi yang mungkin sekarang sedang menunggu nya di kafe itu.
Zeke.
Nathanael, bahkan di tengah kekacauan ini, bahkan setelah diusir, masih memikirkan dia. Masih memberinya "jalan" untuk melakukan sesuatu yang baik untuk orang yang dia cintai.
Perlahan, rasa terkejut dan tak percaya di wajah Vivian mencair. Sebuah senyum kecil, kemudian semakin lebar, merekah di bibirnya. Dia mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca bukan karena sedih, tetapi karena terharu oleh perhatian diam-diam yang begitu dalam. Sebuah tawa kecil yang penuh kelegaan dan rasa syukur akhirnya meledak darinya.
"Terima kasih, Nat," ucapnya, suaranya lirih namun penuh dengan ketulusan yang dalam. "Aku akan... aku akan lihat-lihat nanti."
Nathanael membalas dengan anggukan halus, dan untuk sepersekian detik, sebuah senyum samar yang hampir tak terlihat muncul di sudut bibirnya sebelum dia berbalik dan benar-benar pergi, meninggalkan Vivian dengan perasaan hangat yang berkecamuk di dada, bertolak belakang dengan hawa dingin yang ditinggalkan oleh kepergian mereka.
Mia, yang menyaksikan seluruh interaksi singkat itu dengan mata berbinar penuh penasaran, mendekati Vivian. "Vi... apa yang barusan terjadi? Itu tadi... weirdly intense."
Vivian hanya menggeleng, senyumnya masih tidak hilang. "Dia cuma ngasih saran untuk beli oleh-oleh, Mi." Tapi matanya, yang masih berkilauan, bercerita lebih banyak dari yang bisa diungkapkan kata-kata.
___________