NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:743
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23 ANCAMAN BARU

Kotak kayu itu masih tergeletak di meja ruang kerja. Melodinya sumbang, dentingannya berulang-ulang meski tuas kecilnya sudah berhenti berputar. Bagi Amara, suara itu terdengar seperti ejekan yang menusuk telinga.

Ia menatap foto di dalamnya—wajah ibunya yang tersenyum sederhana di depan kontrakan lama, kini digores garis merah melintang. Di atas selembar kertas tipis tertulis pesan singkat: “Giliran keluargamu.”

Jari Amara gemetar. Ia merasakan darahnya surut ke kaki, tubuhnya seakan membeku. Bagas berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun sorot matanya tajam.

“Arman,” ucapnya tegas, “amankan ibu Amara malam ini juga. Jangan ada celah. Pindahkan ke tempat aman, nomor ponsel diganti, dan pastikan tidak ada jejak tertinggal.”

Amara menoleh cepat, suaranya serak. “Bagas… kalau mereka benar-benar menyentuh Ibu…”

“Tunggu hasil. Jangan biarkan ketakutanmu membuat mereka menang,” jawab Bagas pelan, tapi penuh kuasa.

Beberapa jam sebelumnya, Amara baru saja pulang dari yayasan. Rapat donor berakhir dengan keputusan mengejutkan: program yang ia jalankan justru mendapat tambahan dua sekolah mitra. Bukan dana besar, tetapi cukup untuk membuktikan kerja nyatanya.

Ia masih bisa merasakan detak jantungnya ketika menjawab pertanyaan perwakilan donor, terutama Ibu Siska. Pertanyaan itu menusuk hati: bagaimana menjaga integritas di tengah badai gosip?

Jawaban yang ia berikan lahir dari luka. “Saya tidak membalas gosip dengan cerita manis. Saya membalasnya dengan bukti. Anak-anak tetap belajar, guru tetap mendampingi, kelas tetap berjalan. Itu satu-satunya cara menjaga ruang mereka tetap aman.”

Dan saat ruangan hening, Ibu Siska mengangguk tipis. Momen kecil itu memberi Amara kekuatan, sekaligus menyadarkannya: ia masih punya medan yang harus dipertahankan.

Namun kemenangan kecil itu segera direbut lagi oleh paket yang tiba di tangan satpam rumah. Sekotak kayu lusuh, tanpa pengirim. Bagas langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres, dan ia benar.

Ancaman kini bukan lagi sekadar gosip di media atau selebaran di kampus. Ancaman itu mengetuk pintu rumah, menusuk lewat foto ibunya.

Amara duduk di kursi, memegangi pelipis. “Mereka sudah melibatkan orang yang tak bersalah. Ini terlalu jauh.”

Bagas menatapnya serius. “Justru di sinilah kekuatanmu diuji. Kau punya pilihan: tenggelam dalam rasa takut, atau berdiri lebih kuat untuk melindungi orang-orang yang kau sayangi.”

Air mata Amara jatuh tanpa bisa ditahan. Ia bukan menangis karena lemah, tapi karena sadar hidupnya berubah arah. Musuh yang selama ini bersembunyi di balik gosip, kini berani menyentuh keluarganya.

Malam semakin larut. Amara mengambil buku catatannya, membuka halaman kosong. Tangannya gemetar, tapi ia tetap menulis.

“Hari ini aku diingatkan bahwa medan perangku bukan hanya kampus atau yayasan. Mereka menyentuh ibuku, mencoba membuatku runtuh. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri: aku tidak akan mundur. Aku akan berdiri, melawan, dan memastikan bayangan itu muncul ke terang.”

Ia menutup buku dengan tegas. Denting kotak musik masih samar terdengar, namun kali ini tidak lagi menakutkan. Baginya, suara itu adalah tanda: perang baru telah dimulai.

Suara mesin mobil terdengar di luar ketika Arman kembali, membawa kabar singkat. “Ibu sudah dipindahkan. Saat ini beliau dalam perjalanan ke rumah aman. Dua orang pengawal mendampingi.”

Amara menghela napas lega, tapi tubuhnya masih terasa dingin. Ia menatap kotak musik di atas meja. “Kenapa mereka harus menyeret Ibu ke dalam masalah ini? Bukankah cukup dengan menjatuhkan aku?”

Bagas menatapnya, sorot matanya berbeda dari biasanya. Ada kemarahan yang ditahan. “Karena mereka tahu kau sudah mulai kuat. Mereka ingin mencari celah lain—melemahkanmu lewat orang yang kau cintai.”

Amara menunduk. Kata-kata itu terasa seperti cambuk. Ia sadar benar, musuh tidak akan puas hanya dengan gosip. Mereka ingin menghancurkan fondasi hidupnya.

Esok harinya, berita soal program yayasan yang justru mendapat dukungan baru muncul di media lokal. Tapi alih-alih memberi kabar baik, komentar warganet tetap terbelah.

“Kalau sponsornya tambah, berarti gosip itu fitnah ya.”

“Bisa saja sponsornya nggak tahu kebenarannya.”

“Aku salut dia masih berani muncul.”

Amara membaca komentar itu sambil duduk di perpustakaan kampus. Jari-jarinya gemetar, tapi kali ini ia tidak merasa sendirian. Ada mahasiswa yang diam-diam menaruh catatan kecil di mejanya: “Tetap semangat. Kami percaya kamu tidak salah.”

Ia meremas kertas itu, menahan air mata. Kekuatan kecil itu terasa begitu berarti.

Namun di balik dukungan kecil, bayangan ancaman tetap menghantui. Setiap kali ponselnya bergetar, Amara selalu takut ada kabar buruk.

Sore itu, ia duduk di balkon rumah dengan Bagas. Hening panjang menggantung di antara mereka. Akhirnya, Amara berbisik, “Kalau sampai mereka menyentuh Ibu… aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan.”

Bagas menoleh, suaranya dalam. “Kau akan tetap melakukan apa yang selama ini kau lakukan. Berdiri. Bekerja. Membuktikan. Jangan pernah memberi mereka kemenangan dengan melihatmu runtuh.”

Kata-kata itu membuat Amara menoleh cepat. Untuk pertama kalinya, ia melihat Bagas bukan hanya sebagai suami karena keterpaksaan, tapi seseorang yang benar-benar berdiri di sisinya.

Malam itu, Amara membuka kembali buku catatannya. Tinta penanya menari di atas halaman kosong.

“Mereka bisa merusak namaku dengan gosip, menyerangku dengan fitnah, bahkan mengancam keluargaku dengan teror. Tapi mereka tidak bisa menghentikanku untuk terus melangkah. Selama aku berani, bayangan akan kalah oleh terang.”

Ia menutup buku itu dengan tangan yang lebih mantap. Meski hatinya masih bergetar, ada api kecil yang menyala.

Kotak musik di meja kembali berderit pelan, seolah mengejek. Amara menatapnya tajam, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Jika ini permainanmu, aku akan pastikan kau keluar dari persembunyian.”

Dan malam itu, ia tidak lagi merasa sebagai korban. Ia tahu, perang sesungguhnya baru saja dimulai.

Jam dinding berdetak pelan, menandai lewatnya tengah malam. Amara masih duduk di kursi ruang kerja, matanya terpaku pada kotak musik yang sudah berhenti berdenting. Suasana rumah sunyi, tapi pikirannya bising.

Ia teringat wajah ibunya—keriput di sudut mata, senyum yang selalu menenangkan, dan suara lembut yang sering berkata: “Kamu kuat, Mar. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.” Kini bayangan senyum itu tercoret garis merah, dan ancaman dingin menggema di benaknya.

Pintu terbuka perlahan. Bagas masuk tanpa suara, membawa dua cangkir teh hangat. “Kau belum tidur,” katanya, duduk di kursi seberang.

Amara menggeleng. “Bagaimana aku bisa tidur kalau mereka sudah menyentuh Ibu?”

Bagas mendorong cangkir ke arahnya. “Minum. Kau butuh tenaga. Musuh justru ingin melihatmu lelah, putus asa. Jangan beri mereka kepuasan itu.”

Amara menatapnya lama, lalu meraih cangkir. Hangat teh itu menenangkan telapak tangannya. “Aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi semua ini, Bagas. Tapi aku tahu satu hal—aku tidak akan lari.”

Bagas mengangguk, tatapannya dalam. “Itu sudah cukup. Sisanya, biar aku yang urus.”

Untuk pertama kalinya sejak pernikahan paksa itu terjadi, Amara merasakan kalimat Bagas bukan hanya janji kosong. Ada ketulusan yang membuat hatinya sedikit lebih ringan.

Larut malam, Amara kembali membuka buku catatannya. Pena bergerak dengan tegas meski tangannya masih gemetar.

“Hari ini aku diuji lebih dari sebelumnya. Mereka menyeret Ibu ke dalam permainan kotor mereka. Tapi aku tidak akan runtuh. Aku akan berdiri di dua medan: melindungi keluarga dan menjaga yayasan. Selama aku berpegang pada kebenaran, mereka tidak akan bisa menghancurkanku.”

Ia menutup buku itu perlahan, lalu menatap jendela. Hujan tipis turun lagi, mengetuk kaca seperti bisikan. Kali ini Amara tidak merasa sendirian. Ada Bagas, ada segelintir orang yang percaya, ada ibunya yang harus ia lindungi.

Dan ada dirinya sendiri—Amara yang mulai tumbuh menjadi sosok yang tidak lagi hanya bertahan, tapi juga berani melawan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!